in

Jejak Puisi Sufistik Hari Ini

Gunoto Saparie, Ketua Umum Satupena Jawa Tengah

Oleh: Gunoto Saparie

Di suatu masa, kira-kira awal 1980-an, puisi Indonesia seakan ingin menyentuh langit. Bukan langit yang sekadar biru, bukan pula langit metaforis yang sering jadi pelarian dari realitas sosial. Tapi langit yang lain: langit para sufi. Di sana kata-kata menari bukan demi pesan, melainkan demi kehilangan. Demi mabuk. Demi fana.

Sutardji Calzoum Bachri, yang mengakui sebagai Presiden Penyair Indonesia dan ingin membebaskan kata dari makna, tiba-tiba berubah haluan. Ia tak lagi mengejar ledakan fonetik yang riang atau eksperimentasi lidah yang nyaris seperti mantra-mantra animistik. Ia memasuki ruang yang sunyi. Puisinya mulai dipenuhi nama-nama: Tuhan, Kekasih, Wujud, Ruh. Tetapi bukan dengan nada dogmatis atau teologis. Lebih mirip bisik-bisik kepada Yang Gaib. Ia seperti ingin menyentuh yang tak terjamah, bukan dengan logika, melainkan dengan cinta yang luka.

Abdul Hadi W.M., penyair yang lebih dahulu menapaki jalan tasawuf dalam puisi, menulis dengan sikap seorang zikir. Karya-karyanya terasa seperti suluk yang diubah menjadi syair. Dalam puisinya, dunia tak lagi dipandang sebagai sesuatu yang hendak diubah, tapi dirangkul, diikhlaskan, dicintai—karena ia bagian dari Yang Satu.

Kita bisa menyebut fase ini sebagai “gerakan” puisi sufistik. Tapi sebutan “gerakan” barangkali terlalu kaku untuk sesuatu yang berasal dari jiwa yang melarut. Tidak ada manifesto. Tidak ada program. Yang ada hanyalah gelombang. Sebuah ikhtiar untuk menjadikan puisi sebagai laku spiritual, bukan sebagai alat kritik atau semata permainan estetika.

Namun waktu berjalan seperti biasa: penuh kelupaan. Puisi sufistik kemudian mengendap dalam literatur kita seperti doa yang tak sempat diaminkan. Ia tidak hilang, tapi juga tak riuh. Ia menjadi semacam hening dalam pusaran puisi-puisi yang kini banyak bicara soal tubuh, kota, identitas, trauma. Puisi-puisi mutakhir lebih gemar menggugat daripada bersujud. Lebih ingin menyusun ulang dunia ketimbang tenggelam dalam keheningan yang penuh cinta.

Tapi benarkah puisi sufistik telah benar-benar usai?

Saya kira tidak. Jejaknya masih bisa kita temukan, meski samar, dalam bait-bait penyair muda yang mungkin tak menyebut diri “sufi”. Dalam puisi-puisi M. Aan Mansyur, misalnya, kadang muncul kegelisahan spiritual yang tak selalu mengarah ke agama formal, tapi menyentuh ranah yang sama: pencarian, kekosongan, dan cinta yang tak terbatas pada manusia. Dalam karya penyair seperti Oka Rusmini atau Joko Pinurbo, kita juga kadang menemukan puisi yang berzikir diam-diam, meski memakai kata-kata sehari-hari dan ironi yang lembut.

Puisi sufistik, dalam bentuk yang lebih cair dan mungkin lebih sublim, masih bernafas. Tidak dalam parade, tapi dalam bisik. Tidak dalam gemuruh, tapi dalam sembunyi. Ia tak lagi tampil sebagai genre atau mode, tapi sebagai bayangan yang tiba-tiba muncul di sudut puisi yang paling sepi.

Mungkin begitulah akhirnya: puisi sufistik tidak perlu hadir secara formal untuk tetap ada. Ia hidup seperti ruh dalam tubuh puisi. Kadang terasa, kadang tidak. Tetapi selalu ada.

Seperti Tuhan dalam puisi para sufi…

*Gunoto Saparie adalah Ketua Umum Satupena Jawa Tengah. Jatengdaily.com-st

 

What do you think?

Written by Jatengdaily.com

Sinema Sabtu: Layar Kreatif Menyalakan Literasi Blora

Semarang Masuk Tiga Besar Kota Tertoleran di Indonesia