Oleh : Deni Ratnawati, S.Psi.
Masiswa angkatan X Magister Psikologi Universitas Semarang
STROKE seringkali datang tanpa aba-aba, menyergap kehidupan seseorang dan keluarganya dalam sekejap.
Dunia seketika berubah. Gerak tubuh terbatas, ucapan menjadi terbata, dan rutinitas terganggu.
Dibalik proses penyembuhan fisik yang kasat mata, terdapat luka lain yang sering tak terlihat : depresi, kecemasan, dan kelelahan mental, baik bagi pasien maupun keluarga yang merawat.
Setelah serangan stroke dan diizinkan pulang dari rumah sakit, perjuangan belum berakhir. Justru baru dimulai. Pasien harus menjalani serangkaian terapi untuk belajar jalan kembali, mengatur ulang cara berbicara, hingga menyesuaikan diri dengan keterbatasan.
Kondisi ini seringkali memicu perasaan kehilangan makna hidup, marah, frustrasi, hingga menarik diri dari lingkungan sosial.
Data dari penelitian menunjukkan bahwa proporsi kasus depresi pascastroke yang timbul dalam 1 tahun berkisar antara 21% – 55% dengan mayoritas kasus terjadi dalam 3 bulan pertama setelah stroke. Sebagian lainnya mengalami gangguan kecemasan, terutama saat menghadapi ketidakpastian tentang masa depan, kesehatan, dan relasi sosial mereka.
Selain pasien stroke, satu kelompok yang sering luput dari perhatian adalah para caregiver, yakni anggota keluarga yang merawat pasien di rumah. Cargiver seringkali harus berhenti bekerja, menyesuaikan jadwal harian, bahkan mengorbankan waktu istirahat dan kehidupan pribadinya demi merawat pasien tercinta.
Banyak dari mereka juga mengalami stres, kelelahan, dan gangguan mental ringan hingga sedang. Sayangnya, kondisi caregiver jarang diakui secara formal dalam sistem layanan kesehatan. Padahal, dalam pendekatan psikologi kesehatan, baik pasien maupun caregiver adalah satu kesatuan ekosistem pemulihan. Ketika caregiver kelelahan, kualitas perawatan menurun, dan ini akan berdampak langsung pada proses pemulihan pasien.
Stroke memang menyerang tubuh, namun dampaknya meluas hingga ke ranah psikologi dan sosial. Hal ini sesuai dengan pendekatan biopsikososial dimana ada keterkaitan antara mind and body. Depresi pasca stroke bukanlah tanda kelemahan mental, melainkan respon alami atas kehilangan mendadak yang dialami tubuh dan fungsi kehidupan.
Begitu pula bagi caregiver, rasa cemas, kesepian, bahkan rasa bersalah yang muncul adalah hal wajar. Namun, jika tidak ditangani, kondisi ini bisa berkembang menjadi burnout (kondisi kelelahan ekstrem secara fisik, mental dan emosional akibat stres berkepanjangan) yang membahayakan kesehatan mental.
Sayangnya, masih banyak masyarakat yang menganggap bahwa masalah psikologis hanyalah “kurang bersyukur” atau “kurang kuat mental”. Stigma ini membuat banyak pasien dan keluarga menutup rapat keluhannya sehingga tidak terselesaikan.
Kondisi ini membutuhkan perhatian yang lebih serius dari berbagai pihak, mulai dari keluarga, masyarakat, hingga pemerintah daerah. Langkah penting yang dapat dilakukan adalah, pertama melakukan skrining psikologis di fasilitas kesehatan.
Rumah sakit atau puskesmas dapat menyediakan layanan psikologis sederhana untuk pasien stroke dan caregiver, seperti konseling atau psikoedukasi. Melalui layanan psikologis ini pasien dan caregiver akan diedukasi tentang situasi mental yang akan dihadapi dan cara mengelola emosinya serta dampak emosi negatif terhadap pemulihan kesehatannya.
Kedua, edukasi utuk caregiver. Bekal ketrampilan dasar dalam merawat, mengelola emosi dan mencari bantuan sangat penting agar caregiver tidak merasa sendirian dan tertekan. Menyadari bahwa kelelahan yang akan dihadapi adalah hal yang wajar terjadi dapat meningkatkan keyakinan diri untuk berhasil dalam tugas perawatan (self efficacy).
Ketiga, dukungan komunitas. Kehadiran komunitas survivor stroke dan support group caregiver bisa menjadi ruang berbagi, belajar, dan saling menguatkan. Beberapa kota sudah mulai membentu komunitas seperti ini, dan perlu diperluas.
Layanan kesehatan perlu memiliki data komunitas ini sehingga dapat menghubungkan pasien dan caregiver yang membutuhkan dukungan komunitas.
Keempat, kampanye antistigma kesehatan mental. Masyarakat perlu terus diedukasi bahwa mencari bantuan psikologis bukanlah aib. Justru itu adalah bentuk keberanian untuk menjaga kualitas hidup dan relasi yang sehat.
Stroke memang mengubah hidup, tapi bukan akhir segalanya. Dengan dukungan emosional dan sosial yang kuat, banyak penyitas stroke yang berhasil bangkit, menemukan semangat baru, dan berkontribusi kembali untuk keluarganya.
Bagi caregiver, mereka adalah pahlawan yang sering tak disebut. Sudah waktunya kita memberi perhatian pada kesehatan mental mereka juga karena merawat yang merawat adalah bagian penting dari proses penyembuhan itu sendiri.
Sudah saatnya kita menyadari memulihkan tubuh tanpa memulihkan jiwa adalah pemulihan yang belum selesai.
Penulis adalah mahasiswa angkatan X Magister Psikologi Universitas Semarang (USM). Jatengdaily.com-St