
Oleh: Gunoto Saparie
Ada sesuatu yang hangat, agak pelan, dan datang dari jauh, seperti angin yang membawa kabar baik setelah musim panjang yang sepi. Tahun ini, saya bersama sahabat saya, Eko Tunas Haryanto, dari Jawa Tengah, menerima penghargaan dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, atas kiprah kami berkarya di dunia sastra selama lima puluh tahun. Setengah abad. Angka yang tak pernah saya hitung sebelumnya, tetapi kini terasa seperti gema yang jauh: separuh abad menulis, membaca, berbicara dengan kata.
Saya bersyukur, tentu. Ada rasa haru yang tak bisa disembunyikan ketika mendengar nama sendiri disebut dalam daftar bersama dua puluh empat sastrawan dari berbagai provinsi di Indonesia. Mereka, seperti saya, telah menulis dalam senyap, dalam keterbatasan, dalam keyakinan bahwa kata adalah bagian dari kehidupan yang mesti diselamatkan. Bahwa puisi, cerpen, novel, dan esai bukanlah kemewahan, melainkan cara kita memahami dunia dan diri sendiri.
Penghargaan ini, sebagaimana dijelaskan oleh Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Hafidz Muksin, bukan sekadar bentuk seremonial. Ia adalah bagian dari program Fasilitasi dan Pembinaan Kelompok Masyarakat: Fasilitasi dan Apresiasi bagi Komunitas Sastra Tahun 2025. Dalam kalimat birokratis itu, terselip niat yang tak sederhana: pemerintah ingin hadir, setidaknya untuk mengatakan bahwa dunia sastra tak lagi dipandang sebagai ruang sunyi tanpa arti ekonomi.
Dan mungkin di situlah maknanya. Bahwa negara, akhirnya, mengetuk pintu rumah kami yang selama ini jarang disapa.
Saya sering berpikir, sastra di negeri ini tumbuh seperti rumput liar. Ia hidup karena keuletannya sendiri, bukan karena pupuk atau air dari lembaga resmi. Para sastrawan menulis bukan untuk dihargai, melainkan untuk bertahan: dari kegetiran, dari kebisuan, dari lenyapnya makna dalam kehidupan sehari-hari yang semakin sibuk oleh hal-hal praktis.
Banyak dari kami menulis di sela pekerjaan lain. Ada yang mengajar, ada yang menjadi wartawan, ada yang bekerja di kantor pemerintah, ada pula yang menjadi petani, dan ada juga yang hidup dari penerbitan kecil. Dalam kesibukan itu, kami tahu bahwa menulis tidak akan membuat kaya, tetapi ia selalu membuat hidup terasa lebih jujur.
Ketika negara kini datang dengan tangan terbuka, memberikan penghargaan dan uang tunai (Rp40 juta bagi masing-masing sastrawan yang telah berkarya selama 50 tahun) saya tidak melihatnya sekadar sebagai angka. Saya melihatnya sebagai tanda pengakuan: bahwa apa yang kami lakukan ternyata tidak sia-sia. Bahwa karya yang lahir dari ruang sunyi itu, dari malam panjang dan meja yang berdebu, kini dilihat dan diingat.
Saya ingat percakapan dengan Eko Tunas beberapa waktu lalu. Ia berkata dengan nada ringan, “Kita ini sudah menulis terlalu lama, mungkin sampai lupa sejak kapan kita mulai.” Kami tertawa. Tetapi di balik tawa itu ada sesuatu yang dalam: kesadaran bahwa waktu berjalan, dan bahwa kata telah menjadi saksi hidup kami.
Setengah abad menulis berarti menyaksikan banyak perubahan. Dari mesin tik ke komputer, dari majalah cetak ke laman digital, dari ruang diskusi di warung kopi ke pertemuan daring. Tetapi ada yang tidak berubah: kegelisahan yang membuat kita terus menulis.
Sastra, bagi saya, bukan sekadar keindahan bahasa. Ia adalah cara untuk melawan kebekuan makna. Dalam setiap puisi atau esai, selalu ada upaya untuk menafsirkan kembali dunia; mengubah kesedihan menjadi kalimat, menjadikan kemarahan sebagai bentuk kasih terhadap kehidupan.
Maka ketika pemerintah melalui Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa mengadakan program penghargaan ini, saya ingin membacanya bukan semata sebagai bentuk pemberian, tetapi juga pertemuan. Pertemuan antara negara dan para pengarang, yang selama ini berjalan di jalur berbeda. Negara sibuk mengurus pembangunan fisik, sementara sastrawan sibuk merawat makna. Kini, keduanya bertemu di simpang kecil bernama apresiasi.
Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Hafidz Muksin, mengatakan bahwa kegiatan sastra di Indonesia makin semarak, tetapi masih belum optimal karena keterbatasan anggaran. Saya memahami kalimat itu dengan makna ganda. Di satu sisi, ia adalah pengakuan terhadap vitalitas komunitas sastra; di sisi lain, ia adalah pengakuan terhadap ketimpangan perhatian yang selama ini terjadi. Namun, langkah kecil seperti penghargaan ini bisa menjadi awal untuk sesuatu yang lebih besar: pembinaan yang berkelanjutan.
Karena sesungguhnya, sastrawan tidak hanya butuh penghargaan. Mereka juga butuh ruang untuk tumbuh, untuk berinteraksi, untuk membangun ekosistem yang sehat.
Saya membayangkan bagaimana kehidupan sastra di daerah-daerah: di Yogyakarta, dengan Sutirman Eka Ardhana dan Genthong Hariono Selo Ali; di Bandung dengan Aan Merdeka Permana dan F. Rahardi; di Banten dengan Prijono Tjiptoherijanto; di Aceh dengan Syarifuddin Sabon.
Nama-nama itu, yang kini disebut kembali oleh negara, seperti membuka kembali peta panjang kesusastraan Indonesia. Masing-masing membawa latar, tradisi, dan semangat yang berbeda, tetapi semuanya menyatu dalam satu hal: kecintaan terhadap kata.
Saya percaya, penghargaan ini akan menjadi energi moral. Ia mungkin tak bisa mengubah hidup kami secara drastis, tapi ia meneguhkan bahwa apa yang kami lakukan masih berarti. Di tengah dunia yang semakin dikuasai oleh algoritma, di mana kata sering dikalahkan oleh gambar, di mana waktu membaca semakin pendek, negara masih mau memberi tempat bagi yang menulis.
Itu saja sudah cukup membuat saya bersyukur.
Dalam ruang batin yang lebih dalam, saya merasa penghargaan ini bukan hanya untuk saya, tetapi untuk semua orang yang telah menjadi bagian dari perjalanan panjang kesusastraan Indonesia. Untuk para redaktur majalah yang sabar membaca naskah, untuk penerbit kecil yang tetap mencetak buku di tengah pasar yang lesu, untuk pembaca yang masih mau membuka halaman-halaman sunyi di antara kesibukan hidupnya.
Dan tentu, untuk mereka yang sudah pergi lebih dahulu, para sahabat sastrawan yang kini hanya tinggal nama. Penghargaan ini, dalam diam, juga untuk mereka.
Ada satu hal yang selalu saya ingat dari penyair Goenawan Mohamad: bahwa menulis adalah bentuk kehadiran yang paling sunyi, tetapi juga paling jujur. Saya ingin menambahkan: menulis juga adalah bentuk kesetiaan: kepada bahasa, kepada kehidupan, kepada sesuatu yang tak selalu bisa dijelaskan dengan logika.
Maka, ketika negara datang dan mengetuk pintu kami, kami menyambutnya bukan dengan kebanggaan berlebihan, melainkan dengan rasa syukur yang sederhana. Bahwa setelah lima puluh tahun, kami masih diingat. Bahwa setelah sekian lama, pemerintah mengerti: kata-kata pun adalah bagian dari pembangunan bangsa.
Mungkin justru dari kata-kata itulah, bangsa ini belajar memahami dirinya sendiri.
*Gunoto Saparie adalah Ketua Umum Satupena Jawa Tengah. Jatengdaily.com-St

