Loading ...

Membaca Angka-Angka di RAPBN 2026

gunoto2

Gunoto Saparie (Foto: Rina Ginting)

Oleh: Gunoto Saparie

Ada sesuatu yang ganjil dalam angka. Ia seolah netral, tetapi menyimpan gairah. Kita membaca target Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026: defisit 2,48 persen terhadap produk domestik bruto. Terdengar kecil, bahkan rapi. Angka itu berdiri tenang, seperti angka pada laporan keuangan perusahaan besar. Padahal, ia adalah kisah tentang lapar, sekolah, jalan berlubang, dan janji makan bergizi gratis.

Negara, kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, akan memperoleh Rp3.147,7 triliun, tumbuh hampir 10 persen dari tahun sebelumnya. Pajak jadi tulang punggung: naik 13,5 persen. Ia akan memanggul beban lebih besar dibanding tahun lalu. Pajak, yang kadang kita bayarkan dengan diam, kadang dengan keluhan, akan jadi darah segar bagi tubuh negara. Tetapi apa artinya darah segar bila tubuh itu terlalu rakus?

Belanja negara melonjak 7,3 persen. Ada delapan program prioritas Presiden. Salah satunya, program makan bergizi gratis, yang anggarannya sendiri melonjak Rp330 triliun. Ia seperti janji tentang masa depan anak-anak. Tetapi, seperti semua janji besar, ada risiko ia terjerat dalam mesin birokrasi. Apa yang disebut “bergizi” bisa saja berhenti pada angka, bukan pada piring-piring yang benar-benar penuh.

Sementara itu, transfer ke daerah justru dipangkas nyaris seperempat. Angka turun jadi Rp650 triliun. Kita bisa bertanya: apa artinya “kemandirian fiskal daerah” bila nyatanya ia ditopang oleh kebijakan pusat yang lebih gemar membesarkan dirinya sendiri? Kota kecil dan desa, yang mestinya menopang republik, bisa merasa ditinggalkan.

Di balik semua itu, defisit 2,48 persen seolah kabar baik. Negara tampak berhati-hati, menjaga keseimbangan. Sri Mulyani bahkan menyebut keseimbangan primer “mendekati nol”. Tetapi kita tahu: nol dalam dunia anggaran bukanlah nihil. Ia adalah angka yang bergetar, kadang menjauh, kadang mendekat. Dan kita, rakyat, sering menjadi selisih yang tak pernah masuk dalam hitungan resmi.

Betapa pun, defisit 2,48 persen dari PDB terdengar terkendali. Sehat, kata Sri Mulyani. Tetapi “sehat” di sini hanyalah metafora. Sehat untuk siapa? Angka defisit bisa turun, keseimbangan primer bisa mendekati nol, sementara rumah sakit di kota kecil masih kekurangan obat.

APBtN 2026 adalah sebuah narasi tentang ambisi: tentang pertumbuhan yang dirancang, tentang kedaulatan pangan, energi, dan pertahanan. Namun, di dalamnya juga ada paradoks. Negara ingin membesarkan dirinya, sambil menekan ruang gerak daerah. Negara ingin menyehatkan anggaran, tetapi menumpuk janji-janji yang gemuk.

Angka-angka memang tak selalu netral. Ia, seperti dikemukakan di atas, membawa ambisi. “Cukup tinggi dan ambisius,” kata Sri Mulyani tentang target pajak. Ambisi itu, seperti dalam setiap sejarah fiskal, selalu berutang pada rakyat yang membayar. Pajak yang ditarik dari usaha kecil, dari gaji bulanan, dari konsumsi harian. Angka triliunan itu menyimpan keringat yang tak tercatat di berita resmi.

Belanja negara membengkak menjadi Rp3.786,5 triliun. Ada delapan prioritas Presiden: pangan, energi, pendidikan, kesehatan, desa, koperasi, UMKM, pertahanan, investasi. Sebuah katalog yang menyilaukan, sebuah daftar yang terdengar penuh harapan. Kita bisa teringat jargon lama: “membangun manusia seutuhnya.” Tetapi juga teringat catatan lain: dalam sejarah kita, program besar sering menjadi prasasti, bukan kenyataan.

APBN adalah dokumen janji. Ia memamerkan apa yang disebut pemerintah sebagai arah pembangunan. Namun janji juga bisa menyesatkan. Desa-desa mungkin tetap bergantung pada dana seadanya. Pajak tetap harus ditarik meski ekonomi rakyat kecil berjalan terseok. Anggaran tetap disusun, meski yang paling lemah tak punya kursi di meja rapat.

Di atas kertas, angka-angka tampak perkasa. APBN 2026 disusun seperti sebuah benteng kokoh menghadapi gelombang ketidakpastian global: perang, proteksionisme, fragmentasi pasar. Pertumbuhan ekonomi dunia diproyeksikan hanya 3,1 persen. Indonesia, dengan percaya diri, menargetkan 5,4 persen. Angka itu berdiri seperti janji: kokoh, pasti, dan indah. Tetapi angka, selalu angka, kadang punya wajah lain. Ia bisa menutupi lubang di jalan, bisa juga menjadi lampu yang menyilaukan mata.

Pemerintah menyebut program Makan Bergizi Gratis, Sekolah Rakyat, Sekolah Unggul Garuda, hingga 80 ribu Koperasi Desa Merah Putih. Ia mengalir seperti daftar menu pembangunan yang lengkap. Seolah setiap titik sudah dipikirkan, setiap celah sudah ditutup. Namun pembangunan, seperti halnya kehidupan, jarang tunduk pada daftar. Ia sering menyelinap di ruang yang tak tercatat: di sekolah rusak di pedalaman NTT, di puskesmas dengan obat yang telat datang, di sawah yang tak lagi bisa diandalkan hujan.

Dalam dokumen panjang itu, ada keyakinan bahwa fiscal buffer akan mampu menahan guncangan. Bahwa cadangan devisa yang mencetak rekor adalah bantalan. Bahwa inflasi terkendali. Kita pernah mendengar nada yang sama di masa lalu: optimisme yang tak pernah surut, bahkan ketika kenyataan di lapangan berbisik lain.

Pemerintah menyusun Asta Cita: delapan agenda mulia. Penguatan Pancasila, kemandirian pangan, pertahanan semesta, pembangunan desa. Kata-kata besar ini menuntut keheningan untuk direnungi, bukan hanya sorak-sorai untuk dipamerkan. Bukankah Pancasila kerap disebut tapi jarang dihidupi? Bukankah desa yang katanya dibangun justru makin kehilangan tanahnya ke tangan korporasi besar?

Kedaulatan pangan. Dua kata yang lama jadi slogan. Di tengah janji mencetak sawah baru ratusan ribu hektar, kita ingat bahwa beras masih kerap diimpor. Di tengah cerita swasembada, kita melihat pupuk yang langka. Kedaulatan, mungkin, masih lebih sering hadir sebagai retorika ketimbang kenyataan.

APBN, kata pemerintah, adalah instrumen. Ia alat, bukan tujuan. Tetapi sejarah kita mencatat: APBN kerap berubah menjadi panggung. Angka-angkanya dipakai untuk menunjukkan bahwa negara bekerja. Padahal, yang disebut “bekerja” seringkali hanya tercermin di neraca, bukan di wajah orang-orang kecil.

Di satu sisi, kita patut mengakui: ada hasil. Tingkat kemiskinan turun. Gini ratio sedikit membaik. Tapi selalu ada paradoks: angka-angka itu berjalan, sementara kesenjangan terasa tetap lebar. Di kota besar, mal baru tumbuh. Di desa terpencil, listrik masih mati tiga kali sehari.

Mungkin, kita bisa kembali ke hal sederhana: APBN adalah janji moral, bukan sekadar kontrak fiskal. Ia janji bahwa negara tak sekadar menjaga angka pertumbuhan, tapi menjaga rasa keadilan. Janji bahwa pembangunan tak berhenti di gedung kementerian, melainkan sampai ke ruang kelas yang bocor dan sawah yang retak.

Dan seperti semua janji, ia diuji bukan di meja rapat DPR, tetapi di jalan-jalan desa, di pasar-pasar kecil, di dapur para ibu. Di sanalah, angka 5,4 persen akan menemukan makna, atau justru kehilangan arti sama sekali.

Kita bisa percaya pada angka, tetapi tak seharusnya kita abai pada paradoks: negara berbicara tentang pertumbuhan, sementara banyak warganya masih menunggu sekadar kelayakan. Antara defisit yang rapi di atas kertas, dan defisit kepercayaan yang terus menganga.

Angka, seperti kata-kata, bisa menipu. Ia bisa jadi musik yang terdengar indah di ruang konferensi pers, tetapi di jalan-jalan kota dan lorong desa, angka itu bisa tak terdengar apa-apa. Yang tersisa hanyalah paradoks: antara postur anggaran yang terlihat sehat, dan denyut rakyat yang tetap mencari napas.

*Gunoto Saparie adalah Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia Orwil Jawa Tengah. Jatengdaily.com-st

Facebook Comments Box