Mendekonstruksi Pengaturan Alih Fungsi Lahan, Ayik Christina Efata Raih Doktor di Untag Semarang

SEMARANG (Jatnengdaily.com) – Dekonstruksi hukum adalah suatu tindakan untuk mengubah / menganalisis untuk menemukan makna sebenarnya dalam pengaturan alih fungsi lahan pertanian ke nonpertanian pangan diperlukan untuk menjamin kepastian hukum dan berkelanjutan lahan pertanian sebagai sumber pangan.

Namun saat ini, ketidakselarasan antara Perda tentang Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) menimbulkan tumpang tindih regulasi dan ketidakpastian hukum, terutama dalam perizinan.

Dalam Pasal 75 UU No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan justru memperpanjang ketidakpastian ini karena pemerintah daerah masih mengandalkan ketentuan peralihan tersebut, sementara alih fungsi lahan terus meningkat tanpa terkendali.

Hal itu diungkapkan Ayik Christina Efata, SH, MKn dalam penelitian disertasinya yang berjudul “Dekonstruksi Hukum Dalam Pengaturan Alih Fungsi Lahan Untuk Menjamin Kepastian Hukum” pada ujian terbuka promosi doktor yang digelar oleh Program Studi Hukum Program Doktor (PSHPD) Fakultas Hukum Untag Semarang, belum lama ini.

Melalui bimbingan yang intensif oleh Promotor Prof. Dr. Retno Mawarini Sukmariningsih, SH. MHum, dan Ko-Promotor Dr. RR. Widyarini Indriasti W, SH. MHum, telah mengantarkan Ayik Christina Efata lulus sebagai doktor yang ke-130, yang memperoleh indeks prestasi sebesar 3,90 dengan predikat cumlaude, yang ditempuh selama 2 tahun, 6 bulan, 17 hari.

Penetapan kelulusan sebagai doktor baru disampaikan oleh Ketua dewan sidang Prof. Dr. Edy Lisdiyono, SH. MHum, setelah melakukan musyawarah dengan para dewan penguji yang lain, yakni Prof. Dr. Sigit Irianto, SH. MHum, yang juga sebagai Sekertaris dewan sidang, selanjutnya Prof. Dr. Kurnia Warman, SH. MHum selaku penguji eksternal, kemudian Prof. Dr. Sri Mulyani, SH. MHum, dan Dr. Yulies Tiena Masriani, SH. MHum, MKn.

Ayik Christina Efata yang kini berprofesi sebagai Notaris dan PPAT mengungkapkan bahwa untuk menganalisis permasalahan dalam penelitiannya telah menggunakan Teori Negara Hukum dan Kepastian Hukum Gustav Radbruch, yang menegaskan pentingnya intervensi negara untuk menciptakan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.

Menurutnya, penetapan Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan (KPPB) dan Lahan Sawah Dilindungi ((LSD) seringkali hanya mempertimbangkan ketahanan pangan tanpa memperdulikan dinamika pembangunan, terutama di kawasan perkotaan. Akibatnya terjadi disparitas antara peta LP2B yang ditetapkan Bupati/Walikota dengan peta RTRW, serta tumpang tindih dengan peta LSD dari Kementerian ATR/BPN, yang semakin memperumit proses perizinan.

Adapun solusinya, diperlukan pembaharuan regulasi yang mencabut Pasal 75 UU No. 41/2009 dan menyelaraskan peta LP2B, LSD, dan RTRW secara nasional. Dekonstruksi hukum harus mengintegrasikan prinsip kebersamaan, efisiensi, dan keadilan, sambil mempertimbangkan kebutuhan pembagunan daerah. Dengan demikian, kepastian hukum dapat terwujud, alih fungsi lahan terkendali, dan keberlanjutan lahan pertanian sebagai penopang ketahanan pangan nasional tetap terjaga, ungkapnya. St