gunoto112

Gunoto Saparie

Oleh: Gunoto Saparie

Dongeng Panji pernah hidup di pelataran istana, di alun-alun desa, di ruang-ruang yang kini tak lagi kita kenal. Cerita itu berjalan dari Jawa ke Bali, dari Kediri hingga Ayutthaya.

Ia menyeberang tanpa paspor, seperti riwayat yang lebih kuat daripada batas negara. Tetapi di negeri asalnya sendiri, ia nyaris tenggelam.

Panji bukan sekadar nama tokoh. Ia adalah cermin. Seorang bangsawan yang sering menyamar, yang berpindah-pindah peran: kesatria, rakyat biasa, bahkan pengembara yang tersesat.

Panji selalu mencari dan dicari. Terutama oleh kekasihnya, Candrakirana. Tetapi Panji, yang seakan kita kenal dari berbagai naskah, justru jarang kita kenali dalam keseharian sekarang.

Ada sesuatu yang hilang dari ingatan. Kita tumbuh bersama tokoh lain, kebanyakan impor. Anak-anak kita lebih mengenal Putri Salju daripada Dewi Sekartaji. Mereka hafal kisah Pangeran Kodok, tetapi tidak Panji Semirang.

Revitalisasi dongeng Panji adalah sebuah upaya, meskipun mungkin terasa terlambat. Tetapi keterlambatan tidak selalu berarti sia-sia. Ingatan bisa dipanggil kembali, asal ada yang menyalakan obor.

Di beberapa kota, festival budaya mencoba itu. Panji dipentaskan kembali dalam tari, dibacakan ulang dalam prosa, dipajang dalam komik atau animasi. UNESCO telah mengakui tradisi Panji sebagai Memory of the World. Dunia seperti menepuk pundak kita: “Lihatlah, ini warisanmu.” Tapi apakah kita sendiri mau menengok?

Yang menarik, Panji selalu bicara tentang pencarian. Dan mungkin di situlah relevansinya. Kita hidup dalam zaman yang kehilangan orientasi.

Modernitas memaksa orang berpacu, berpindah, tergoda oleh algoritme dan pasar. Kita mencari sesuatu, kadang cinta, kadang identitas, dan sering tersesat. Panji mengulang kisah itu: pencarian yang penuh penyamaran, yang melewati hutan, peperangan, dan rindu yang panjang.

Dongeng ini bukan sekadar dongeng. Ia adalah sebuah cara pandang. Bahwa hidup adalah perjalanan. Bahwa cinta tak pernah mudah. Bahwa kesetiaan diuji oleh jarak dan waktu.

Revitalisasi Panji, karenanya, tak boleh hanya jadi proyek seremonial. Ia harus menemukan cara masuk ke imajinasi baru.

Dongeng ini tak cukup hanya dibacakan di pendapa dengan bahasa Jawa Kuno yang asing bagi generasi sekarang. Ia perlu hidup dalam buku anak-anak, dalam film pendek, dalam kurikulum sekolah, dalam permainan digital yang dimainkan remaja di gawai mereka.

Tetapi revitalisasi bukan sekadar membungkus ulang. Ada risiko ketika tradisi dipasarkan: ia kehilangan kedalaman. Panji bisa saja hanya jadi kostum eksotis, dekorasi festival, atau sekadar “konten” di media sosial. Kita merayakan kulitnya, tapi lupa jantungnya.

Jantung Panji adalah perenungan tentang manusia. Bahwa bangsawan pun bisa hidup sebagai rakyat. Bahwa identitas bisa cair. Bahwa dunia selalu penuh perpisahan dan pertemuan kembali.

Kita bisa belajar darinya, bahkan di luar soal estetika dan sejarah. Dalam politik, misalnya, Panji mengingatkan bahwa kekuasaan selalu menyamar. Bahwa wajah yang kita lihat bisa palsu. Tetapi di balik penyamaran itu, ada kerinduan akan kesatuan, akan rumah.

Di era globalisasi, Panji menawarkan sejenis kearifan lokal yang tidak sempit. Karena ia sejak awal lintas batas. Ceritanya menyeberang ke Thailand, Kamboja, hingga Myanmar. Di sana Panji dikenal dengan nama-nama lain.

Tapi inti kisahnya tetap: pencarian, kesetiaan, penyamaran. Barangkali ini mengajarkan: identitas Nusantara justru kuat karena mampu berinteraksi, berdialog, dan menyeberang.

Dongeng Panji adalah cermin tentang kebudayaan kita sendiri: rapuh sekaligus lentur. Ia bisa hilang dari rumah, tapi juga bisa tumbuh di negeri orang.

Maka revitalisasi Panji adalah juga revitalisasi diri, sebuah usaha untuk berdamai dengan warisan yang kita abaikan, dan sekaligus berani menafsir ulang.

Barangkali yang paling penting: Panji mengajarkan bahwa sebuah kisah bisa hidup berabad-abad hanya jika ada yang terus menceritakannya. Tanpa pencerita, cerita mati. Tanpa pendengar, dongeng hanyalah teks yang membisu.

Kini, siapa yang akan menjadi pencerita itu? Guru di kelas? Seniman di panggung? Atau kita sendiri, orang tua yang mendongeng kepada anak sebelum tidur?

Revitalisasi bukan hanya program, tetapi keputusan personal. Untuk tidak menyerahkan seluruh imajinasi kita kepada industri global. Untuk kembali mendengar gema suara sendiri.
Dan mungkin, seperti Panji yang selalu mencari Candrakirana, kita pun sedang mencari sesuatu yang hilang dari diri kita.

Tradisi, rasa, atau sekadar keyakinan bahwa kita punya cerita yang pantas hidup. Panji, dengan segala perjalanannya, berbisik: pencarian itu belum selesai.

Dan mungkin pula, seperti semua dongeng yang pernah kita lupakan, ia hanya menunggu satu hal: seseorang yang rela duduk sejenak, mendengarkan, lalu percaya kembali bahwa hidup ini memang sebuah kisah yang tak pernah rampung.
*Gunoto Saparie adalah Ketua Umum Satupena Jawa Tengah. Jatengdaily.com

 

Exit mobile version