Oleh: Gunoto Saparie
PADA bulan Juni, langit tidak selalu jernih. Namun, di antara hujan kecil dan gerimis yang pelan, di antara awan yang datang lalu pergi tanpa suara, orang-orang memperingati sesuatu: kelahiran seorang lelaki yang pernah menggetarkan Tanah Air ini dengan kata-kata.
Ia dipanggil Bung Karno.

Di bulan ini, namanya kembali digelar. Di ruang-ruang pertemuan yang sempit, di panggung-panggung sederhana dengan mikrofon yang kadang berderak, orang membacakan puisi tentangnya. Di aula kampus dan kantor partai, seminar-seminar kebangsaan digelar, dengan tema besar dan poster wajah Bung Karno dalam warna merah marun. Di Blitar, makamnya didatangi, kadang dengan isak, kadang dengan diam. Anak-anak muda membuat lagu tentangnya, meski barangkali tak semua mengerti isi pidato “To Build the World Anew”.
Tetapi barangkali peringatan bukan soal mengerti. Ia lebih dekat pada kebutuhan manusia untuk mengingat. Dan dalam mengingat, kita tidak selalu objektif—kadang malah sengaja tidak. Kita memilih potongan-potongan tertentu dari sosok besar itu, dan kita rayakan yang kita inginkan darinya.
Bung Karno adalah pendiri, tetapi juga penggugah. Ia bisa berbicara tentang “marhaen” dengan gaya seorang penceramah jalanan dan sekaligus seorang pemikir sejarah. Ia menyebut dirinya “jembatan emas”—dan memang ada zaman yang memerlukan seseorang seperti itu: seseorang yang percaya bahwa sejarah bisa diubah dengan pidato.
Dan hari ini, beberapa orang masih percaya.
Mereka yang memperingati Bulan Bung Karno bukan hanya memuja masa lalu. Mereka, barangkali tanpa sadar, sedang mencari arah. Di tengah zaman ketika ideologi terasa seperti barang usang, dan kata “nasionalisme” kadang hanya dipakai untuk iklan produk dalam negeri, Bulan Bung Karno jadi jeda. Ia memberi tempat untuk sejenak bertanya: apa itu Indonesia yang dulu ingin dibangun?
Lomba baca puisi, seminar, bahkan ziarah, memang tak mengubah sistem. Tetapi seperti halnya doa, mereka menyisakan ruang kontemplasi. Dalam ziarah, ada jeda. Dalam jeda, ada renungan. Dan dalam renungan, kadang, tumbuh keinginan.
Manfaat Bulan Bung Karno, kalau mau disebut demikian, bukan hanya pada acara-acara yang diselenggarakan. Tetapi pada kemungkinan yang ia buka: bahwa sejarah bisa kita hampiri bukan sebagai beban, tapi sebagai percakapan. Bahwa ide-ide bisa dirayakan kembali bukan sebagai dogma, tapi sebagai tantangan.
Orang-orang menyalakan lilin di bulan ini. Kadang di aula sederhana. Kadang di ruang kelas, dengan spanduk yang mulai lusuh, dan mikrofon yang nyaring separuh pecah. Di bulan Juni, kita menyebut namanya: Soekarno. Bung Karno. Proklamator. Presiden pertama Republik Indonesia.
Tetapi sebetulnya, yang kita sebut bukan hanya nama. Yang kita panggil adalah sebuah ingatan: tentang seorang lelaki kurus, berpakaian safari putih, yang pernah percaya bahwa bangsa ini bisa berdiri sejajar di hadapan dunia. Tanpa menunduk. Tanpa meminta-minta.
Ia bukan hanya orator. Ia seorang arsitek. Bukan hanya dalam hal bangunan—meski ia memang menggambar dan membayangkan gedung-gedung—tetapi arsitek sebuah gagasan kebangsaan. Ia membangun narasi, menyusun mitos yang bukan sekadar dongeng, tetapi pijakan bagi sebuah bangsa yang masih belajar menyebut dirinya sendiri.
Kita mengenang Bung Karno karena ia pernah melahirkan sesuatu yang tak bisa ditakar dengan ukuran biasa: kemerdekaan. Ia bukan satu-satunya, tentu, tapi suaranya adalah salah satu yang paling keras. “Kita bangsa yang besar,” katanya. Itu bukan kalimat sambutan. Itu semacam mantra yang ia ulang—dengan sengaja—agar kita semua mulai percaya.
Ia memberi kita Pancasila, dalam pidato yang tak seluruhnya sistematis, tapi penuh keyakinan. Ia bicara tentang kebangsaan, kemanusiaan, mufakat, kesejahteraan sosial, dan Ketuhanan. Lima hal yang masih kita perdebatkan, dan barangkali akan terus kita tafsirkan ulang. Tetapi di situlah warisan Soekarno hidup: bukan pada kepastian, melainkan pada dorongan untuk berpikir ulang, bertanya lagi, menggugat terus.
Ia juga membangun monumen. Sebagian menyebutnya megalomania. Tetapi mungkin ia hanya ingin kita tidak lupa. Tentang siapa kita. Tentang kemerdekaan yang tak jatuh dari langit, tapi diperjuangkan, disusun, dan diumumkan dari jantung kota dengan suara bergetar: “Saudara-saudara!…”
Kadang, ketika kita menyebut “jasa-jasa Bung Karno”, yang kita maksud bukan hanya pencapaian politik. Tetapi keberanian untuk bermimpi—dengan lantang. Ketika dunia terbagi dua, ia bicara tentang jalan ketiga: Non-Blok. Ketika banyak yang memilih tunduk, ia berseru “berdikari”. Ketika rakyat lapar, ia bicara tentang revolusi. Dan meski tidak semua impiannya berhasil, yang tersisa dari Soekarno adalah keyakinan itu sendiri: bahwa bangsa ini mungkin. Bahwa masa depan bukan milik orang lain.
Maka kita peringati bulan ini bukan sekadar sebagai upacara rutin. Namun, sebagai momen untuk bertanya: apa yang telah kita lakukan dengan warisan itu? Kita punya jalan, tapi adakah arah? Kita punya mimpi, tapi siapa yang kini bermimpi?
Soekarno tak pernah sepenuhnya pergi. Ia hidup di poster-poster tua, di gedung-gedung peninggalannya, dan di debat-debat tentang Pancasila yang tak pernah selesai. Tetapi yang lebih penting: ia hidup dalam pertanyaan yang belum dijawab.
Dan mungkin, mengenangnya hari ini adalah juga mengingat betapa sulitnya—dan betapa mulianya—menjadi bangsa.
Mengingat Bung Karno, pada akhirnya, bukan tentang meniru. Namun tentang bertanya: apa yang akan ia katakan, jika melihat kita hari ini? Dan mungkin, yang lebih penting: apa yang akan kita jawab?
*Gunoto Saparie adalah Ketua Umum Satupena Jawa Tengah. Jatengdaily.com-st