Loading ...

Merindukan Sastra di Ruang Publik

gu noto2

Oleh: Gunoto Saparie

Dalam sebuah ruang, bisa taman kota, halte bus, atau peron kereta, orang sering lebih dulu melihat iklan. Kata-kata menjual, gambar-gambar besar, wajah-wajah yang entah siapa, mengajak membeli, memilih, meminjam, atau percaya. Tetapi siapakah yang membaca puisi di sana? Atau: adakah yang menaruh puisi di sana?

Denny JA, penggagas puisi esai dan Ketua Umum Satupena, menjawabnya dengan seruan: “Kita perlu memperbanyak sastra di ruang publik.” Ia sampaikan itu ketika menyambut Festival Puisi Esai ASEAN ke-4 di Sabah, Malaysia. Sebuah pernyataan yang, mungkin, terdengar sederhana. Tetapi tak pernah sesederhana itu, sebagaimana puisi yang baik tak pernah hanya baris-baris manis.

Saya membayangkan ruang publik bukan cuma sebagai tempat fisik, tetapi juga lanskap batin bersama. Di sanalah politik bertemu percakapan sehari-hari, ekonomi bersilang dengan pengangguran, dan cinta, ya cinta, tumbuh dan tersesat. Apakah sastra bisa hidup di sana? Atau lebih tepat: mungkinkah sastra menghidupkannya?

Ada masa ketika puisi dibaca di taman kota. Di tahun-tahun awal reformasi, ada suara-suara yang tumbuh di luar gedung. Namun, cepat sekali kita kembali ke gedung-gedung, mimbar yang lebih steril, audiens yang sudah tahu harus tepuk tangan kapan.

Maka ketika Denny JA membawa puisi esai ke perbatasan-perbatasan, termasuk sampai ke Sabah, ada sesuatu yang mengganggu sekaligus menggugah: bahwa sastra bisa ditulis dengan tubuh sosial. Bukan sekadar “aku”, tapi juga “kita”. Bukan hanya tentang cinta yang hilang, tapi juga warga yang terusir, sejarah yang dipelintir, dan identitas yang diperdebatkan.

Puisi esai, yang ia gagas sejak 2012, memang kadang dituduh terlalu “prosaik”, terlalu ingin menjelaskan. Tetapi siapa bilang puisi harus selalu gelap dan menyendiri?

Di Jepang, haiku ditulis di papan penunjuk jalan. Di Cile, puisi Pablo Neruda dicetak di tiket bus. Di Jakarta, mungkin yang paling sering ditemukan justru pengumuman razia. Tetapi kota tak selalu menolak keindahan. Ia hanya lupa. Atau dilupakan.

Maka tugas sastra bukan hanya hadir di ruang publik, tetapi mengganggu. Mengganggu rutinitas melihat. Mengganggu cara membaca. Dan di tengah dunia yang terlalu cepat, terlalu bising, terlalu penuh notifikasi, mungkin puisi bisa jadi pelambat yang menyelamatkan.

“Perbanyak sastra di ruang publik,” kata Denny JA. Dan saya membayangkan: bukan hanya puisi di tembok, tetapi juga cerpen di dalam kereta, esai di layar-layar digital, fragmen drama yang bisa kita dengar di pengadilan, di pasar, di balai desa.

Karena ruang publik tak butuh lebih banyak suara. Ia butuh lebih banyak makna.

Saya pernah membaca puisi Sapardi Djoko Damono di dinding halte:

aku ingin mencintaimu dengan sederhana…

Lalu datang hujan. Orang-orang diam. Entah karena kata, entah karena langit.

Sastra memang datang seperti itu. Tanpa aba-aba. Tanpa gegap gempita. Tetapi kadang justru di situlah letaknya: kekuatan yang tak mencolok. Kita melihatnya di tembok, di badan bus, di balik etalase toko yang tak jadi dibuka. Dan justru karena ia hadir tanpa pretensi, ia menyentuh. Ia memeluk.

Ada yang mengatakan sastra itu pelarian. Tetapi saya kira bukan. Sastra adalah pengingat. Di kota-kota yang penuh suara mesin dan layar digital yang selalu terang, sastra seperti suara hati yang masih berani berbisik. Ia hadir bukan untuk menjelaskan, tapi untuk menggugah. Di ruang publik, ia menuntut agar kita, barang sebentar, berhenti berjalan.

Ada yang membaca puisi, lalu mengingat ibunya. Ada yang membaca kutipan Dostoyevsky di dinding toilet umum, dan tersadar bahwa hidup ini bukan hanya tentang efisiensi. Sastra memang tak membetulkan jalan berlubang. Namun ia membetulkan jarak dalam hati kita, jarak antara rutinitas dan rasa. Antara kesibukan dan kesadaran.

Mungkin itulah sebabnya, tanpa sastra, ruang publik terasa kering. Hambar. Tidak karena kita butuh hiburan. Tetapi karena kita butuh makna. Kata-kata yang bukan iklan. Kalimat yang bukan perintah. Tanda baca yang bukan rambu lalu lintas. Kita butuh sesuatu yang mengajak diam di tengah arus.

Di dinding stasiun Pasar Senen, Jakarta, pernah ada mural puisi:

Kita ini para pejalan, tak pernah sungguh sampai.

Lalu hilang, disapu cat abu-abu. Entah kenapa. Mungkin karena tak efisien. Mungkin karena tak menjual. Tetapi di situ saya ingat: kota yang tak memberi ruang untuk kata, perlahan juga kehilangan suaranya sendiri.

Di Leiden, Belanda, puisi menghuni tembok-tembok kota. Bukan sebagai mural yang gaduh, namun justru sebagai kalimat yang nyaris tak bersuara. Ada puisi Borges di sebuah dinding bata, berdampingan dengan puisi Bashō dalam aksara Jepang yang dibiarkan telanjang. Orang lalu-lalang. Kadang mereka berhenti. Kadang mereka tidak. Tetapi puisi tetap di sana. Menunggu yang ingin mengerti.

Barangkali kota tak selalu harus ramai. Barangkali kota juga bisa menjadi tempat merenung. Dan sastra adalah pintunya.

Saya pernah melihat foto sebuah peron kereta bawah tanah di Stockholm. Di dindingnya tertulis larik-larik dari penyair Swedia, Tomas Tranströmer. Bukan untuk mempercantik. Tetapi untuk menemani. Sebab kota, bagi sebagian orang, adalah kesepian yang bergerak cepat. Dan kata-kata bisa menjadi pengiring perjalanan atau justru penuntun pulang.

Di New York, bahkan di trotoar pun ada puisi. Beberapa di antaranya dicetak langsung di permukaan beton. Anda bisa berjalan sambil membaca Emily Dickinson, seakan-akan aspal kota juga ikut berpikir. Di Paris, kalimat-kalimat Albert Camus dan Marguerite Duras disematkan di tiang-tiang jalan dan halte bis. Tak selalu dibaca, namun selalu ada.

Apakah yang ingin kota-kota itu katakan?

Mungkin: bahwa ruang publik bukan hanya milik spanduk dan iklan. Bahwa kota bukan hanya soal fungsi, tapi juga perasaan. Bahwa manusia tidak hanya butuh jalan raya dan sinyal kuat, tapi juga metafora, absurditas, dan keindahan yang tidak segera berguna.

Di Indonesia, ruang publik nyaris seluruhnya milik suara keras. Bunyi klakson. Papan promosi. Poster kampanye. Kalimat-kalimat di jalan jarang berasal dari dunia batin. Padahal kita punya Amir Hamzah. Kita punya Subagio Sastrowardoyo, Goenawan Mohamad, Rendra, dan Abdul Hadi WM. Kita punya Chairil Anwar yang bisa membuat kota-kota ini lebih bersuara, lebih bergema.

Tetapi mungkin kita terlalu sibuk. Terlalu tergesa untuk membaca puisi di jembatan penyeberangan. Kita lupa bahwa keindahan bisa membuat sebuah ruang menjadi rumah. Kita lupa bahwa sebuah larik yang ditempatkan di halte bisa lebih membekas katimbang pidato-pidato panjang di ruang rapat.

Dan lagi, sastra tak butuh panggung besar. Ia bisa hidup di tembok yang retak. Di sela pagar taman. Di balik pintu toilet umum. Ia hanya butuh diizinkan hadir.

Barangkali kelak, kita tak hanya membangun kota yang efisien. Tetapi juga kota yang penuh jeda. Kota yang, seperti kata Rilke, “berani menyimpan sunyi.” Dan dalam sunyi itulah kata-kata tumbuh.

*Gunoto Saparie adalah Ketua Umum Satupena Jawa Tengah. Jatengdaily.com-st

 

 

Facebook Comments Box