Oleh: Herman Novry Kristiansen Paninggiran
Dosen Pariwisata Universitas Semarang & Mahasiswa Doktor Ilmu Komunikasi Universitas Sahid
PADA era digital, budaya lokal semakin mudah diakses, tetapi juga semakin mudah direduksi. Museum, pertunjukan, hingga festival budaya kini dibanjiri pengunjung yang lebih sibuk membuat konten daripada memahami konteks. Pertanyaannya: apakah budaya sedang dilestarikan, atau hanya digunakan sebagai latar estetik demi viralitas?
Fenomena ini menunjukkan bahwa komunikasi dalam pariwisata budaya sering kali bersifat strategis yaitu diarahkan untuk mencapai tujuan instrumental seperti promosi atau komersialisasi. Dalam Teori Tindakan Komunikatif Jürgen Habermas, komunikasi ideal seharusnya bersifat rasional dan dialogis, di mana partisipan saling terlibat untuk membangun pemahaman bersama (mutual understanding), bukan sekadar memengaruhi perilaku pihak lain demi kepentingan tertentu. Komunikasi seperti ini disebut sebagai tindakan komunikatif, dan menjadi fondasi dari ruang publik yang sehat dan demokratis.
Sayangnya, budaya dalam pariwisata justru cenderung mengalami reduksi makna. Ia dikemas sebagai produk instan, dikonsumsi demi estetika visual, dan dijual sebagai pengalaman singkat. Di Semarang, contoh konkret ini bisa dilihat pada beberapa Daya Tarik Wisata budaya yang ada.
Pertama, Museum Ronggowarsito. Meski museum ini menyimpan kekayaan sejarah Jawa Tengah, sebagian besar pengunjung muda datang hanya untuk berfoto di spot-spot estetik. Artefak berharga tidak dipahami maknanya, bahkan narasi sejarah yang melekat padanya pun jarang dibaca. Ini menunjukkan adanya kesenjangan besar antara akses informasi dan kesadaran budaya.
Kedua, pertunjukan wayang orang Ngesti Pandawa yang kini digelar di Taman Budaya Raden Saleh. Pertunjukan ini sudah mulai menyasar audiens muda, tetapi keterlibatan mereka cenderung bersifat pasif. Mereka datang sebagai penonton, bukan partisipan dalam dialog kebudayaan. Nilai-nilai moral, filosofi lakon, dan konteks historis sering kali tidak sampai ke publik.
Saya mengambil contoh Museum Ronggowarsito dan pertunjukan wayang orang Ngesti Pandawa bukan tanpa alasan. Mahasiswa pariwisata Universitas Semarang (USM) pernah secara langsung mengunjungi museum tersebut dan menonton pertunjukan wayang orang sebagai bagian dari kegiatan pembelajaran lapangan.
Dangkal
Pengalaman ini memberikan gambaran nyata tentang bagaimana generasi muda termasuk calon pelaku industri pariwisata masih memaknai budaya secara dangkal. Banyak dari mereka lebih tertarik pada aspek visual dan dokumentasi digital, ketimbang menggali nilai historis atau filosofi kebudayaan yang seharusnya menjadi inti dari pariwisata budaya.
Permasalahan ini tidak bisa hanya diserahkan kepada pengelola budaya atau pemerintah daerah. Sebagai pendidik pariwisata, saya melihat bahwa ada kegagalan dari pihak kami sendiri dalam dunia akademik untuk menanamkan kesadaran budaya yang kritis kepada generasi muda. Banyak mahasiswa pariwisata memandang budaya hanya sebagai daya tarik, bukan sebagai warisan nilai yang harus dipahami secara mendalam.
Kurikulum pendidikan pariwisata seringkali terlalu fokus pada strategi pemasaran, pengelolaan destinasi, dan penciptaan paket wisata. Pendekatan ini perlu dikaji ulang. Kita butuh pendekatan interdisipliner yang memasukkan perspektif komunikasi budaya kritis, filsafat lokal, hingga literasi budaya. Mahasiswa harus diajak untuk tidak hanya menjual pariwisata, tetapi juga memaknai dan merawat budayanya.
Jika mahasiswa pariwisata saja tidak memahami filosofi budaya yang mereka promosikan, bagaimana mungkin wisatawan umum bisa mendapat makna darinya?
Media sosial, sebagai alat komunikasi utama generasi muda, juga seharusnya diarahkan menjadi ruang edukasi. Museum dan institusi budaya bisa mengembangkan konten edukatif seperti storytelling sejarah, sesi tanya-jawab dengan pelaku budaya, dan diskusi digital yang terbuka. Inilah yang disebut Habermas sebagai tindakan komunikatif dalam ruang publik modern.
Kini saatnya kita mengubah pendekatan: dari likes ke makna, dari visual ke refleksi, dari konsumsi ke kesadaran. Pariwisata budaya di Semarang tidak akan berkelanjutan jika budaya hanya dijadikan komoditas. Ia harus diposisikan sebagai jantung identitas lokal yang perlu terus dihidupkan melalui pemahaman kritis, keterlibatan aktif, dan partisipasi kolektif.
Transformasi ini tak bisa dibiarkan tumbuh sendiri. Dibutuhkan kolaborasi antara institusi pendidikan, pengelola budaya, dan pelaku media digital untuk menjadikan pariwisata sebagai ruang edukasi bersama. Jangan biarkan budaya kita hanya tinggal di kamera, tapi hilang dari kesadaran. Jatengdaily.com-st