Oleh: Prof. Dr. Ir. Rohadi, M.P.,
Pendidikan dan kesejahteraan sosial anak-anak pekerja migran Indonesia (PMI) di Malaysia sampai saat ini belum tuntas terselesaikan. Masalahnya kompleks dan saling mengait satu persoalan dengan persoalan lainnya yang diawali dari masalah keimigrasian. Anak-anak pekerja migran di Malaysia lahir dari tenaga kerja Indonesia yang datang ke Malaysia berbekal dokumen keimigrasian yang tidak memadai.
Tenaga kerja yang masuk secara illegal tentu tidak memiliki dokumen keimigrasian secara syah. Mereka masuk ke Malaysia dengan baragam cara dengan motivasi utama adalah mencari pekerjaan dengan harapan memperoleh pendapatan (income) yang layak. Para pekerja migran rata-rata bekerja pada berbagai sektor seperti perkebunan kelapa sawit, asisten rumah tangga, tenaga kasar pada berbagai sektor ekonomi, papar kepala Atase Penerangan Sosial dan Budaya (Pensosbud) KBRI Kuala Lumpur B. Wishnu Krisnamurti.

Oleh sebab masuk secara illegal, mereka tidak memiliki dokumen keimigrasian dan kependudukan, maka keberadaan mereka di Malaysia dianggap sebagai tindak kejahatan. Oleh aparat setempat menjadi target penangkapan (razia) untuk kemudian dinilai sebagai pelanggar hukum yang harus diadili. Mereka tidak berani bersosialisasi dan tidak mungkin pula kembali ke tanah air.
Para pekerja migran tersebut kemudian berumah tangga dengan sesama pekerja migran, baik yang berasal dari Indonesia atau negara lain. Dari hubungan antar mereka diperoleh anak-anak dari pasangan yang illegal pula. Otamatis anak-anak mereka tidak memiliki dokumen kependudukan. Pekerja migran dan anak-anak mereka, tidak memiliki status kewarganegaraan yang jelas.
Penegasan status kewarganegaraan para pekerja imigran menjadi prioritas program KBRI Kuala Lumpur, agar supaya bisa dikeluarkan surat perjalanan laksana paspor (SPLP). Peraturan pemerintahan Malaysia, tidak memberi akses khususnya akses pendidikan dan sosial bagi mereka yang tidak memiliki status kewarganegaraan.
Dengan demikian, anak-anak pekerja migran sedari awal tidak mungkin bersekolah pada sekolah-sekolah formal di Malaysia. Padahal kesempatan memperoleh pendidikan merupakan hak asasi manusia dan dijamin oleh undang-undang internasional tentang hak azasi manusia (human right).
Keberadaan anak-anak PMI sungguh pelik, mereka korban dari sistem keimigrasian yang longgar dan konsistensi aparat dalam penegakan hukum. Surat Perjalanan Laksana Paspor (SPLP) adalah dokumen pengganti paspor yang bisa digunakan WNI di luar negeri dalam keadaan tertentu, seperti kehilangan paspor atau paspor tidak berlaku lagi. Di Malaysia, SPLP dapat digunakan untuk proses pemulangan WNI ke Indonesia. Kasus-kasus dwi kewarganegaraan (affidavit) juga muncul. Kasus yang demikian lebih mudah penyelesaiannya daripada mereka yang tidak memiliki dokumen keimigrasian.
Mengingat anak-anak PMI tidak memiliki akses pada pendidikan formal, maka tak jarang mereka hingga usia dewasa tidak bisa baca tulis. “Pernah ditemukan anak PMI usia 22 tahun tidak bisa baca tulis. Keluarga mereka bermukim di perkebunan sawit. Bagaimana mereka bisa hidup sejahtera, mereka akan miskin selamanya”, terang Whisnu Krisnamurti.
Mengutip data dari Bank Indonesia, jumlah pekerja migran Indonesia di Malaysia menjadi yang terbanyak dengan 1.628.000 orang atau setara 50,03 % dari total keseluruhan pekerja migran Indonesia. Sedangkan jumlah anak pekerja migran Indonesia di Malaysia diperkirakan mencapai sekitar 100.000 orang.
Prediksi ini berasal dari KBRI Kuala Lumpur dan KJRI Kota Kinabalu. Selain itu, ada juga perkiraan bahwa di Sabah, Malaysia, terdapat lebih dari 50.000 anak PMI yang tidak memiliki identitas. Namun jumlah pasti baik pekerja ataupun anak pekerja migran, tidak diketahui. Jumah diatas sebagai gambaran umum saja. Seringkali data PMI dan jumlah anak PMI bervariasi.
Sekolah Indonesia Kuala Lumpur
Menjadi tanggunjawab negara untuk memberikan pendidikan yang layak untuk warga negara. Oleh sebab itu KBRI Kuala Lumpur melalui Sekolah Indonesia Kuala Lumpur (SIKL) bersama masyarakat, komunitas, para relawan, perguruan tinggi dan komite sekolah menyelenggarakan sanggar belajar (SB) untuk menfasilitasi penyelenggaraan pendidikan dasar secara informal bagi anak-anak PMI.
Keberadaan SB setidaknya membantu anak-anak PMI untuk memperoleh pengetahuan, pendidikan dan keterampilan hidup, sebelum mereka harus kembali ke Indonesia ketika memasuki usia sekolah lanjutan Tingkat atas (SLTA). Selepas Pendidikan dasar (kelas 9), mereka harus pergi meninggalkan Malaysia ke Indonesia. Ketika Kembali ke Indonesia, kadang mereka tidak memiliki keluarga, saudara atau famili sehingga peran dan tugas Kementerian Sosial atau Dinas Sosial setempat untuk menampung mereka atau menyalurkannya pada pesantren-pesantren untuk pendidikan lanjut dan bersosialisasi.
Ada banyak sanggar belajar, terutama di lokasi-lokasi yang banyak tinggal PMI. Para PMI rata-rata tinggal secara kongsi (komunal) dengan minimal fasilitas. Wishnu Krisnamurti, menyatakan banyak hambatan dalam pelaksanaan Pendidikan informal di sanggara belajar. Kadang orang tua mereka takut mengantarkan anak-anak belajar, takut terkena razia. Jika terkena razia oleh apparat, kemudian tertengkap pasti dipulangkan.
Bagi pemerintah Malaysia, keberadaan SB dianggap illegal. Sebab memfasilitasi penduduk illegal yang rata-rata tidak memiliki dokumen keimigrasian (undocumented immigrants) sebagai pelanggar hukum. Namun disisi lain, akses pendidikan sebagai hak azasi tiap warga negara. Mestinya pemerintah Malaysia memperhatikan soal HAM. Bagi pemerintah Indonesia tidak ada jalan lain selain memfasilitasi dan memberikan akses pendidikan kepada warga negaranya semaksimal mungkin.
Keberlanjutan pendidikan anak-anak PMI di Malaysia menjadi keberpihakan bersama. Diperlukan keberpihakan dan tanggungjawab sosial bersama, komitmen kuat dan sinergi dari semua element yang menaruh kepedulian. Para relawan dari berbagai strata masyarakat, perguruan tinggi, diaspora dan para filantropis sangat diharapkan bisa membantu keberlangsungan sanggar belajar di Malaysia dengan berkoordinasi dengan SIKL.
Literasi HAM sempit
Kasus-kasuh pendidikan yang menimpa anak PMI di Malaysia disebabkan antara lain oleh pemahaman HAM yang sempit. Ada kelompok-kelompok di daerah-daerah pinggiran yang ultra nasionalis dan berpandangan sempit. Pada tingkat pusat, sesungguhnya pemerintah Malaysia sudah lebih baik pada bidang HAM, tetapi implementasi di daerah kadang tidak sejalan. Diperlukan satu visi antara pemerintah pusat dengan aparat di daerah tentang kebaradaan SB. Keberadaan SB jika tidak diakui, setidaknya jangan ganggu mereka dan biarkan SB berjalan dan berkembang.
Kementerian pendidikan Malaysia (KPM) dan Kementerian Pembangunan Wanita Keluarga dan Masyarakat kerajaan Malaysia mempunyai tanggungjawab dasar atas semua anak-anak di negara itu, tanpa kecuali anak-anak pekerja migran utamanya menyediakan akses pendidikan dasar kepada semua anak-anak. Hal ini selaras dengan komitmen antarbangsa sebagaimana tertuang dalam Konvensi Hak-Kanak-Kanan yang telah pemerintah Malaysia ratifikasi. Malaysia mestinya juga menyediakan polisi yang inklusif untuk memastikan tidak anak anak-anak kekecualikan dari pendidikan atas alasan status keimigrasian. Namun faktanya tidak demikian.
Prof. Dr. Ir. Rohadi, M.P., Ketua Bidang Penelitian LPPM Universitas Semarang yang tengah melaksanakan pengabdian masyarakat di Sanggar Belajar Sekolah Indonesia Kuala Lumpur.Jatengdaily.com-st