
SEMARANG (Jatengdaily.com) – Suasana hangat dan penuh kekeluargaan terasa kental di Masjid Nusrat Jahan, Jalan Erlangga, Semarang, Minggu (3/8/2025). Acara pisah sambut mubalig Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Semarang berlangsung bukan sekadar seremonial, melainkan perjumpaan lintas iman yang kaya akan makna, canda, dan kenangan.
Kegiatan ini digelar untuk melepas Maulana Saefullah Ahmad Farouk yang kini mendapat amanah baru di Jakarta, serta menyambut kedatangan penggantinya, Maulana Sanusi. Dihadiri tokoh-tokoh lintas agama dan kepercayaan, acara tersebut memancarkan semangat toleransi dan persaudaraan yang tulus. Tidak sedikit momen yang memicu gelak tawa—hadirin tertawa lepas saat para sahabat lintas iman menceritakan kisah-kisah lucu dan menyentuh selama bersama Saefullah.
“Harus kami akui, kami kehilangan seorang sahabat sejati dalam perjuangan moderasi beragama dan kebinekaan,” ujar Koordinator Persaudaraan Lintas Agama (Pelita) Semarang, Setyawan Budy. “Selamat bertugas di tempat baru, Maulana Saefullah. Dan selamat datang, Maulana Sanusi, di Semarang.”
Wawan—sapaan akrab Setyawan—menyampaikan bahwa sembilan tahun kebersamaan dengan Saefullah bukanlah waktu yang singkat. Mereka telah melewati banyak momen, dari berbagi tawa hingga air mata. Bahkan, ia berseloroh, kedekatan mereka melampaui batas-batas geografis: “Dia lahir di Jawa Barat, saya di Jawa Tengah. Tapi seperti ada tali batin yang membuat kami merasa berasal dari rahim perjuangan yang sama.”
Kisah mereka bukan sekadar cerita sahabat biasa. Dari kegiatan lintas iman, berziarah bersama, hingga kungkum—semua menjadi memori yang mendalam. “Banyak pelajaran dan hikmah yang saya petik dari sosok Saefullah. Beliau tidak hanya seorang mubalig, tapi juga jembatan kasih antariman,” ungkap Wawan penuh haru.
Dalam sambutannya, Saefullah menyampaikan penghargaan mendalam kepada Pelita Semarang, khususnya kepada Setyawan Budy. Menurutnya, Pelita telah membuka jalan bagi Ahmadiyah untuk terlibat aktif dalam kerja-kerja sosial lintas iman, terutama melalui Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Kolaborasi itu menjadikan komunitas Ahmadiyah lebih diterima dan diikutsertakan dalam dinamika keberagaman di Kota Semarang.
“Lewat Mas Wawan dan Pelita, kami bisa bersilaturahmi dengan banyak tokoh pluralis seperti Kiai Taslim Syahlan, Romo Didik, Kiai Sun Djok San, dan lainnya. Tanpa beliau, mungkin kami masih terpinggirkan,” ujar Saefullah. Ia menyebut Wawan sebagai jembatan yang menghubungkan komunitas minoritas dengan ruang kontribusi yang lebih luas dalam membangun kerukunan.
Momen puncak acara pun menjadi panggung kenangan penuh warna. Tokoh-tokoh lintas agama seperti Sekjen Asosiasi FKUB se-Indonesia Kiai Taslim Syahlan, mubalig LDII Jawa Tengah Kiai Sun Djok San, Pdt. Aryanto Nugroho, Romo Didik, Pdt. Linda Mutiara, Romo Warto, Andi Tjiok, hingga Penasihat Forum Jurnalis Gusdurian (FJG) Joko Wahyudi, satu per satu memberikan testimoni. Namun bukan sekadar testimoni formal—melainkan kisah-kisah lucu dan personal yang membuncahkan tawa seluruh hadirin.
Ada yang bercerita bagaimana Saefullah salah menyebut nama tokoh saat forum resmi, ada pula yang mengingat momen Saefullah keliru membawa alas kaki saat kunjungan lintas iman. Canda-canda ini bukan untuk mengolok, melainkan tanda bahwa sosok Saefullah telah begitu lekat dalam kehidupan mereka.
Di akhir acara, pelukan hangat dan air mata haru mengiringi langkah Saefullah meninggalkan Semarang. Sementara itu, sambutan hangat dan doa terbaik diberikan kepada Maulana Sanusi sebagai penerus perjuangan.
Acara itu menjadi bukti nyata: kerukunan bukan sekadar slogan, tetapi dibangun dalam relasi sehari-hari—dalam tawa, kerja sama, dan persahabatan tulus yang lintas iman dan lintas hati. St


