Refleksi Pembangunan Permukiman di Indonesia Setelah 80 tahun Merdeka

Oleh: Dr. Ir. Slamet Riyadi Bisri, M.B.A
KESEJAHTERAAN merupakan alat ukur keberhasilan suatu keluarga, komunitas maupun lingkup yang lebih luas yaitu negara . Salah satu indikator keberhasilan bernegara setelah 80 tahun merdeka adalah tersedianya rumah dan permukiman yang layak bagi penduduk Indonesia sebagai bukti kemerdekaan.
Rumah merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia, tanpa rumah atau tempat tinggal seseorang akan tidak menentu statusnya apalagi kalau sudah berkeluarga.
Permukiman cakupannya lebih luas yaitu suatu sistem yang terdiri dari rumah-rumah berikut infrastruktur lingkungan dan fasilitas sosialnya.
Pembangunan perumahan dan permukiman merupakan kewajiban pemerintah bersama-sama dengan masyarakat yang tidak akan pernah berhenti .
Disatu sisi ada upaya memenuhi kekurangan ketersediaan rumah (backlog) , di sisi lain mengusahakan tersedianya rumah untuk pertambahan keluarga baru sebgai akibat dari bertambahnya jumlah penduduk.
Gelombang upaya penyediaan perumahan dan permukiman
Beberapa tahun setelah Indonesia merdeka masyarakat mulai menata kehidupannya termasuk tersedianya rumah dan permukimannya.
Bagi sebagian penduduk bercita-cita untuk menjadi pegawai negeri adalah untuk mendapatkan rumah untuk kelangsungan hidup mengingat harga rumah sangat sulit terjangkau pada waktu itu.
PTB (Perusahaan Tanah dan Bangunan) adalah perusahaan yang didirikan oleh pemerintah untuk membangun rumah-rumah dinas bagi sebagian pegawai terutama para pimpinannya, hal ini berlangsung sampai awal dekade 60-an.
Untuk ikut memenuhi kebutuhan rumah pengusaha swasta terpanggil untuk ikut membangun beberapa unit untuk dijual kepada penduduk yang memiliki kemampuan, sementara para pengusaha yang lebih besar yang dapat menjalin hubungan dengan perbankan mengembangkan usaha perumahan yang waktu itu diberi istilah ‘real-estate’ beberapa usaha sejenis berkembang dan membangun asosiasi pada tahu 1960-an yaitu REI (Real Estate Indonesia).
Agar terjadi keadilan dalam membangun waktu itu Pemerintah membuat persyaratan 6:3:1 yaitu apabila pengusaha real estate membangin 1 rumah mewah maka wajib membangun 3 rumah berukuran sedang dan 6 rumah berukuran sederhana.
Aktualisasi pemerintah dibidang penyediaan rumah dan permukiman semakin bersungguh-sungguh maka Perumnas dibangun oleh Pemerintah sebagai suatu perusahaan Negara secara besar-besaran di berbagai kota-kota di Indonesia. Salah satu contohnya adalah kompleks Perumnas Depok yang sekarang berkembang menjadi kota yang maju .
Kgiatan ini dilaksanakan pada dekade 1970an terutama untuk pegawai negri, anggota ABRI dan golongan masyarakat yang berpendapatan tetap dengan kredit kepemilikan dari BTN (Bank Tabungan Negara) dengan bunga yang populer 9% pertahun.
Terjemahan Perumnas dalam bahasa Inggris adalah ‘National Urban Development’yang mencerminkan bahwa suatu saat pemerintah memiliki perusahaan yang bergerak dibidang pengembangan kota, bukan semata-mata pembangunan perumahan.
Bersamaan dengan itu digalakkan program transmigrasi dari pulau-pulau yan padat penduduknya (Jawa dan Bali) ke pulau-pulau lainnya seperti Sumatra, Sulawesi, Kalimantan, Papua dan sebagainya.
Masih banyaknya penduduk yang belum tersentuh dengan berbagai pembangunan perumahan dan permukiman maka pada tahun 1980-an bangkitlah gerakan membangun permukiman oleh komunitas dengan semangat selfhelp baik berupa paguyuban bahkan dalam bentuk koperasi seperti halnya Kopenas (Koperasi permukiman Nasional) yang berdiri tahun 1984 yang beranggotakan beberapa koperasi yang anggotanya memerlukan perumahan, salah satu hasilnya adalah Permukiman Nelayan KUD Makaryo Mino di pekalongan yang masih eksis sampai sekarang.
Di Bandung ada Koperasi Bina Karya yang pada mulanya beranggotakan para tenaga kerja industri garmen yang telah berhasil membangun berbagai kompleks permukiman dengan pendekatan arisan untuk kepemilikannya. Tetap saja salah satu kendala untuk pendekatan seperti ini adalah masalah permodalan.
Dengan beralihnya millennium ke Abad 21 sejalan dengan terjadinya proses reformasi di Indonesia kegiatan penyediaan perumahan dan permukiman di Indonesia semakin kompleks , dari segi pembiayaan sudah bukan lagi monopoli BTN melainkan muncul berbagai bank yang menawarkan kredit kepemilikan maupun kredit konstruksi bagi para pengembang.
Istilah real-estate sudah berkembang menjadi ‘pengembang atau industri properti’ sejalan dengan regulasi yang semakin lunak dimana pembelian lahan bisa dilakukan dengan kredit bank, kebebasan tarif bunga kepemilikan rumah dan longgarnya ketentuan klasik 6:3:1 sehingga pengembang properti relatif bebas membangun rumah untuk segmen pasar yang mereka target.
Sementara itu Perumnas ternyata menghadapi medan yang berat , pembangunan perumahan rakyat tidak lagi semata-mata landed-house (rumah satu lantai di atas lahan) melainkan juga mau tidak mau harus berupa rumah susun mengingat harga lahan semakin tidak terjangkau terutama dikota-kota besar.
Rumah susun pun terdiri dari rumah susun untuk dimiliki unitnya (Rusunami) dan rumah susun dengan sewa untuk setiap unitnya (Rusunawa). Gerakan koperasi dan sejenisnya tetap berkembang secara sporadik sesuai kemampuan.
Adapun di desa-desa masih tetap berkembang berbagai cara gotong-royong dalam pembangunan rumah untuk menekan biaya pembangunan meskipun pemerintah juga tidak tinggal diam dengan menyediakan bantuan pemugaran rumah senilai hampir seratus ribu rupiah setiap unit dan juga bank swasta komersial membuka diri dengan kredit kepemilikan maupun kredit pemugaran rumah .
Beberapa hal yang ditempuh dimasa depan
Menurut Kementerian PUPR backlog perumahan, yaitu selisih antara jumlah rumah yang dibutuhkan dengan ketersediaan rumah sejumlah 12,7 juta (2023) dan sudah mengalami perbaikan menjadi 9,9 juta (2024) meskipun masih ada sekitar 26 juta rumah yang kurang layak huni (perkim.id), di tahun 2025 dan selanjutnya sudah ada program pembangunan 3.000 unit rumah serta ada penawaran lainnya yang tetap saja belum dapat sepenuhnya menghilangkan backlog.
Ada beberapa catatan yang bisa ditempuh untuk memecahkan permasalahan baik di perkotaan maupun di pedesaan.
Rusunawa dan Rusunami di perkotaan perlu lebih diintensifkan untuk mengatasi masalah keterbatasan dan mahalnya lahan serta tingginya biaya konstruksi namun perlu juga ada orientasi bagi calon penghuni yang terbiasa tinggal di landed-house menjadi tinggal di rumah susun.
Permukiman di pedesaan yang jadi permasalahan adalah terkait dengan tehnik pembangunan serta kepatuhan terhadap upaya terciptanya permukiman yang seimbang dan ramah lingkungan untuk itu perlu adanya konsultansi dan supervisi kepada masyarakat dengan pendekatan yang tepat oleh para konsultan permukiman tanpa mengurangi atau menghilangkan nilai-nilai positif dari kearifan lokal, seperti halnya pembangunan pembangunan rumah secara gotong-royong oleh warga masyarakat yang dapat meminimumkan biaya pembangunan rumah.
Peran komunitas, paguyuban maupun koperasi tetap harus terus ditingkatkan termasuk pengaktifan 8.000 Koperasi Merah Putih dibidang pembangunan perumahan dan permukiman.
Koordinasi antarpemangku kepentingan (stakeholders) sangatlah penting dalam pembangunan perumahan dan permukiman dan bila perlu dan memungkinkan dapat dibangun Forum Pembangunan Perumahan dan Permukiman (FP3) di tingkat kabupaten/kota sementara di tingkat nasional sedang dikembangkan organisasi HUD (Housing and Urban development) yang antara lain bersinegi dengan perguruan tinggi dan fihak-fihak lain untuk berkontribusi dalam pemecahan masalah ini.
Dr. Ir. Slamet Riyadi Bisri, M.B.A, Dosen Program Studi S2 Magister Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik Universitas Islam Sultan Agung. (Unissula). Jatengdaily.com-St