in

Sebuah Lompatan Bernama KHGT

Oleh: Gunoto Saparie

ADA sesuatu yang menarik ketika waktu dipatok, ketika detik-detik tidak lagi sekadar bergerak, namun ditafsirkan. Di situ, waktu menjadi kesepakatan, bukan sekadar putaran langit. Maka, ketika Muhammadiyah meluncurkan Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT), kita tidak hanya sedang berbicara tentang tanggal dan bulan, tetapi tentang cara umat manusia mengingat, menandai, dan memaknai semesta.

Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir menyebutkan bahwa KHGT sebagai lompatan ke arah peradaban. Sebuah frasa yang mungkin terdengar agung, tetapi dalam sejarah, bukankah semua peradaban besar dimulai dari penanggalan yang seragam? Dari Babilonia ke Masehi, dari Julian ke Gregorian. Kalender bukan hanya sistem angka. Ia adalah pernyataan kosmologi. Sebab dalam menata hari, manusia sebenarnya sedang menata dunia.
Tetapi mengapa satu hari, satu tanggal, untuk seluruh bumi?

Karena, menurut Muhammadiyah, Islam adalah agama universal, dan bumi ini satu matlak. Titik awal pengamatan tidak lagi bergantung pada bukit-bukit kota atau langit-langit lokal, tetapi pada satu sistem yang lintas benua. Maka, bulan Syawal dimulai bukan karena seseorang melihat hilal dari Bukit Condrodipo atau Jabal Qubais, tetapi karena ada satu rumusan hisab yang disepakati global.

Teknologi menggantikan saksi mata. Sains menggantikan langit yang harus bening.
Bagi sebagian orang, itu terdengar terlalu modern. Terlalu matematis. Tetapi bukankah modernitas selalu menimbulkan keraguan yang sama? Ketika jam pertama kali dibuat, orang pun meragukannya. Mereka lebih percaya bayangan tongkat dan detak azan.

Namun KHGT bukan hanya perkara hisab. Ia adalah pernyataan kultural. Ia ingin membongkar fragmentasi umat yang seringkali bersumber dari hal remeh-temeh: perbedaan tanggal Lebaran. Ia ingin memperlihatkan bahwa Islam bisa rasional, sistematis, dan global, tanpa kehilangan spiritualitasnya.

Ada yang selalu menarik dari usaha manusia menyatukan langit. Mungkin karena langit, seperti Tuhan, tak bisa disentuh, tetapi bisa ditafsir. Di bawah langit itu, umat manusia menandai waktu, menata hari, memulai puasa, dan mengakhirinya dengan gema takbir. Maka ketika Muhammadiyah meluncurkan KHGT, ia seperti hendak menyusun langit agar lebih teratur.

Tentu ini bukan kali pertama waktu ingin ditertibkan. Tetapi yang satu ini istimewa, karena ia menolak dikurung oleh batas negara. KHGT mengusung satu gagasan: satu hari satu tanggal untuk seluruh dunia. Sebuah ide yang pada awalnya terasa utopis, hampir mustahil, apalagi dalam dunia Islam yang terbiasa dengan keragaman tafsir dan metode. Namun seperti banyak hal dalam sejarah, yang utopis seringkali hanya menunggu momentum dan musyawarah.

Dan musyawarah itu pernah terjadi. Di Istanbul, kota yang dulu bernama Konstantinopel, tempat langit Timur dan Barat saling bersitatap, pada Mei 2016, lebih dari 60 negara berkumpul. Mereka tidak membawa senjata atau resolusi perang, tetapi membawa kriteria dan hisab hilal. Di sanalah, benih KHGT itu tumbuh, dan Muhammadiyah, seperti biasa, menjadi pelopornya.

Tetapi apa yang sebenarnya disatukan dari waktu? Apakah bulan baru hanya soal angka di kalender atau makna bersama? KHGT ingin mempersatukan umat yang selama ini berpuasa dan berlebaran dalam tanggal yang berbeda. Ia menawarkan konsep yang dikenal sebagai transfer imkanur rukyat, satu istilah yang terdengar teknis, tapi sebenarnya sarat filosofi. Bahwa ketika hilal terlihat sah di satu tempat di muka bumi, maka ia cukup untuk menetapkan awal bulan bagi seluruh dunia.

Tanpa memaksa yang belum malam, dan tanpa menunda yang sudah fajar.
Ini bukan kompromi kosong. Ini adalah tawaran rasionalitas dalam dunia yang kerap berselisih atas hal-hal simbolik. Dalam istilah astronomi, ia bukan lagi “wilayatul hukmi” yang lokal, tapi “global”—sebuah cara untuk mengatakan bahwa Islam bisa melintasi batas geopolitik dan imajinasi lokal. Bahwa hari raya bisa benar-benar menjadi hari “raya”—yang disambut serempak di Maroko, Jakarta, Mekkah, hingga New York.

Menarik bahwa gagasan ini pertama kali dimunculkan oleh Jamaluddin Abd ar-Raziq dari Maroko. Dalam bukunya At-Taqwim al-Qamary al-Islamy al-Muwahhad, ia menulis tentang kalender kamariah Islam yang unifikatif. Sebuah visi langit yang tidak terpecah oleh daratan. Barangkali ia tahu, bahwa menyatukan umat Islam tidak bisa hanya lewat khutbah atau fatwa, tapi lewat detik-detik yang seragam.

Parameter KHGT pun tidak sembarangan: ketinggian hilal minimal 5 derajat, elongasi 8 derajat, di mana saja—di darat, atau bahkan di lautan yang sunyi. Ia menggunakan pendekatan geosentrik, satu istilah lama yang kini mendapat makna baru: bahwa pusatnya bukan lagi satu tempat, tapi satu kesepakatan. Dan di situlah barangkali makna terdalam KHGT: bahwa kesatuan umat bukanlah mitos, tapi proyek ilmiah sekaligus spiritual.

Meski begitu, seperti banyak hal dalam dunia Islam, KHGT tidak akan lepas dari perdebatan. Di satu sisi ada mereka yang masih percaya pada mata dan ufuk lokal. Di sisi lain, ada yang percaya pada angka dan algoritma. KHGT berusaha menjembatani keduanya, tidak dengan memaksakan satu pandangan, tetapi dengan menawarkan sistem.

Sebuah sistem yang tidak sempurna, tapi bergerak ke arah yang lebih tertib.
Maka jika suatu hari nanti, dunia Islam memulai Ramadan dan merayakan Idulfitri pada hari yang sama, mungkin kita tak akan tahu nama-nama yang membuatnya terjadi. Tapi di antara mereka, akan ada satu nama lembaga yang dulu memulainya dengan diam-diam berani: Muhammadiyah. Dan satu kota di mana langit ditafsirkan ulang: Istanbul.

Karena kadang, revolusi tidak dimulai dari api. Tetapi dari angka. Dan hilal yang dilihat bersama.

Tentu saja, tidak semua akan sepakat. Sebab waktu, seperti juga tafsir, tidak pernah tunggal. Ia hadir dalam pluralitas, dalam riwayat-riwayat yang saling bersilang. Maka tak aneh jika sebagian akan tetap memilih rukyat. Tetap percaya bahwa hilal harus dilihat, bukan dihitung. Bahwa agama bukan sekadar logika, tetapi juga pengalaman dan tradisi.

Tetapi dalam dunia yang semakin terhubung, satu kalender global menjadi niscaya. Kita mungkin belum bisa sepenuhnya menghapus sekat nasional dan madzhab, tetapi kita bisa, setidaknya, sepakat bahwa Ramadan tahun ini akan dimulai bersama. Tanpa perlu bertanya, “Lebaran kamu hari apa?”

Dalam KHGT, Muhammadiyah tidak hanya menghitung waktu. Ia sedang menulis tafsirnya atas dunia. Tafsir bahwa Islam bukan hanya tentang masa lalu, tetapi juga tentang masa depan. Tafsir bahwa waktu bukan milik langit, namun milik manusia yang ingin hidup serempak, di bawah satu langit, satu matlak.

Dan mungkin, itulah langkah kecil ke arah peradaban. Seperti yang dimaksud Haedar Nashir: Sebuah langkah yang dimulai bukan dari perang, tapi dari penanggalan.

*Gunoto Saparie adalah Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Orwil Jawa Tengah. Jatengdaily.com-st

What do you think?

Written by Jatengdaily.com

Pemerintah Tambah Anggaran Makan Bergizi Gratis Rp50 Triliun

Sosialisasi Empat Pilar Perkuat Jati Diri Bangsa dan Teguhkan Persatuan Indonesia