
SEMARANG (Jatengdaily.com) – Lebih baik menjadi orang yang merasa banyak dosa daripada menjadi orang yang merasa dirinya suci. Hal ini karena justru orang yang merasa banyak dosa cenderung lebih dekat kepada kebaikan, sementara orang yang merasa suci bisa terjebak dalam kesombongan yang halus namun berbahaya.
Hal itu dikemukakan Ustadz K.H. Supandi dalam Halalbihalal Warga RW IV Kelurahan Ngaliyan, Semarang, di Lapangan Olahraga Serbaguna, Jalan Taman Karonsih, Ngaliyan, Senin malam, 21 April 2025. Tampil memeriahkan acara Grup Hadroh Padang Bulan Masjid Baitussalam pimpinan Mohammad Agung Ridlo. Sebelumnya menggema kalam ilahi yang dilantunkan Luthfi Fahmi Mahbubi.
Menurut Supandi, orang yang merasa banyak berdosa cenderung menyadari kelemahan dan kekurangannya sebagai manusia, sehingga lahirlah rasa rendah hati. Kesadaran akan dosa mendorong seseorang untuk terus bertobat, memperbaiki diri, dan mendekatkan diri kepada Alah dengan amal-amal saleh. Ia tahu bahwa dosa tidak bisa dihapus hanya dengan waktu, tetapi dengan perbuatan nyata: istighfar, bertobat, sedekah, salat malam, berbuat baik kepada sesama, dan lain sebagainya.
Hal itu, demikian Supandi yang selalu membumbui ceramahnya dengan canda yang memancing gelak tawa hadirin, berbeda dengan orang yang merasa dirinya suci. Dalam pikirannya, ia merasa telah berada di jalur yang benar dan bebas dari kesalahan. Tanpa disadari, sikap ini bisa berubah menjadi kesombongan spiritual (ujub), yakni merasa lebih baik daripada orang lain karena ibadahnya, ilmunya, atau amalannya. Inilah penyakit hati yang sangat halus, dan ironisnya, justru orang-orang yang paling rajin beribadah bisa terjebak di dalamnya.
Menurut Supandi, setiap kali Hari Idulfitri tiba, masyarakat Indonesia memiliki satu tradisi khas yang tidak ditemukan di negara-negara Muslim lainnya, termasuk di tempat lahirnya Islam sendiri, Arab Saudi. Tradisi tersebut dikenal dengan nama halal bihalal. Meski secara linguistik terdiri dari dua kata berbahasa Arab — “halal” dan “bihalal” — tradisi ini lahir, tumbuh, dan menjadi ciri khas umat Islam di Indonesia. Uniknya lagi, seiring waktu, halal bihalal tak hanya menjadi milik umat Islam, tetapi juga diadopsi dan dirayakan oleh masyarakat lintas agama sebagai bagian dari budaya silaturahmi dan rekonsiliasi sosial.
Supandi menuturkan, secara harafiah, istilah “halal bihalal” tidak memiliki makna yang lazim dipakai dalam bahasa Arab sehari-hari. Bahkan, orang Arab sendiri akan bingung jika mendengar frasa ini. Dalam konteks Indonesia, halal bihalal berarti momen saling bermaafan, menyambung tali silaturahmi, dan membersihkan hati dari segala kesalahan yang terjadi selama setahun terakhir. Biasanya, tradisi ini dilakukan setelah salat Idulfitri, dalam bentuk kunjungan ke rumah keluarga, tetangga, sahabat, atau digelar dalam acara formal oleh institusi, komunitas, bahkan pemerintahan.
Ketua RW IV Ngaliyan Gunoto Saparie mengatakan, penyelenggaraan Halal Bihalal Warga RW IV Ngaliyan Semarang ini diharapkan menjadi momentum untuk makin memperkuat tali silaturahmi, kebersamaan, kegotongroyongan, dan persatuan maupun kesatuan. Pada kesempatan itu Gunoto menyebutkan salah satu program RW IV Ngaliyan dalam waktu dekat ini adalah pengelolaan sampah yang membutuhkan partisipasi seluruh warga.
Ketua Panitia Halal Bihalal RW IV Ngaliyan Shodiq Andi Nugroho menyebutkan, halal bihalal yang melibatkan seluruh warga RW baru pertama kali ini dilaksanakan. Sebelumnya, halal bihalal hanya dilaksanakan oleh masing-masing RT. Karena itu kebersamaan seluruh warga dalam halal bihalal ini diharapkan bisa makin mempererat silaturahmi, saling tukar informasi dan pengetahuan, selain menjadi ajang aktivitas masyarakat.
Hadir dan memberikan sambutannya Lurah Ngaliyan Nur Kholis, S.Kom, M.M. yang hadir bersama ibu dan Penasihat RW IV Didik Suwarsono. Tampak pula hadir Babinsa Ngaliyan Sugeng Haryono, Bhabinkamtibmas Restu Andan Bisri, Ketua LPMK Ngaliyan Insan Kumara, Ketua RW XII Ngaliyan Ari Budiono, para mantan Ketua RW IV Ngaliyan, dan para Ketua RT di lingkungan RW IV Ngaliyan. St
0