Scroll Top

Upaya Percepatan Inklusi Keuangan

Oleh: Gunoto Saparie

ADA sebuah percakapan tak terdengar di balik angka-angka yang kita rayakan. Bahwa 76,3% penduduk negeri ini telah memiliki rekening bank; bahwa 88,7% (hampir seluruhnya, kata kita dengan bangga) telah menggunakan jasa keuangan formal; bahwa literasi keuangan nasional telah menyentuh angka 65,4%.

Angka-angka itu bergerak laksana spidol yang penuh percaya diri di atas papan perencana pembangunan. Namun, sebagaimana sering terjadi dalam kehidupan publik kita, angka-angka hanya berbicara tentang apa yang tampak, bukan apa yang menyelinap di sela-selanya: kecemasan, jarak, keraguan yang tumbuh diam-diam di daerah-daerah terpencil, di ruang keluarga tanpa sinyal internet, pada perempuan yang tidak punya KTP karena menikah terlalu muda, pada pedagang sayur yang mengantungi uang tunai sebagai satu-satunya yang dianggap nyata.

Pemerintah, dalam sebuah forum yang terdengar megah, Indonesia International Financial Inclusion Summit (IFIS) 2025, menegaskan kembali komitmen untuk mempercepat inklusi keuangan. Presiden Prabowo Subianto, lewat para pembantunya, menuntut percepatan. Target demi target disusun: 91% inklusi keuangan pada 2025, 93% empat tahun setelahnya, dan 98% pada 2045, tahun ketika republik ini berharap menepati janji menjadi negara maju.

Kita seakan mendengar gema dari impian kolektif: menjadi bangsa yang bukan lagi terseok dalam sejarah keterbatasan, melainkan berdiri tegak di antara negara-negara besar dengan bank digital di genggaman tangan para petani, nelayan, buruh migran, kios pulsa yang berdebu di pinggir jalan.

Namun angka, sekali lagi, punya cara untuk merayakan dirinya sendiri. Ia belum tentu menangkap bagaimana seorang perempuan di pesisir Flores harus menempuh dua jam naik motor ke kantor bank terdekat; atau bagaimana seorang pemuda di pedalaman Kalimantan memiliki ponsel tetapi tak pernah membuka aplikasi dompet digital karena tidak ada yang mengajarinya. Inklusi, dalam pengertian yang paling sederhana, bukan hanya soal akses, tetapi kemampuan untuk percaya.

Dan kepercayaan, kita tahu, tak pernah tumbuh dari brosur pemerintah atau iklan fintech; ia tumbuh dari pengalaman sehari-hari, dari cerita yang diturunkan di warung kopi, dari keberhasilan orang lain yang kita kenal, dari keberlanjutan kecil yang terasa masuk akal.

Dalam forum itu, sebuah kajian diluncurkan: Kajian Pemetaan Inklusi Keuangan: Percepatan Akses Layanan Keuangan untuk Kelompok Sasaran. Di balik judul yang panjang dan rapi, terdapat strategi bagi tujuh segmen populasi utama.

Kita membayangkan selembar peta: garis-garis yang menghubungkan pusat kekuasaan dengan pinggiran republik ini. Dokumen itu, disusun bersama Tony Blair Institute, ingin memastikan bahwa pemerintah pusat dan daerah tidak lagi berjalan sendiri-sendiri. Ada pula Indeks Akses Keuangan Daerah (IKAD), sebuah ukuran yang berusaha menangkap usage, availability, dan depth of financial access.

Kita seperti melihat laboratorium besar sedang bekerja. Negara mencoba membangun jalan, bukan dari beton, melainkan dari data.
Namun negara, seperti manusia, selalu terikat pada sifat-sifat yang tak mudah diubah. Ia dapat merancang strategi, tetapi jalan menuju inklusi keuangan sesungguhnya adalah jalan menuju pengakuan manusia.

Deputi Ali Murtopo Simbolon menyebut kata dignity, martabat. Sebuah kata yang, dalam politik kita yang gaduh, terasa asing namun sekaligus penting. Sebab apa arti rekening bank bagi seseorang yang bahkan tak punya alamat tetap? Apa arti literasi keuangan bagi perempuan yang pendapatannya dianggap pelengkap bagi suaminya? Inklusi keuangan, seperti halnya pendidikan, seperti kesehatan, seperti demokrasi itu sendiri, adalah soal martabat: kemampuan seseorang untuk merasa layak menjadi bagian dari sistem.

Oleh karena itu, kita harus mengingat kelompok yang disebutkan pemerintah: perempuan, penyandang disabilitas, pelaku UMKM, dan mereka yang tinggal jauh dari pusat. Mereka seringkali tak hanya dikecualikan oleh sistem, tetapi juga oleh ingatan kita. Di antara gedung-gedung tinggi Jakarta dengan layar LED raksasa yang memamerkan pertumbuhan ekonomi, ada seorang penyandang disabilitas di desa yang bahkan tidak tahu cara membuka rekening karena kantor bank tidak ramah bagi kursi roda.

Ada pedagang gerobak di Makassar yang tak berani mengambil pinjaman digital karena takut pada bunga dan jeratan klausul tersembunyi. Ada kelompok orang yang telah begitu lama berada di pinggir hingga tidak lagi yakin bahwa pusat benar-benar memikirkan mereka.

Bahwa modernitas, sering kali, bukan soal kemajuan, melainkan soal mereka yang tertinggal olehnya. Inklusi keuangan dapat menjadi jembatan, tetapi juga tembok: jembatan jika negara mendengarkan; tembok jika negara hanya menghitung. Kita pernah melihat bagaimana program ekonomi besar (revolusi hijau, industrialisasi, digitalisasi) membawa angin perubahan tetapi menciptakan ketimpangan baru.

Bank bisa hadir di ponsel, tetapi utang juga bisa hadir dalam satu klik. Akses bisa meluas, tetapi kecemasan bisa berlipat.
Mungkin karena itulah literasi keuangan menjadi begitu penting. Bukan sekadar kemampuan membaca tabel bunga atau memahami instrumen investasi; melainkan kemampuan memahami risiko, kemampuan bertanya, kemampuan menolak.

Literasi, dalam bentuk yang paling sederhana, adalah kemampuan memiliki pilihan. Dan pilihan, kita tahu, adalah inti dari kebebasan. Pemerintah, Bank Indonesia, OJK, bersama lembaga internasional, tampaknya memahami hal itu. Mereka ingin strategi literasi dan inklusi keuangan berjalan terintegrasi.

Mereka mengajak dunia, lewat IFIS, untuk melihat Indonesia bukan sebagai konsumen teknologi finansial, melainkan sebagai pemimpin global agenda pemerataan ekonomi.

Tetapi mari kita bertanya: apa sebenarnya yang ingin kita capai? Apakah inklusi keuangan berarti setiap orang harus punya rekening, ataukah setiap orang harus mampu mengatur hidupnya dengan lebih tenang, tanpa terus-menerus dihantui ketidakpastian ekonomi? Apakah kita mengejar akses atau martabat? Kita mengutip kata future (masa depan) dan hope (harapan).

Namun harapan bukan milik spanduk dan sambutan pejabat. Ia milik seorang ibu yang bisa menabung untuk pendidikan anaknya tanpa takut uangnya hilang. Ia milik petani yang tidak lagi bergantung pada tengkulak. Ia milik pelaku UMKM yang bisa meminjam dengan bunga adil dan prosedur manusiawi.

Ada saat ketika negara perlu bergerak cepat. Ada saat pula ketika negara perlu berhenti sejenak dan mendengarkan. Untuk mempercepat inklusi keuangan, mungkin kita perlu memperlambat cara kita melihatnya: tidak sebagai proyek, tetapi sebagai perjalanan sosial; tidak sebagai target, tetapi sebagai proses mengenali mereka yang selama ini berada di luar radar statistik.

Di sebuah dusun, mungkin ada seorang guru honorer yang telah mendengar istilah cashless society, tetapi masih merasa dompet fisik lebih nyata daripada saldo digital. Dalam dunia yang semakin abstrak, kepercayaan tumbuh dari sesuatu yang sangat konkret: sentuhan layanan manusia.

Kita bisa mengagumi visi besar pemerintah. Kita bisa berharap kepada indeks, forum global, kolaborasi internasional. Tetapi pada akhirnya, inklusi keuangan adalah kisah kecil yang terjadi di tiap warung, tiap rumah, tiap layar ponsel yang retaknya membelah lambaian sinyal internet yang tidak stabil.

Dan mungkin, sebagaimana sering ditulis Goenawan Mohamad, ada yang tidak sepenuhnya terjelaskan: bahwa ambisi sebuah negara kadang bergantung pada kemampuan mendengar bisikan paling pelan dalam masyarakatnya.

Kita menyebut masa depan, seakan ia berada di depan dan menunggu kita berjalan. Tetapi masa depan, seperti inklusi keuangan, barangkali bukan sesuatu yang kita hampiri.

Ia sesuatu yang kita bangun—pelan-pelan, dengan kesabaran, dan terutama dengan kesadaran bahwa martabat tidak pernah bisa dipaksakan oleh target angka. Ia tumbuh dalam kepercayaan yang sederhana: bahwa setiap warga, betapapun jauh ia tinggal, punya tempat dalam cerita tentang kemajuan negeri ini.

Kemajuan, mungkin, bukan tentang siapa yang berlari paling cepat, tetapi siapa yang memastikan tidak ada yang tertinggal.

*Gunoto Saparie adalah Ketua Umum Satupena Jawa Tengah.Jatengdaily.com-St

Privacy Preferences
When you visit our website, it may store information through your browser from specific services, usually in form of cookies. Here you can change your privacy preferences. Please note that blocking some types of cookies may impact your experience on our website and the services we offer.