
SEMARANG (Jatengdaily.com) —Siang di Gedung Nartosabdo, Taman Budaya Raden Saleh (TBRS), Selasa, 18 November 2025, terasa seperti memasuki ruang yang berdetak pelan oleh ingatan. Cahaya yang merembes dari jendela tua menyentuh kursi-kursi yang mulai terisi sejak pukul 13.00. Di luar, udara Semarang masih sejuk—jarang, tetapi hari itu seolah turut bersiap menyambut pertemuan para pecinta sastra. Di dalam ruangan, para penyair, pegiat seni, hingga penonton dari berbagai usia duduk berdekatan, saling menyapa, seolah gedung itu berubah menjadi rumah bersama bagi siapa pun yang mencintai kata.
Semarang Berpuisi digelar bukan sekadar untuk membaca puisi. Hari itu, panggung menjadi lanskap kota—kadang teduh, kadang riuh—yang dirayakan melalui suara, tarian, musik, dan narasi. Deretan nama penting di dunia sastra hadir tanpa sekat generasi: Gunoto Saparie, Eko Tunas, Sulis Bambang, Didik Supardi MS, Maya Ofifa, Tegsa Teguh Satria, Basa Basuki, Adhitia Armitrianto, hingga Ahmad Dhani Fachroni. Dari panggung itulah Semarang seperti dihidupkan kembali, satu bait demi bait.
Panitia sejak awal berpesan: bacalah puisi tentang Semarang, tentang kota sebagai lorong kenangan, ruang budaya, atau ruang sosial yang tak pernah berhenti bergerak. Maka panggung seketika berubah menjadi peta emosional kota. Ada aroma laut dari pesisir, jejak pelabuhan tua, pancaran lampu Simpang Lima, rintik hujan Gombel, remang Kota Lama, hingga lengang malam di kampung-kampung tua yang menyimpan cerita turun-temurun.
Gunoto Saparie, Ketua Umum Satupena Jawa Tengah, membuka sesi pembacaan dengan puisi tentang figur legendaris Kota Semarang: Slamet Gundul, dan tentang sisi gelap kehidupan jalanan. Suaranya yang tenang tetapi tajam membuat ruangan langsung mengerutkan hening. Semua mata tertuju pada panggung, seolah menjelajahi lorong-lorong kota melalui suaranya.
Eko Tunas menghadirkan Semarang urban yang satir, sementara Sulis Bambang menyinggung hubungan manusia dan sejarah kota. Didik Supardi MS mengajak penonton larut dalam pembacaan teatrikalnya—setiap jeda, gerak tangan, dan tekanan nada membuat audiens spontan bertepuk tangan di tengah baris.
Dari generasi muda, Maya Ofifa dan Tegsa Teguh Satria menghadirkan Semarang sebagai ruang pencarian jati diri. Basa Basuki serta Adhitia Armitrianto membawa suasana sosial dengan diksi yang lugas. Ahmad Dhani Fachroni menutup sesi dengan puisi bernapas spiritual, meneteskan keheningan yang tak segera hilang. Namun panggung sore itu tidak hanya milik kata. Gerak dan suara ikut membingkai suasana.
Seruni Dance menampilkan tarian kontemporer yang menafsirkan Semarang sebagai tubuh yang tak berhenti berubah. Gerakan para penari menyapu panggung seperti ombak, seperti ritme kota: kadang tenang, kadang liar.
Teater Kampung Dongeng menuturkan kisah-kisah kecil warga Semarang, meneteskannya perlahan dalam gaya storytelling yang membuat anak-anak tertawa dan orang dewasa menunduk mengenang.
Sementara Swaranabaya menyulam musik akustik dengan vokal puitik. Beberapa puisi penyair Semarang mereka ubah menjadi lagu. Ruangan pun dipenuhi suasana syahdu, seolah angin sore ikut berkerlip dalam nada.
Di antara barisan penonton, tampak sejumlah tokoh penting Kota Semarang hadir. Yang paling mencuri perhatian adalah sikap Kepala Dinas Arsip dan Perpustakaan, FX. Bambang Suranggono. Setiap kali seorang penampil turun dari panggung—penyair, penari, aktor teater—ia selalu berdiri, menyalami mereka satu per satu. Gerakannya sederhana, hampir tanpa seremonial, tetapi mengandung penghormatan yang jarang terlihat.
Beberapa penampil bahkan mengaku terharu. “Langka ada pejabat yang memberi apresiasi sehangat itu,” bisik seorang penyair muda setelah turun panggung. Dan memang, pada sore itu, kehangatan terasa mengalir lebih cepat daripada udara sejuk ruangan.
Di sela acara, Gunoto Saparie menyampaikan rasa bangganya terhadap semarak literasi di Kota Semarang. Ia menyebut bahwa dalam beberapa tahun terakhir, gairah itu tumbuh kuat dari komunitas, lembaga pemerintah, sekolah, hingga ruang-ruang budaya.
“Ini bukan hanya tentang puisi,” ujarnya penuh haru. “Ini tentang kota yang hidup, menumbuhkan warganya lewat membaca, menulis, dan berkesenian.”
Gunoto juga menilai geliat tersebut tak bisa dilepaskan dari kepemimpinan Wali Kota Semarang, Agustina Wilujeng Pramestuti, yang konsisten mendorong kegiatan literasi melalui program-program budaya dan ruang ekspresi publik.
Menjelang magrib, lampu panggung meredup perlahan. Para penyair, pejabat, dan penonton berkumpul untuk foto bersama. Ruangan hampir tak menyisakan kursi kosong; semua berdiri, tersenyum, seolah berada dalam satu keluarga besar yang disatukan oleh seni.
Sore itu, Semarang Berpuisi tidak hanya menjadi acara sastra. Ia menjadi peristiwa kultural—tempat kata, musik, gerak, dan penghargaan bertemu dalam satu ruang yang hangat. Kota Semarang tampak hidup, bukan hanya dalam bangunan dan jalan-jalan barunya, tetapi dalam denyut kreativitas warganya.
Di Gedung Nartosabdo, kata-kata kembali menemukan rumahnya. Dan Semarang, sekali lagi, membuktikan dirinya sebagai kota yang tidak hanya bergerak maju, tetapi juga tumbuh dalam kedalaman budaya. Sunarto

