Oleh: Gunoto Saparie
Barangkali sebuah undang-undang kadang seperti naskah kuno: sakral dalam teksnya, namun kalah oleh debu waktu. Sejak 2017, Undang-Undang No. 5 tentang Pemajuan Kebudayaan menjanjikan sebuah harapan: negara hadir bukan sekadar sebagai penjaga warisan, tetapi sebagai pelindung para penjaga warisan itu. Namun tahun-tahun berjalan, dan yang tersisa adalah proses yang tertunda; peraturan pelaksanaan yang tidak kunjung selesai; sebuah jembatan yang belum dibangun menuju janji-janji yang pernah diucapkan.
Di Kementerian Kebudayaan, para birokrat mungkin sibuk menyusun, merapikan, menghitung. Tetapi di luar gedung-gedung itu, kesenian tak menunggu. Para pelaku budaya terus bekerja, bukan karena ada negara, tetapi meskipun negara kadang absen. Ketika peraturan teknis tak juga hadir, sebuah kebingungan tumbuh pelan, di gelanggang birokrasi. Kebudayaan tak hanya membutuhkan dukungan moral, tetapi kepastian hukum. Tanpa itu, program pemajuan kebudayaan bagaikan kapal besar dengan layar patah: ada tenaga, ada kemudi, namun tak bergerak jauh.
Kewajiban izin dan pembagian manfaat bagi industri besar dan pihak asing yang memanfaatkan kebudayaan Indonesia secara komersial adalah salah satu janji yang paling dinanti. Tradisi yang diambil, tarian yang dikomersialkan, motif kain yang dijual lintas benua, semua tak pernah salah hanya karena ia berkembang, tetapi selalu menyisakan pertanyaan: ketika keuntungan mengalir, siapa yang menerima manfaat? Ketika peraturan menteri belum lahir, jawaban selalu ditangguhkan. Sementara para seniman, masyarakat adat, dan penjaga tradisi menunggu, waktu berjalan dalam diam.
Mungkin negara percaya bahwa semua sedang dalam proses. Tetapi proses, bila terlalu lama, berubah menjadi absensi. Di antara meja-meja rapat, hal-hal yang mendesak sering tak tampak mendesak. Kebudayaan adalah sesuatu yang terus bergerak. Ia tidak sabar menunggu. Ia tidak mengenal istilah “sedang disiapkan”.
Sistem Pendataan Kebudayaan Terpadu adalah penanti lain. Kita pernah membayangkan sebuah pangkalan data raksasa yang menghimpun tarian, kuliner, manuskrip, bangunan cagar budaya, para maestro, festival; semacam ingatan kolektif bangsa yang tidak lagi hanya tersimpan di kepala-kepala masyarakat. Tetapi sampai hari ini, sistem itu belum beroperasi penuh. Ada ganjalan teknis, ganjalan regulasi, ganjalan koordinasi. Dan kebudayaan, yang selama ini ditopang oleh ingatan para pelakunya, tetap berjalan dalam cara yang lama: tersebar, terpisah, tidak terkonsolidasi. Sebuah arsip yang rapuh karena ia hanya hidup di tubuh yang suatu hari akan hilang.
Pemajuan kebudayaan bukan sebuah jalan tunggal yang berjalan dari pusat ke daerah. Ia menuntut sebuah dialog, dan dialog memerlukan kesediaan untuk mendengar. Karena itu, PPKD (Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah) semestinya bukan sekadar ritual administratif lima tahunan. Ia bukan laporan yang ditulis untuk memuaskan kementerian, melainkan cermin yang menggambarkan kebutuhan para pelaku budaya di tiap daerah.
Tetapi seperti banyak hal yang berhubungan dengan partisipasi publik, kualitas PPKD sering bergantung pada keseriusan pemerintah daerah menjalankan prosesnya. Tanpa pengawasan dan pendampingan dari Kementerian Kebudayaan dan Kementerian Dalam Negeri, PPKD bisa lahir dalam keadaan prematur: tergesa, tak utuh, tak mendengar suara para seniman. Dan ketika suara itu tidak hadir di meja perencanaan, maka program di pusat, betapapun mulianya, tak akan pernah bertemu dengan kenyataan di lapangan.
Bappenas mungkin sudah merancang peta besar: RPJMN, RPJPN, RAN Pemajuan Kebudayaan. Tetapi perencanaan nasional hanyalah rancangan arsitektur besar yang memerlukan pondasi kecil di desa, kelurahan, kabupaten. Jika partisipasi masyarakat tidak nyata, maka pemajuan kebudayaan hanya akan menjadi narasi dalam dokumen negara, lengkap dalam teks, tetapi jauh dari tubuh orang-orang yang menghidupinya.
Ada ironi di situ: negara ingin memajukan kebudayaan, namun kerap lupa bahwa kebudayaan bukan objek, melainkan subjek. Ia bukan sesuatu yang dipajang, tapi mereka yang hidup: penari sampur, penulis lontar, pemain ludruk, pembatik, pewayang, hingga para penggerak komunitas kecil di sudut desa, yang meminjam balai RW demi tetap bisa berlatih.
Dana Abadi Kebudayaan adalah harapan lain, mungkin yang paling konkret. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, negara menetapkan apa yang selama ini kerap mustahil: dana permanen untuk kebudayaan. Selama puluhan tahun, seniman terbiasa dengan ritme “ajukan proposal, tunggu, ditolak, coba lagi”—tradisi birokrasi yang ironis karena seringkali menguras lebih banyak tenaga daripada berkarya itu sendiri.
Melalui Dana Indonesiana, manfaat Dana Abadi disalurkan. Namun sejak 2022, keluhan muncul: mekanisme yang rumit, sistem digital yang tak ramah pengguna, ketidakjelasan evaluasi, masalah komunikasi, bahkan penyaluran hibah yang terlambat hingga melewati jadwal kegiatan. Kritik itu bukan cermin untuk mempermalukan, melainkan kesempatan untuk memperbaiki. Karena sistem yang adil tidak hanya harus akuntabel bagi negara, tetapi juga manusiawi bagi seniman.
Kebudayaan bukan proyek infrastruktur yang memiliki tahapan baku dan pola kerja yang seragam. Ia luwes, improvisasional, cair. Kemenkeu ditantang menciptakan sistem keuangan yang mampu menampung sifat kerja kebudayaan tanpa kehilangan akuntabilitas. Sebuah hal yang sulit, namun bukan mustahil. Toh, negara mampu melakukannya untuk penelitian, pendidikan, bahkan pertahanan. Kebudayaan tidak layak menjadi yang terakhir.
Yang lebih penting, modal Dana Abadi Kebudayaan perlu tumbuh. Selama modal tidak meningkat, jumlah penerima manfaat akan terbatas. Dan bila distribusinya tidak adil, pusat kebudayaan hanya akan tetap jatuh pada kota besar, bukan daerah-daerah yang justru paling menjaga tradisi.
Pada akhirnya, pemajuan kebudayaan adalah cerita tentang kehadiran negara. Bukan kehadiran yang bersuara keras, melainkan yang bekerja senyap dan tepat waktu. Peraturan pelaksanaan yang tertunda, PPKD yang dikelola seadanya, distribusi Dana Indonesiana yang belum ideal—semuanya menyiratkan hal yang sama: ada janji yang belum sepenuhnya ditepati.
Mungkin pemerintah percaya bahwa kebudayaan selalu bisa menunggu. Tapi sejarah menunjukkan sebaliknya: banyak warisan punah bukan karena ditolak, tapi karena tak sempat diselamatkan. Banyak tradisi hilang bukan karena diganti, tapi karena tak pernah dijaga.
Kebudayaan bukan sekadar masa lalu; ia masa depan yang sedang kita bangun. Ia adalah cara kita melihat diri sendiri, dan bagaimana dunia melihat kita. Ketika negara menunda urusannya, ia sebenarnya sedang menunda dirinya sendiri.
Esai ini bukan seruan, bukan pula kemarahan. Ia hanya mengingatkan: waktu budaya tidak bekerja seperti waktu birokrasi. Ia bisa berjalan, tetapi juga bisa menutup pintunya selamanya.
Maka percepatan penyusunan peraturan pelaksanaan bukan sekadar urusan teknis, melainkan etika. Etika terhadap mereka yang menjaga identitas bangsa ini. Etika terhadap sejarah, terhadap masa depan.
Karena pada akhirnya, negara bisa berdiri tanpa banyak hal, tanpa gedung tinggi, tanpa upacara, bahkan tanpa lagu kebangsaan. Namun ia tak akan pernah menjadi bangsa tanpa kebudayaannya.
*Gunoto Saparie adalah Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT). Jatengdaily.com-st


