Oleh: Gunoto Saparie
Di sebuah kota kecil yang tak dicatat peta wisata, seorang pelukis muda pernah menemukan kembali garis tangannya sendiri. Ia tinggal sebulan di rumah kayu peninggalan kolonial yang dijadikan tempat residensi. Dari jendela, ia melihat rumpun bambu dan kuda-kuda yang sesekali melintas. Selebihnya, ia melihat dirinya, sesuatu yang, entah kenapa, tidak sempat ia lihat ketika berada di tengah kota, di tengah toko cat, di tengah pesanan mural yang harus selesai minggu depan. Mungkin di situlah, pada kesunyian yang disediakan tempat residensi itu, seni menemukan alasan untuk kembali bernapas.
Kita bisa memulai dari sesuatu yang cukup sederhana: seniman bekerja dengan ruang dan waktu. Tetapi ruang, kita tahu, tak selalu ramah. Kota yang bising, ruang kontrakan yang sempit, jam kerja tambahan untuk bertahan hidup. Waktu, kita juga tahu, sering kali sebuah kemewahan. Maka residensi dan hibah seni menjadi dua kata yang sebenarnya bukan sekadar administrasi, bukan semata program yang setiap tahun dilaporkan pemerintah atau lembaga filantropi. Ia adalah bentuk kepercayaan: bahwa kreativitas butuh tempat, waktu, dan sedikit jarak dari hiruk-pikuk yang membuat imajinasi menyusut.
Pablo Neruda pernah menulis bahwa seorang penyair adalah orang yang “berhutang pada sunyi”. Tapi senyap semacam itu tak lagi mudah ditemukan. Residensi, sebuah jeda yang dirancang, sebuah ruang yang dibuat, memberikan kemungkinan bagi seniman untuk menagih kembali utang itu.
Di negeri ini, residensi seni baru beberapa dekade terakhir menemukan pijakannya. Banyak yang percaya residensi adalah perjalanan intelektual: seorang penulis dipertemukan dengan manuskrip-manuskrip tua; seorang koreografer mendengar ulang detak langkah masyarakat pedesaan; seorang pematung belajar pada batu-batu sungai yang tidak dipahatkan siapa pun. Tapi residensi juga perjalanan yang lebih sederhana: bangun pagi tanpa dipanggil tuntutan ekonomi, lalu berjalan-jalan di lingkungan baru yang meminjamkan semacam keajaiban kecil.
Namun, residensi hanya salah satu sisi. Sisi lain adalah hibah seni. Keduanya sering dipandang sekadar fasilitas. Padahal hibah seni, pada hakikatnya, adalah pengakuan—bahwa karya seni membutuhkan biaya, dan biaya itu bukan sesuatu yang perlu disembunyikan. Karya besar sering lahir dari waktu yang panjang dan pendanaan yang cukup. Kita jarang menyebut itu, seolah seni tumbuh dari mitos kemiskinan romantik. Padahal kemiskinan tidak pernah romantik; ia hanya membatasi.
Hibah seni tidak mengubah seniman menjadi “pekerja institusi”, melainkan memungkinkan mereka bekerja lebih bebas, lebih berani. Dan mungkin, lebih jujur.
Ada yang bilang residensi dan hibah adalah privilese. Mungkin benar, jika kita melihat mereka dari kacamata yang sempit. Tetapi di satu sisi, seni sendiri adalah kerja yang rentan. Ia tidak memiliki jaminan sosial yang jelas; tidak semua seniman memiliki akses terhadap pasar. Maka residensi dan hibah bukanlah privilese, melainkan bentuk lain dari keberpihakan.
Jika kita bertanya mengapa negara perlu hadir, jawabannya dapat kita lihat pada sejarah kesenian mana pun: kebudayaan berkembang selalu karena ada tangan-tangan yang memberi ruang. Di Eropa abad pertengahan, ada patronase gereja; di era renaisans, para bangsawan menjadi penyokong; di abad modern, ada institusi, museum, dan filantropi. Kebudayaan tak pernah tumbuh sendirian. Ia memerlukan ekosistem. Residensi dan hibah seni adalah dua dari sedikit ekosistem yang memungkinkan seniman tetap utuh tanpa harus menanggalkan pandangannya.
Tentu ada kritik. Ada yang mengatakan residensi kadang menjadi semacam “wisata intelektual”: perjalanan singkat, lalu kembali tanpa jejak. Ada hibah yang menyisakan birokrasi panjang, laporan berlembar-lembar, atau kurator yang lebih tertarik pada proposal yang rapi ketimbang pada gagasan yang liar. Kritik itu, sebagian, tidak salah.
Seni memang tidak selalu tumbuh di ruang yang terlalu formal. Kreativitas sering datang pada jam yang tak dicatat, pada dinding kosong, pada ketidaksengajaan. Tapi mungkin justru itu gunanya residensi dan hibah: bukan untuk memaksa kreativitas mengikuti format, melainkan untuk menyediakan kemungkinan. Bahwa keberhasilan sebuah residensi bukanlah pada laporan akhir, tetapi pada perubahan kecil dalam diri seniman, yang kadang hanya tampak dalam goresan yang lebih tenang, nada yang lebih jernih, atau paragraf yang lebih matang.
Kita sering lupa: seniman tidak hanya membutuhkan ruang fisik. Ia juga butuh ruang dialog. Residensi mempertemukan seniman dengan komunitas lain, budaya lain, pertanyaan-pertanyaan lain. Dari pertemuan itulah lahir friksi, dan dari friksi lahir gagasan baru.
Goenawan Mohamad pernah menyinggung bahwa kesenian adalah peristiwa perjumpaan: antara yang tampak dan tidak tampak, antara pengalaman pribadi dan suara dunia. Residensi adalah peristiwa perjumpaan dalam bentuk yang paling harfiah: seorang seniman yang datang dengan lukisan-lukisan lamanya lalu mendapati bahwa di tempat asing itu, ia bisa menggambar ulang dirinya.
Hibah seni, di sisi lain, adalah perjumpaan yang lebih subtil. Ia mempertemukan seniman dengan tanggung jawab baru: bahwa ada kepercayaan yang harus dijaga, ada kebebasan yang perlu dipelihara, ada peluang yang harus dijawab. Hibah memerdekakan, tapi pada saat yang sama menegaskan betapa seni bukan permainan yang nihil: ada konsekuensi moral, ada kesungguhan.
Bila kita bertanya, apa pentingnya semua itu untuk masyarakat? Mungkin jawabannya: seni yang kuat membuat masyarakat lebih tahan menghadapi masa depan. Karya seni tidak mengatasi kemiskinan, tidak menghentikan banjir, tidak memperbaiki jalan rusak. Tetapi seni menyediakan kemampuan lain, kemampuan untuk membayangkan. Dan masyarakat yang tak bisa membayangkan masa depan adalah masyarakat yang kehilangan arah.
Residensi dan hibah seni tak pernah berdiri sendiri. Mereka adalah cara untuk menjaga agar imajinasi tetap tumbuh, agar seniman tidak berhenti pada kebiasaan, agar generasi baru percaya bahwa kebudayaan bukanlah sesuatu yang dibiarkan berjalan sendiri, tetapi sesuatu yang mesti diupayakan bersama.
Di kota kecil itu, pelukis muda tadi akhirnya menemukan garis yang selama ini hilang. Ia kembali membawa tujuh kanvas baru. Bukan kanvas yang luar biasa; bukan juga yang akan ia pajang di galeri besar. Tapi ia membawa sesuatu yang tak terlihat: sebuah jarak yang memampukan ia kembali memandang hidupnya sendiri.
Mungkin, pada akhirnya, residensi dan hibah seni adalah tentang itu: menemukan kembali diri sendiri, agar seni dapat kembali menemukan dunia.
Gunoto Saparie adalah Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah. Jatengdaily.com-st
0



