Urgensi Pembubaran Lembaga Nonstruktural

Gunoto Saparie
Oleh Gunoto Saparie
PRESIDEN Joko Widodo terus bergerak untuk merampingkan birokrasi pemerintahnya. Ia belum lama ini membubarkan 10 lembaga nonstruktural (LNS). Keputusan ini ditetapkan melalui Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2020. Perpres tersebut diteken Jokowi pada 26 November 2020 dan diundangkan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly.
Berdasarkan pertimbangan dalam perpres, pembubaran 10 lembaga bertujuan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan. Penghapusan LNS sesungguhnya merupakan kelanjutan dari serangkaian tindakan pembubaran yang dilakukan terhadap puluhan lembaga sebelumnya. Kita ingat, misalnya, pada tanggal 5 Desember 2014, pemerintah membubarkan sebanyak 10 LNS. Pembubaran ini berlanjut setahun kemudian, tepatnya tanggal 30 Desember 2016, di mana 9 LNS dihapus.
Harus diakui, serangkaian tindakan penghapusan puluhan lembaga nonstruktural ini menunjukkan bahwa perampingan birokrasi masih menjadi agenda yang terus berlanjut dan tampaknya akan terus dilakukan. Pemerintah Jokowi boleh dikatakan sangat konsisten mengenai hal ini. Paling tidak, ada dua indikator yang dipakai oleh pemerintah untuk membubarkan lembaga nonstruktural. Indikator tersebut adalah menyangkut dasar hukum pembentukan serta peningkatan efektivitas dan efisiensi pelaksanaan urusan pemerintahan. Dengan indikator dasar hukum pembentukan, pemerintah ingin menghapus lembaga nonstruktural yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), atau Keputusan Presiden (Keppres).
Oleh karena itu, agar penataan lembaga nonstruktural lebih terarah, pemerintah perlu melakukan evaluasi secara komprehensif, menetapkan kriteria/indikator yang terukur, dan komitmen politik untuk menjalankannya. Publik dapat juga dilibatkan untuk memberi pandangan atas urgensi dan kemanfaatan suatu lembaga. Sehingga, pembentukan, penggabungan ataupun penghapusan sebuah lembaga akan mendapatkan legitimasi rakyat.
Bermacam Varian LNS
LNS adalah lembaga yang dibentuk melalui peraturan perundang-undangan tertentu guna menunjang pelaksanaan fungsi negara dan pemerintah, yang dapat melibatkan unsur-unsur pemerintah, swasta dan masyarakat sipil, serta dibiayai oleh anggaran negara. LNS tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, namun dalam dinamika penyelenggaraan negara dan pemerintahan terdapat tugas dan fungsi lain yang dinilai harus diselenggarakan, sehingga perlu dibentuk lembaga independen. Dinamika dimaksud melahirkan bermacam varian LNS dengan tugas dan fungsi masing-masing, seperti mempercepat proses terwujudnya penegakan dan kepastian hukum, meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan juga pengembangan kehidupan sosial budaya di Indonesia.
Kita tahu, mekanisme pembubaran LNS secara praksis-prosedural terdapat tiga klaster model pendirian sekaligus pembubarannya. Pertama, LNS yang pendiriannya melalui payung Peraturan Presiden (Perpres). Klaster ini dari sisi pendirian dan pembubarannya hanya melalui satu pintu yakni melalui Presiden. Karena proses pendiriannya melalui jenis peraturan perundang-undangan yang pembentukannya sepenuhnya melekat pada Presiden (presidential policy).
Mekanisme pembubaran LNS yang pendiriannya melalui model instrumen hukum ini relatif mudah. Presiden cukup membubarkan lembaga yang hendak dibubarkan. Hal itu pula yang dilakukan Jokowi di periode pertama yang telah membubarkan sebanyak 23 LNS dan di periode kedua kepala negara belum lama ini juga telah membubarkan 18 LNS. Kedua, LNS yang pendiriannya berbasis undang-undang (UU) atau Peraturan Pemerintah (PP) yang mendapatkan pendelegasian dari UU. Sebagaimana mekanisme penyusunan undang-undang, keberadaan lembaga ini harus mendapat persetujuan bersama antara DPR dan Presiden.
Prosedur yang sama juga berlaku saat hendak membubarkan lembaga yang payung hukumnya berupa UU atau PP sebagai aturan turunan dari UU. Ketiga, lembaga negara yang disebut dalam Undang-Undang Dasar (UUD) dengan klasifikasi sebagai berikut; eksplisit organnya disebut dalam UUD, fungsinya disebut eksplisit, serta nama dan fungsinya disebut eksplisit namun pengaturannya lebih lanjut melalui UU. Mekanisme pembubaran lembaga negara yang mekanisme pendirinnya seperti tersebut lebih rumit dibanding dua klaster sebelumnya.
Opsi yang dapat dilakukan untuk pembubaran lembaga negara yang keberadaannya (baik organ dan fungsi) melalui UUD tak lain melalui amandemen konstitusi. Dalam konteks konstitusi di Indonesia yang karakteristik perubahannya bercirikan rigid, tidak mudah untuk membubarkan lembaga negara yang masuk klaster ini.
Bagaikan Sebuah Kapal
Mengacu pada pernyataan Jokowi, negara itu bagaikan sebuah kapal. Hanya kapal yang ramping saja yang bisa bergerak cepat dan menyalip kapal-kapal lainnya yang bergerak lambat karena terlalu banyak muatan. Realitas persaingan saat ini bukanlah antara negara besar vis a vis dengan negara kecil, melainkan negara cepat yang bisa mengalahkan negara lambat di mana kecepatan bergeraknya menjadi kunci.
Tindakan pembubaran LNS pada dasarnya memiliki relevansi kalau dikaitkan dengan situasi dan kondisi saat ini. Pandemi covid-19 telah menimbulkan dampak yang signifikan terhadap perekonomian nasional. Oleh karena itu, kebijakan untuk melakukan pembubaran LNS merupakan salah satu pilihan rasional. Paling tidak, “kapal” yang selama ini membawa terlalu banyak beban sehingga tidak efektif dan efisien, harus dikurangi muatannya.
LNS yang ada seharusnya dapat optimal menopang strategi pemerintah dalam menghadapi dampak ekonomi akibat krisis. Pemerintah tentu saja tidak mungkin lagi mempertahankan LNS yang tidak produktif. Dalam perspektif manajemen organisasi pembubaran LNS yang tidak hanya memboroskan anggaran adalah pilihan rasional. Oleh karena itu diperlukan langkah dan tindakan penghapusan sejumlah LNS untuk meningkatkan efisiensi, produktivitas, dan daya saing.
Memang, pembubaran sejumlah LNS itu bukannya tanpa risiko. Mialnya menyangkut nasib aparatur sipil negara yang bernaung di lembaga-lembaga tersebut, apakah mereka akan ditempatkan di bawah kementerian induk atau ditempatkan di birokrasi daerah. Selain itu, tugas dan tanggung jawab lembaga dan komisi yang dibubarkan tersebut hendaknya dapat disentralisasikan kembali ke kementerian-kementerian induk.
Gunoto Saparie adalah Fungsionaris ICMI Wilayah Jawa Tengah. Tinggal di Jalan Taman Karonsih 654, Semarang. Jatengdaily.com–st