Hari Ibu, Momentum untuk Berbakti

Oleh : Nur Khoirin YD
HARI INI, Rabu 22 Desember 2021, di Indonesia diperingati sebagai Hari Ibu Nasional, untuk mengenang peristiwa Kongres Perempuan Indonesia yang digelar pada tanggal 22-25 Desember 1028 di Yogyakarta. Kongres pertama ini dihadiri oleh sekitar 30 organisasi perempuan dari 12 kota di Jawa dan Sumatra, yang dimaksudkan untuk meningkatkan hak-hak perempuan di bidang pendidikan dan pernikahan.
Isu yang diangkat adalah pendidikan bagi anak perempuan, perkawinan anak, kawin paksa, poligami liar dan perceraian secara sewenang-wenang, serta peran perempuan yang hanya menjadi konco wingking (teman belakang). Gerakan perempuan ini kemudian mendapat dukungan dari Presiden pertama RI, Soekarno sehingga menetapkan Hari Ibu Nasional 22 Desember melalui Dekrit Presiden RI Nomor 316 Tahun 1953.
Isu yang diusung ketika itu perempuan sebagai konco wingking (peran domestik), agar mendapatkan peran yang seimbang dengan kaum laki-laki, sekarang ini mungkin sudah tidak relevan lagi. Tuntutannya sekarang ini sudah terpenuhi. Kedudukan perempuan dengan laki-laki sudah seimbang, baik dalam keluarga, pendidikan, lapangan kerja, karier, dan peran-peran sosial dan politik.
Bahkan dalam bidang-bidang tertentu perempuan telah lebih maju dan melampaui laki-laki. Sekarang ini sudah tidak terdengar lagi kisah-kisah pilu kawin paksa, poligami liar, dan perceraian seenaknya oleh laki-laki. Tokoh-tokoh perempuan telah banyak tampil sejajar dengan laki-laki menempati posisi-posisi strategis, baik dilegislatif maupun jabatan eksekutif.
Peran ibu sebagai perempuan dalam kehidupan di luar rumah, dalam kancah pergaulan sosial, politik, ekonomi, berbangsa dan bernegara, sudah banyak diperbincangkan. Gerakan kesetaraan gender yang diusung oleh berbagai organisasi pemerintah dan swasta, kini sudah mencapai puncaknya.
Bahkan ada yang kebablasan dalam penerapannya, sehingga muncul anekdot populer, ikatan suami takut istri (ISTI), suatu gambaran betapa peran perempuan telah mendominasi segala lini. Bukti yang nyata adalah angka perceraian terbesar sekarang ini justru diajukan oleh para istri yang menggugat suaminya, sebanyak 68%, dan sisanya diajukan oleh suami.
Malin Kundang Modern
Sekarang ini mulai luntur penghgormatan dan penghargaan anak-anak kepada ibunya. Kisah Malin Kundang si anak durhaka kepada ibunya yang kemudian dikutuk menjadi batu, tidak hanya ada dalam cerita dibuku-buku, tetapi menjadi kisah nyata di tengah-tengah kehidupan modern.
Kita sering mendengar berita, seorang anak tega menggugat ibunya di pengadilan, anak tega mengusir ibunya dari rumahnya sendiri, anak tega membiarkan ibunya yang sudah tua berjalan kali menyusuri jalanan yang panas menjajakan daun singkong sekedar untuk bertahan hidup, padahal anaknya berlimpah harta.
Anak-anaknya yang sudah kaya hidup di kota, tidak jarang lebih memetingkan burung atau anjing piaraannya yang harganya ratusan juta, dari pada menengok ibunya di desa yang sudah renta. Beberapa ibu malah diperdaya untuk menjaga rumah dan momong anaknya, agar lebih ngirit dan tidak perlu biaya. Ini barangkali sosok modern dari si Malin Kundang yang durhaka.
Gambaran suram seorang ibu juga sering dipertontonkan oleh peran-peran antagonis dalam sinetron atau film-film kita. Adegan-adegan yang tidak mendidik, seorang anak yang membantah dan membentak ibunya sepereti temannya atau bawahannya. Ibunya juga disosokkan tidak berdaya, tidak punya power dihadapan anak-anaknya. Tontonan inilah yang sering menjadi tuntunan, banyak ditiru oleh para penggemarnya. Kedudukan ibu yang mestinya harus ditaati, dihormati, dan bahkan dipuji-puji untuk mendapat ridhonya, sekarang ini menjadi sosok yang biasa dan bukan siapa-siapa.
Momentum untuk berbakti
Peringatan Hari Ibu ini harus menjadi momentum simbol kebaktian seorang anak kepada ibunya. Momentum untuk mengingat kembali jasa-jasa ibu yang tidak terperi, kasih sayangnya yang meliputi, kegigihannya yang menghidupi, ketulusannya yang menyinari, kesabarannya yang teruji, pengorbanannya yang dari hati, dan doanya yang tidak putus sepanjang hari.
Jasa-jasa ibu kepada anaknya sungguh tidak ada kata-kata yang dapat mewakili. Kedudukan seorang ibu yang harus dihormati dan dimulyakan oleh anak-anaknya adalah pandangan dunia, disepakati oleh semua agama dan disetujui oleh semua budaya. Oleh karena itu, peringatan Hari Ibu atau Mother’s Day dirayakan oleh hampir semua negara di dunia termasuk Indonesia, sebagai momentum untuk menghormati dan memulyakan ibu.
Kedudukan orang tua, khususnya ibu dalam Syari’at Islam sudah sangat jelas. Banyak ayat Al Qur’an yang memerintahkan, agar anak-anak birrul walidain (berbakti kepada orang tuanya). Allah SWT menyandingkan perintah berbakti kepada kedua orangtua dengan perintah bertauhid hanya kepada-Nya (Q.S Al-Isra: 23, Al-Baqarah: 83, Al-An’am: 151, Al-Ahqaf: 15-18)). Anak-anak dilarang keras berkata kasar, uf atau ah, apalagi menyakiti hatinya. Anak-anak wajib bersikap lemah lembut, merendahkan diri, dan selalu berdoa untuk kedua orang tua (QS. Al Isra : 23-25).
Bahkan ketika orang tua berbeda keyakinan dan prinsip sekalipun, anak-anak harus tetap berhubungan dengan baik (QS. Luqman : 14-15). Khusus mengenai kedudukan seorang ibu, maka Rasulullah swa pernah ditanya oleh salah seorang sahabat tentang siapakah orang yang harus dihormati di dunia ini, maka Rasul menjawab, “Ibumu, ibumu, ibumu”, baru kemudian bapakmu.
Meskpun perintah untuk berbakti kepada orang tua harus dilakukan sepanjang waktu, tetapi dengan adanya peringatan Hari Ibu setiap Tanggal 22 Desember ini setidaknya menjadi momemtum memperbaharui niat dan semangat, menyediakan waktu dan uang saku, agar ibunya ikut senang dan bahagia disisa-sisa umurnya yang sudah tua. (Beli waloh ke Purwokerto, keridhoan Alloh tergantung wong tuo).
DR. H. Nur Khoirin YD, MAg, Ketua BP4 Propinsi Jawa Tengah/Advokat Syariah/Dosen FSH UIN Walisongo, Tinggal di Jl. Tugulapangan H-40 Tambakaji Kota Semarang, Telp. 08122843498. Jatengdaily.com-st