Sekali Lagi Tentang Perkawinan Beda Agama

nurkhoirin101

Oleh : Nur Khoirin YD

Keabsahan perkawinan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”, sebenarnya telah beberapa kali diuji di Mahkamah Konstitusi (MK), tetapi beberapa kali juga ditolak.

Salah satu kasus yang pernah diputus adalah putusan Nomor 68/PUU-XII/2014, yang isinya menolak seluruh permohonan uji materi terhadap Pasal 2 ayat 1 yang mengharuskan pasangan nikah harus seagama. Karena menurut pertimbnagan Mahkamah, ketentuan harus seagama dalam undang-undang tersebut sama sekali tidak melanggar konstitusi.

Perkawinan beda agama ini kembali menghangat setelah ada seorang warga Papua, Ramos Petage, mengajukan judicial review ke MK, gara-gara dirinya yang beragama Katholik tidak bisa menikahi kekasihnya yang beragama Islam, https://news.detik.com/7/2/2022).

Dia beralasan bahwa, Pasal 2 ayat 1 secara kctual telah melanggar hak-hak konstitusional yang dimilikinya sehingga dia tidak dapat melangsungkan perkawinan dengan wanita yang telah menjadi pilihannya sendiri. Sehingga oleh karena itu pasal yang mengharuskan pasangan calon suami istri harus seagama itu harus dibatalkan, karena bertentangan dengan hak asasi manusia.

Bagaimanakah putusan MK terhadap perkara yang berulang ini, apakah akan menolak atau bahkan memberikan putusan yang berbeda? Kita tunggu. Karena sekarang ini masih dalam proses pendaftaran online oleh Tim Kuasa Hukumnya. Tetapi yang menarik untuk kita cermati adalah tentang hakikat dan tujuan perkawinan itu sendiri, apakah sebatas urusan manusia dengan manusia, sehingga terserah apa maunya? Ataukah ada urusan lain yang lebih penting, sehingga perlu diatur? Tulisan kecil ini akan melihat dari dua sudut pandang tersebut, yaitu dalam perspektif hak asasi manusia (HAM) dan tujuan perkawinan.

Perkawinan adalah HAM
Ramos Petage yang mengajukan uji undang-undang ke MK itu mengusung dalil, bahwa perkawinan adalah HAM, sehingga negara tidak boleh intervensi apalagi menghalangi kehendak bebas setiap individu. Menurutnya, Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan bertentangan dengan Pasal 29 Ayat (1) dan (2) UUD 1945, bahwa negara menjamin kebebasan beragama dan beribadah. Artinya, menjamin keberlangsungan peribadatan tersebut dapat terlaksana dan terpenuhi dengan baik.

Tetapi tidak boleh mencampuri urusan ibadah agama atau kepercayaan yang dianut di Indonesia. Menurutnya, perkawinan yang dilangsungkan secara beda agama tetap berlandaskan nilai Ketuhanan Yang Maha Esa yang dilaksanakan melalui ketentuan agama dan kepercayaan yang dianut oleh masing-masing calon pasangan sebagai suatu hak asasi manusia yang bersifat adikodrati dan merupakan hak privat antara individu dengan Tuhan Yang Maha Esa.

Selain itu, Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan juga dinilai bertentangan dengan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, menyatakan sebagai berikut: (1) Setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. (2) Perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan calon istri yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dalam Penjelasannya, yang dimaksud dengan “kehendak bebas” adalah kehendak yang lahir dari niat yang suci tanpa paksaan, penipuan, atau tekanan apapun dan dari siapapun terhadap calon suami dan atau calon isteri. Oleh karena itu, sejatinya perkawinan beda agama merupakan bagian dari hak kodrati yang melekat pada diri seseorang yang tidak dapat dipaksakan oleh negara melalui perangkat hukum yang dibentuknya.

Maka terhadap Pasal 2 ayat (1), bahwa perkawinan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu seharusnya dimaknai sebagai pilihan bagi calon pasangan yang akan melangsungkan perkawinan beda agama untuk menentukan secara bebas akan tunduk pada hukum agama dan kepercayaannya tertentu dalam melangsungkan perkawinannya.

Perkawinan adalah ibadah.
Alasan-alasan yang dikemukakan oleh Ramos Petage tersebut di atas sepintas nampak benar dan masuk akal. Bahwa tidak salah, perkawinan adalah hak setiap orang untuk memenuhi kebutuhan manusiawi, menyalurkan libido seksual dan berketurunan. Tetapi Ramos lupa dan tidak melihat aspek yang lain, bahwa hakikat dan tujuan perkawinan adalah ibadah. Artinya, tidak hanya urusan manusia dengan manusia, tetapi yang lebih penting adalah untuk memenuhi perintah Tuhan, Allah swt. Sehingga tidak boleh sak karepe dewe dengan dalil kebebsan dan hak asasi.

Dalam Pasal 1 ditegaskan “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Tujuan perkawinan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan hubungan seksual suami istri yang bisa jadi lekas bosan dalam hitungan bulan. Tetapi yang lebih penting adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan YME. Ketiganya harus menjadi satu. Kalau sekedar berkeluarga, tidak hanya manusia, hewan juga beranak pinak dan berkeluarga.

Untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal inilah, maka perkawinan perlu diatur, harus memenuhi berbagai ketentuan yang berlaku, diantaranya pasangan haruslah seagama. Sehingga sampai hari ini di Indonesia belum pernah ada perkawinan beda agama yang bisa dicatat secara sah. Karena perkawinan dipandang sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Ketentuan ini dipahami, bahwa pasangan yang akan menikah haruslah seagama.

Kalau pun ada pasangan yang sebelumnya beda agama, maka untuk bisa dilangsungkan perkawinannya secara sah, salah satu harus konversi agama ke salah satu agama pasangannya. Misalnya harus sama-sama beragama Islam atau Katholik atau Budha. Karena sampai hari ini tidak ada ajaran agama (apa saja) yang memperbolehkan pemeluknya menikah beda agama. Sedangkan perkawinan haruslah disandarkan dan didasarkan atas Ketuhanan YME.

Ketentuan suami sitri harus seagama ini sangat prinsip. Keluarga yang bahagia dan kekal tidak mungkin terwujud jika antara suami istri terdapat perbedaan pandangan hidup yang prinsip. Suami beribadah di masjid, sementara istrinya ke gereja. Suami mengharamkan babi, tetapi istrinya justru hobi sop babi. Apalagi mengenai perbedaan keyakinan yang tajam.

Suami meyakini hanya Islam yang dapat mengangtarkan ke surga, tetapi istri lain keyakinannya. Pastilah dalam pergaulan suami istri akan menemui berbagai perbedaan yang dapat memicu perselesihan dan pertengkaran yang terus menerus. Jangankan perbedaan yang prinsip, perbedaan mengenai hal-hal yang sepele saja sering mengakibatkan rumah tangga kandas dan pecah di tengah jalan. Oleh karena itu pasangan suami istri, meskipun sebelumnya adalah dua pribadi yang berbeda, tetapi setelah menikah haruslah seperti satu jiwa, satu pandangan, satu tujuan untuk mewujudkan keluarga yang bahagia dan lestari di bawah ridha Ilahi.

DR. H. Nur Khoirin YD., MAg, Ketua BP4 Propinsi Jawa Tengah/Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Walisongo/Advokat Syari’ah/Mediator/Arbiter Syari’ah, Tinggal di Jl. Tugulapangan H.40 Tambakaji Ngaliyan Kota Semarang, Telp. 08122843498. Jatengdaily.com-st