Ternyata, Negara Indonesia Baik-baik Saja Tanpa Ibu Kota

Oleh Nia Samsihono
Ketika mendengar istilah “ibu kota,” kita sering mengaitkannya dengan pusat segalanya—politik, ekonomi, budaya, dan pemerintahan. Namun, apa jadinya jika Indonesia, negara kepulauan terbesar di dunia, “hidup” tanpa memiliki satu ibu kota yang tunggal? Mungkin terdengar seperti skenario fiksi, tetapi mari kita bayangkan: Indonesia baik-baik saja tanpa ibu kota.
Sejak proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Jakarta telah menjadi ibu kota Indonesia. Jakarta dipilih karena posisinya yang strategis, bersejarah, dan memiliki fasilitas yang memadai sebagai pusat pemerintahan dan ekonomi. Pada 4 Januari 1946, ibu kota dipindahkan ke Yogyakarta karena ancaman militer dari Belanda yang ingin merebut kembali Indonesia pasca kemerdekaan. Yogyakarta dianggap lebih aman dan strategis sebagai pusat perjuangan mempertahankan kemerdekaan.
Selama masa ini, Yogyakarta memainkan peran penting dalam mempertahankan kedaulatan Indonesia. Ketika Belanda melancarkan Agresi Militer II pada Desember 1948 dan berhasil menduduki Yogyakarta, pemerintahan darurat dibentuk di Bukittinggi, Sumatra Barat, dengan nama Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Ini menjadi bukti kelangsungan pemerintahan Indonesia meskipun ibu kota utama berada di bawah pendudukan. Setelah pengakuan kedaulatan oleh Belanda pada 27 Desember 1949, ibu kota kembali ke Jakarta. Sejak saat itu, Jakarta terus berkembang menjadi pusat pemerintahan, ekonomi, budaya, dan politik Indonesia. Namun, sekarang Jakarta bukan lagi menjadi daerah khusus ibu kota, tetapi daerah daerah khusus Jakarta. Kedudukannya telah diubah. Lalu, di mana ibu kota negara Indonesia? Itu juga belum ditetapkan secara formal.
Desentralisasi yang Menguatkan
Indonesia memiliki konsep desentralisasi yang sudah berjalan sejak era reformasi. Pemerintah daerah diberi otonomi untuk mengelola wilayah masing-masing, mulai dari ekonomi hingga pemerintahan. Tanpa satu ibu kota sebagai pusat, kekuatan pemerintahan bisa lebih merata. Setiap provinsi akan memiliki peran yang sama pentingnya dalam mengatur kebutuhan dan potensi lokalnya, sehingga pembangunan tidak hanya berpusat di satu titik.
Hal ini bisa mengurangi ketimpangan ekonomi yang selama ini terjadi antara pusat dan daerah. Dengan mengalihkan perhatian ke seluruh wilayah, Indonesia dapat fokus mengembangkan potensi daerah seperti sektor pariwisata di Bali, pertanian di Sulawesi, dan industri di Jawa Barat.
Konektivitas yang Mendukung
Di era teknologi dan globalisasi, komunikasi dan koordinasi tak lagi bergantung pada jarak geografis. Pemerintah bisa bekerja dari mana saja dengan memanfaatkan teknologi informasi. Rapat kabinet tak lagi harus terjadi di gedung megah Jakarta, tetapi bisa dilakukan secara virtual dari Sabang hingga Merauke.
Infrastruktur yang terus berkembang juga memungkinkan konektivitas antarwilayah semakin baik. Bandara internasional, pelabuhan, dan jalan tol yang terhubung antarpulau dapat menjadi pengganti fisik keberadaan pusat administrasi. Ini menunjukkan bahwa ibu kota sebagai simbol fisik tidak lagi menjadi kebutuhan mutlak.
Identitas yang Terpecah Rata
Tanpa ibu kota, Indonesia juga berpotensi memperkuat keberagaman identitasnya. Alih-alih satu kota yang menjadi wajah negara, setiap daerah bisa menjadi representasi keberagaman budaya, bahasa, dan tradisi. Hal ini dapat meningkatkan rasa bangga akan identitas lokal sekaligus mengukuhkan semangat persatuan dalam keragaman.
Menghapus Beban Kota Tunggal
Seiring berjalannya waktu, ibu kota sering kali menjadi pusat beban yang luar biasa. Contohnya, Jakarta mengalami masalah seperti kemacetan, banjir, dan kepadatan penduduk. Jika konsep ibu kota dihapuskan, beban tersebut bisa tersebar ke wilayah lain, menciptakan kehidupan kota yang lebih seimbang dan nyaman.
Konteks IKN: Langkah Awal Menuju Pemerataan
Pemindahan ibu kota negara yang direncanakan ke Nusantara di Kalimantan Timur sebenarnya menjadi langkah awal menuju pemerataan pembangunan. Namun, bagaimana jika konsep ibu kota sepenuhnya dilepaskan? Negara-negara seperti Amerika Serikat dan Jerman telah menunjukkan bahwa negara tetap bisa berfungsi meski tidak semua aktivitas terpusat di ibu kota mereka.
Indonesia, dengan segala kekayaannya, memiliki potensi besar untuk menerapkan sistem yang lebih cair dan dinamis. Tanpa ibu kota, negara ini tidak hanya baik-baik saja, tetapi mungkin justru menjadi lebih adil, merata, dan kuat. Pada akhirnya, ibu kota hanyalah simbol. Yang jauh lebih penting adalah bagaimana pemerintah dan rakyat dapat bekerja sama untuk membangun negeri ini dari setiap sudut, dari Sabang sampai Merauke.
Tanpa ibu kota sekalipun, Indonesia tetap memiliki semangat persatuan, gotong royong, dan cinta tanah air yang menjadi pondasi sejatinya. Walau sebenarnya ibu kota negara merupakan simbol penting bagi Indonesia sebagai sebuah republik yang ketika itu telah ditetapkan oleh para pendiri republik bahwa letaknya di Jakarta.
Oleh karena Jakarta memiliki makna historis yang mendalam, yaitu telah menjadi saksi proklamasi kemerdekaan dan berbagai peristiwa penting dalam sejarah Indonesia. Sebagai pusat pemerintahan, Jakarta mencerminkan kedaulatan dan persatuan negara. Namun, pemindahan ibu kota ke Nusantara di Kalimantan Timur mungkin akan menegaskan simbol baru: pemerataan pembangunan dan semangat Indonesia sebagai negara maritim dan kepulauan.
Pemindahan ini bertujuan untuk mengatasi masalah urbanisasi di Jakarta dan menciptakan pusat pemerintahan yang lebih modern, inklusif, dan berwawasan lingkungan. Jadi sebenarnya ibu kota selalu menjadi simbol kekuatan, keberlanjutan, dan visi negara dalam menciptakan Indonesia yang adil dan makmur. Meskipun sekarang Indonesia terasa baik-baik saja tanpa ibu kota.
Nia Samsihono adalah Ketua Umum Satupena DKI Jakarta dan kini bertugas di Tokyo, Jepang. Jatengdaily.com-st