Oleh : Tri Karjono
Statistisi Madya BPS Provinsi Jawa Tengah
PADA pertengahan Januari 2025 pemerintah melalui Badan Pangan Nasional (Bapanas) telah menerbitkan aturan terkait kenaikan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah menjadi Rp 6.500 per kilogram. Aturan itu tertuang dalam Keputusan Kepala Badan Pangan Nasional (Kepbadan) Nomor 2 Tahun 2025 tentang Perubahan Atas Harga Pembelian Pemerintah (HPP) dan Rafaksi Harga Gabah dan Beras.

Harga tersebut diberlakukan untuk kualitas Gabah Kering Panen (GKP) di tingkat petani dengan Kualitas kadar air maksimal 25% dan kadar hampa maksimal 10%. Jika kualitas gabah di luar kualitas tersebut, maka akan dibeli dengan harga penyesuaian/rafaksi. Rafaksi menurut KBBI adalah pemotongan terhadap harga barang yang diberikan sebab mutunya lebih rendah dari ketetuan.
Belum genap satu bulan, tepatnya pada akhir bulan yang sama melalui Keputusan Kepala Badan Pangan Nasional Nomor 14 Tahun 2025 merevisi dengan menghilangkan syarat kualitas untuk harga tersebut. Alhasil berapapun kadar air dan kadar hampa dari gabah hasil panen petani dibayar dengan harga yang sama.
Kebijakan pemerintah ini diantaranya dimaksudkan untuk melindungi petani dari potensi anjloknya harga gabah saat panen raya. Kita ketahui bahwa bulan Januari menjadi titik awal dimulainya panen raya. Sesuai hukum pasar maka ketika terjadi kenaikan suplay maka ada kecenderungan terjadi penurunan price (harga). Hal ini yang dikhawatirkan pemerintah akan berimbas pada kurang terhargainya jerih payah petani sebagai sang penjaga ketahanan pangan.
Perubahan aturan dari ketentuan kualitas tertentu menjadi tanpa memperhatikan kualitas disamping, dimaksudkan menjamin pendapatan petani juga untuk memastikan target serapan gabah oleh Bulog terpenuhi. Seperti diketahui bahwa selama setahun ini Bulog ditargetkan harus mampu menyerap setara tiga juta ton beras. Kurang lebih 10% dari perkiraan total produksi.
Hingga semester satu tahun ini telah mencapai 86,67 persen dari target. Selebihnya, 13,33 persen sepertinya akan sangat mudah dipenuhi di sisa waktu yang ada walau diketahui bahwa panen raya telah berakhir.
Pada sisi produsen atau petani, kebijakan ini dirasa sangat berkorelasi dalam membantu meningkatkan pendapatannya, namun adakah korelasinya dengan fenomena yang ada dengan begejolaknya harga beras di beberapa tempat yang lalu dan fenomena beras oplosan yang ada akhir-akhir ini.
Korelasi terhadap pendapatan petani dapat ditunjukkan oleh catatan BPS pada variabel penghitungan nilai tukar petani (NTP) sebagai proxy indikator kesejahteraan petani yaitu indeks yang diterima petani (It). Dimana indeks yang diterima petani (It) secara rata-rata Januari hingga Juli 2025 ini lebih tinggi dibanding dengan periode yang sama dan selama tahun 2024.
Jika pada periode tersebut tahun 2024 rata-rata It sebesar 135 poin, pada tahun ini lebih tinggi dengan 138 poin. Dibanding tahun 2024, NTP Tanaman Pangan tahun ini tercatat tebih tinggi 4,67 poin.
Harga Beras Meningkat
Diketahui bahwa sekira bulan Februari yang lalu sempat marak diberitakan terjadi kenaikan harga beras di pasaran. Pasar induk Cipinang sebagai contoh, harga termahal hampir menembus Rp. 20.000 per kilogramnya (iNews.id, 18/02/2025). Awal bulan Maret baru mulai menunjukkan tren penurunan ketika pemerintah melakukan intervensi.
Data BPS menyatakan bahwa selama tujuh bulan terakhir harga beras di tingkat penggilingan dengan kualitas premium dan medium terjadi fluktuasi. Setelah meningkat di bulan Maret, pada bulan April dan Mei sempat sedikit terjadi penurunan. Namun kembali meningkat cukup tajam di dua bulan terakhir. Situasi yang sama juga terjadi di tingkat grosir.
Hal ini berimbas pada harga beras di tingkat konsumen. Dimana dengan nilai konsumsi terbesar pada struktur penghitungan indeks harga konsumen (IHK) jelas fluktuasi harga beras akan sangat mempengaruhi pada nilai besaran inflasi.
Seperti halnya di bulan Juli ini, BPS mencatat terjadi inflasi beras sebesar 1,59 persen secara bulanan, dan 5,12 persen secara tahunan di tingkat grosir serta terjadi inflasi sebesar 1,35 persen secara bulanan dan terjadi inflasi 3,81 persen secara tahunan. Alhasil beras menjadi komoditas yang dominan mendorong inflasi pada kelompok pengeluaran dengan andil inflasi sebesar 0,06 persen dari inflasi q to q Juli 2025 sebesar 0,30 persen.
Hal ini menunjukkan bahwa seiring dengan kenaikan HPP GKP ada kecenderungan atau patut diduga diiringi dengan peningkatan harga pada fase paska GKP hingga beras di tingkat konsumen.
Beras Oplosan
Jika dulu pernah ada isu beras sintetis yang pada kenyataannya tidak terbukti, beberapa waktu terakhir banyak ditemukan beras oplosan. Dan ini adalah nyata adanya. Yaitu mencampurkan beras bermutu rendah (misalnya, beras patah atau menir) ke dalam beras premium. Beras oplosan jenis ini kemudian dijual dengan harga beras premium untuk mendapatkan margin keuntungan yang jauh lebih tinggi.
Atau mencampur beras lama dengan beras baru yaitu beras yang sudah disimpan lama dan mungkin kualitasnya menurun dicampur dengan beras yang baru dipanen agar terlihat segar. Atau pula mencampur beras subsidi dengan beras komersial yaitu mencampur beras milik pemerintah (misalnya, beras SPHP atau Bulog) dengan beras komersial, lalu menjualnya dengan harga lebih tinggi dari yang seharusnya.
Fenomena ini belum pernah terjadi sebelumnya. Tetapi ketika ini terjadi paska pemberlakuan HPP GKP terbaru, patut diduga pula aturan tersebut memberi dorongan terjadinya kasus ini.
Fakta yang Ada
Sayangnya masing-masing pelaku usaha paska penetapan HPP sepertinya susah mendapat margin sesuai yang diharapkan.
Penebas tanpa punya penggilingan berharap dapat margin dari penjualan gabah kering siap gilingnya (GKG) setelah dikurangi harga pokok pembelian GKP, biaya pengeringan, susut, tercecer saat pengeringan, transportasi dan sebagainya.
Penggiling bukan penebas juga demikian, berharap dapat margin dari harga beras di tingkat penggilingan setelah dikurangi harga pokok GKG dari penebas, susut oleh sekam dan dedak/bekatul, rusak saat penggilingan, tercecer dan sebagainya. Bahkan pedagangpun, baik grosir maupun pengecer harus mendapat margin dari penjualannya dari harga beras yang dibelinya.
Jika mengacu pada hasil Survei Konversi Gabah ke Beras (SKGB) tahun 2018 dan Neraca Bahan Makanan (NBM) tahun 2016-2018 serta harga yang berlaku saat ini maka dapat terjelaskan bahwa satu satuan gabah kering panen secara rata-rata akan menjadi beras untuk pangan penduduk sebesar 47,36 persen.
Sebagai ilustrasi jika sebanyak satu ton gabah hasil panen petani selanjutnya dikeringkan, didalamnya terjadi penyusutan, tercecer dan sebagainya hingga terakhir menjadi beras maka akan menghasilkan sebanyak 473,6 kilogram beras yang siap dikonsumsi.
Dari hasil perhitungan tersebut, yang masih digunakan hingga saat ini menjelaskan bahwa, ketika HPP sebesar Rp. 6.500 digunakan sebagai patokan penghitungan harga GKP dan rata-rata harga beras di tingkat penggilingan hasil survei BPS sebesar Rp. 13.250, maka harga satu ton GKP justru lebih besar dibanding harga beras hasil konversinya.
Bagi petani yang melakukan proses pengeringan dan penggilingan sendiri sebelum dijual, secara nominal lebih untung dijual dalam bentuk gabah saat panen daripada ketika telah menjadi beras dengan selisih sekitar Rp. 225.000 per ton.
Dengan begitu bagi pengusaha penggilingan sekaligus penebas dengan harga GKP sesuai HPP maka setiap ton akan mengalami kerugian sebesar tersebut. Lebih parah lagi bagi penebas tanpa punya penggilingan. Dengan harga GKG sekitar Rp. 7.200 akan mengalami kerugian hingga hampir satu juta rupiah atau sekitar Rp. 960.000 per ton GKP.
Alhasil, jika harus diperhitungkan dengan biaya-biaya yang harus dikeluarkan selama proses pengeringan dan penggilingan baik waktu, tenaga maupun transportasi maka akan semakin besar kerugian yang diterima, Mungkin dedak dan bekatul menjadi pendapatan lain, tetapi apakah mampu menutup kerugian hasil perhitungan di atas.
Bagi Bulog membeli gabah petani dengan harga sesuai HPP mungkin tidak masalah, karena memang satu diantara tugas pokok fungsinya sebagai stabilisator pasokan beras di pasar, sebagai kepanjangan tanggungjawab pemerintah. Sehingga untung rugi menjadi pertimbangan nomor sekian. Tetapi bagi swasta untung rugi menjadi yang wajib diperhitungkan sebagai konsekuensi dari usaha ekonomi.
Apakah ini yang kemudian menyebabkan terjadinya fenomena kenaikan gabah dan kreativitas baru dengan beras oplosan. Bisa jadi. Jatengdaily.com-st