Lansia Ibukota, Aset Ataukah Beban?

rdianika@bps.go.id

Oleh: Retno Dian Ika Wati, SST,MM

Statistisi Muda BPS Kota Semarang

      Menjadi tua adalah sebuah keniscayaan, sebuah bagian hidup yang akan dilewati manusia selama belum menghadap yang Maha Kuasa. Meningkatnya Usia Harapan Hidup di Indonesia dari tahun ke tahun menunjukkan status kesehatan masyarakat indonesia yang sudah semakin baik, disamping itu menunjukkan pula bahwa sebagian besar manusia di Indonesia diprediksikan akan mengalami hidup sebagai seorang lansia.

Lansia sendiri didefinisikan sebagai seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun. Sebagian dari kita memandang penduduk lansia lebih sebagai beban daripada potensi sumber daya bagi pembangunan. Warga tua dianggap sebagai warga yang  tidak produktif dan hidupnya bergantung pada generasi yang lebih muda.

Akan tetapi, ada pula yang menganggap sumber daya manusia yang mempunyai pengalaman luas dan tidak semua penduduk dalam kelompok umur lansia tersebut tidak berkualitas dan berproduktifitas rendah apalagi dengan tingginya usia harapan hidup yang  menandakan sebuah keberhasilan dalam pembangunan di bidang kesehatan.

Adapun Usia Harapan Hidup di Kota Semarang tahun 2018 adalah sebesar 77.23 tahun dimana angka ini meningkat dari tahun sebelumya yang mencapai 77.21 tahun. Usia Harapan Hidup sebesar 77,23 tahun diartikan bahwa bayi bayi yang lahir di tahun 2018 diharapkan dapat hidup sampai usia 77 tahun.

Sebuah studi di tahun 2016 yang dipimpin oleh Dr dr Nafsiah Mboi dan dipublikasikan dalam jurnal The Lancet (juni,2018) menyebutkan bahwa peningkatan usia harapan hidup di Indonesia sebagian besar disebabkan karena keberhasilan menanggulangi penyakit menular, penyakit terkait kehamilan, neonatal, dan penyakit-penyakit terkait gizi.

Sesuai dengan meningkatnya Usia Harapan Hidup Kota Semarang dari tahun ke tahun, persentase penduduk lansia pun mengalami peningkatan tiap tahunnya. Jika di tahun 2010, hasil Sensus Penduduk menyebutkan persentase penduduk lansia di Kota Semarang sebanyak 6.84 persen sekarang persentase penduduk lansia di tahun 2019 diproyeksikan ada sebanyak 9.01 persen. Nah pertanyaannya adalah apakah dengan semakin bertambahnya lansia di Kota Semarang akan akan semakin menambah beban atau justru merupakan aset berharga dari Kota Semarang?

Mari kita lihat kondisi dari lansia tersebut, di dalam keluarga dari seluruh keluarga yang ada di Kota Semarang, data tahun 2018 menunjukkan bahwa 65 persen lansia merupakan kepala keluarga dan 20 persen merupakan pasangan dari kepala keluarga yang artinya bahwa sebagian besar lansia masih memegang peranan utama baik dari segi ekonomi maupun pengambilan keputusan dalam keluarga.

Kemudian dari sisi pendidikan, persentase lansia yang masih buta huruf ada sekitar 16.8 persen yang dikarenakan 8.6 persen penduduk lansia tidak pernah mengenyam pendidikan sama sekali dikarenakan sistem pendidikan jaman dahulu yang masih tergolong susah dari segi biaya maupun aksesnya. Jika dilihat dari ijasah tertinggi yang dimiliki, 50 persen lansia berpendidikan SD ke bawah, 12 persen lulus SMP, 20 persen lulus SMA/sederajat dan ternyata ada sekitar 18 persen lansia yang menamatkan perguruan tinggi.

Jika dilihat secara fisik, kondisi lansia tidak sebaik disaat usia muda, akan tetapi hal tersebut rupanya tidak membatasi para lansia khususnya di Kota Semarang untuk tetap produktif hal ini dapat dilihat dari persentase angkatan kerja yang tergolong lansia ada sekitar 7 persen dari total angkatan kerja, dan dari seluruh lansia yang tergolong angkatan kerja tersebut hampir seluruhnya adalah penduduk bekerja, hanya sekitar 1 persen saja yang masih termasuk kategori pengangguran. Yang menarik disini adalah keseluruhan lansia yang masuk kategori mencari pekerjaan atau menganggur adalah laki laki.

Data Sakernas 2018 menunjukkan bahwa 41 persen lansia bekerja di sektor perdagangan, rumah makan dan jasa akomodasi, 25 persen bekerja pada sektor jasa kemasyarakatan, sosial dan perorangan, 12 persen pada sektor industri dan sisanya bekerja pada sektor selain tersebut diatas. Jika dilihat dari status dalam pekerjaanya, sebanyak 47 persen bekerja dengan status berusaha sendiri baik dibantu buruh maupun tidak, sedangkan 41 persen lansia bekerja dengan status sebagai buruh, 5 persen bekerja dengan status sebagai pekerja bebas dan 7 persen adalah pekerja keluarga yang sifatnya hanya membantu anggota keluarga lain yang bekerja dan tidak mendapatkan upah/penghasilan.

Nah, dari data yang tersebut diatas, masihkah kita berfikir bahwa lansia hanyalah penduduk yang tidak produktif dan menjadi beban bagi ibukota?

Sudah seharusnya negara ini memberikan perlidungan dan perhatian untuk para lansia baik produktif maupun tidak produktif agar mereka bisa menikmati taraf hidup dan kesejahteraan yang layak karena tidak dapat dipungkiri bahwa negeri ini pun lahir berkat perjuangan dan sumbangan pemikiran para lansia. Pemberdayaan lansia terutama bagi mereka yang masih potensial dan produktif perlu ditingkatkan dengan memberikan kemudahan pelayanan kesempatan kerja, kesehatan bahkan pendidikan. Seperti halnya penduduk usia produktif, para lansia pun berhak mendapatkan kesempatan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan di usianya yang lanjut. st

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *