Beberapa Macam Paslon di Pilkada

Oleh: Mohammad Agung Ridlo
Hiruk pikuk pesta demokrasi pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 9 Desember 2020 di tengah Pandemi Covid-19, mulai menggeliat. Untuk mengusung orang nomor satu di setiap daerah, membuat partai politik harus ekstra keras berburu kandidat. Kandidat yang dinilai kredibel, bijak, pekerja keras, pejuang tangguh aspiratif terhadap rakyat, jujur dan bersih di semua golongan.
Memilih dan dipilih adalah hak dasar bagi setiap warga yang harus dipenuhi oleh pemerintah dalam pemilu legislatif (pileg), pemilihan pasangan kepala daerah (pilkada) maupun pemilihan pasangan presiden – wakil presiden (pilpres). Dan hal itu merupakan hak yang dilindungi dan diakui keberadaannya dalam Konstitusi Negara Republik Indonesia (Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945).
Sebagai warga negara dapat menjalankan hak dan kewajibannya untuk memilih dan dipilih secara demokratis sebagai pemenuhan dari salah satu elemen penting hak azasi manusia. Adapun ketentuan yang mengatur adalah Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28D Ayat (3), Pasal 28E Ayat(3). Hal tersebut juga diatur di dalam Pasal 43 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
Hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun. Oleh karenanya, ketentuan-ketentuan tersebut menjadi dasar hukum bagi setiap warga negara Indonesia untuk memiliki kebebasan dalam ikut serta menentukan wakil-wakil mereka pada lembaga legislatif, maupun menentukan pemimpin (lembaga eksekutif) yang dilakukan melalui pemilu.
Dengan kata lain bahwa setiap warga negara dapat menggunakan hak tersebut di setiap pemilihan umum baik pileg, pilkada maupun pilpres, dan tentunya harus terbebas dari segala bentuk intervensi, intimidasi, diskrimininasi dan segala bentuk tindak kekerasan lainnya.
Pada pentas demokrasi pilkada serentak 2020 ini akan ada beberapa macam pasangan calon yang akan disodorkan oleh sejumlah partai politik (parpol) untuk dipilih oleh rakyat.
Pertama, Pasangan calon (paslon) tunggal. Terdapat daerah yang hanya memiliki satu paslon. Jika beberapa parpol besar berkoalisi dan bergabung mengusung satu pasangan calon, maka yang tertinggal hanyalah parpol yang tidak berani dan tidak memiliki kemampuan untuk mengusung kandidat pilihannya sendiri.
Pilkada dengan satu paslon bukan merupakan hal baru karena sudah terjadi di pilkada sebelumnya. Jika paslon tunggal terjadi pada Pilkada 2020, KPU tetap berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang aturan teknisnya diturunkan dalam PKPU Nomor 13 Tahun 2018 maupun Keputusan KPU. Selanjutnya jika terjadi paslon tunggal di pilkada, dipastikan akan melawan kotak kosong. Pilkada satu paslon dilaksanakan dengan menggunakan surat suara yang memuat dua kolom, kolom yang memuat foto paslon dan kolom kosong yang tidak bergambar.
Pada gilirannya, yang akan menentukan adalah suara rakyat, akankah calon tunggal sebagai pemenang tanpa adanya perlawanan? Atau sebaliknya pemenangnya adalah “kotak kosong”?. Pertanyaan selanjutnya jika calon tunggal yang menang, apakah kemenangan tersebut merupakan suatu keberhasilan secara alamiah atau hanyalah rekayasa elite parpol di pentas demokrasi?.
Kedua, Paslon boneka. Elite parpol dengan berbagai upaya dan segala cara membuat siasat dengan sandiwara politik, menyiapkan paslon yang di gadang-gadang (sebenarnya merupakan paslon tunggal), dan merekayasa kehadiran calon boneka sebagai bentuk kamuflase politik. Menurut Charles Stamford dalam The Disosder of Law, A Critique of Legal Theory (1989), mengatakan apa yang terlihat di permukaan tampak tertib, teratur, jelas, rapi dan pasti, tapi itu semua hanya kamuflase politik atau sandiwara politik.
Dibuat seolah-olah ada paslon yang akan menjadi lawan, namun pada dasarnya itu hanyalah rekayasa yang pastinya sudah dihitung bahwa paslon boneka yang dimunculkan tidak mampu berkompetisi dan mendulang suara untuk menang.
Ketiga, Kompetisi beberapa paslon. Munculnya sejumlah paslon yang diusung oleh sejumlah parpol sebagai calon kepala daerah, tentu hal ini menggambarkan demokrasi berjalan dengan baik. Terjadi kompetisi dari sejumlah paslon yang benar-benar mau dan mampu untuk merebut suara rakyat.
Artinya bahwa sejumlah parpol mempunyai kepercayaan diri (self confidence), mempunyai keyakinan, memiliki kemauan dan kemampuan serta penilaian (judgement), sehingga dapat memilih dan memunculkan kadernya atau figur lain diluar parpol memang benar-benar memiliki kemampuan dan berkualitas untuk yang disodorkan untuk merebut suara rakyat.
Persyaratan bagi parpol atau gabungan parpol untuk dapat mengusung pasangan calon (paslon) kepala daerah, minimal memperoleh paling sedikit 20% kursi DPRD atau 25% dari akumulasi perolehan suara sah. Ini sesuai Undang-undang (UU) tentang pemilihan kepala daerah (Pilkada).
Tepatnya UU Nomor 10 Tahun 2016 (Pasal 40 ayat 1: Partai Politik atau gabungan Partai Politik dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20% dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau 25% dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di daerah yang bersangkutan).
Keempat, Paslon perseorangan. Munculnya paslon perorangan yang berani mendaftarkan diri dengan jalur independen atau di luar jalur partai politik (baik sebagai calon Gubernur/Wakil Gubernur, calon Bupati/Wakil Bupati maupun calon Walikota/Wakil Walikota) dan tentu harus memenuhi sejumlah persyaratan sesuai UU pilkada minimal dukungan jiwa bagi perseorangan yang akan maju dalam pemilihan. Dalam pemilihan Gubernur, minimal dukungan jiwa berkisar antara 6,5% hingga 10% pemilih dari daftar pemilih tetap (DPT) di provinsi.
Jika jumlah DPT sampai dengan 2 juta jiwa, maka minimal dukungan sebesar 10%. Jika jumlah DPT 2 hingga 6 juta, maka minimal dukungan sebesar 8,5%. Jika jumlah DPT 6 hingga 12 juta, maka minimal dukungan sebesar 7,5%. Jika DPT lebih dari 12 juta, maka minimal dukungan sebesar 6,5%. Sedangkan dalam pemilihan Bupati/Wali Kota jika jumlah DPT sampai dengan 250 ribu, maka minimal dukungan sebesar 10%. Jika DPT antara 250 hingga 500 ribu, maka minimal dukungan sebesar 8,5%.
Jika DPT 500 ribu hingga 1 juta, maka minimal dukungan sebesar 7,5%. Jika DPT diatas 1 juta, maka minimal dukungan sebesar 6,5%. Kemudian disebutkan dalam UU persyaratan jumlah dukungan harus tersebar di lebih dari 50% jumlah kabupaten/kota untuk Pilgub dan 50% jumlah kecamatan di kabupaten/kota dimaksud. Sejumlah persyaratan tersebut tampaknya memang cukup berat bagi calon perseorangan atau jalur independen.
Catatan Akhir
Demokrasi yang baik semestinya menghasilkan pemimpin secara alamiah yang mendapat dukungan dan kepercayaan penuh dari masyarakat. Dari segi derajat demokrasi akan lebih bagus kalau ada lebih dari satu paslon yang menjadi alternatif pilihan rakyat. Rakyat pasti mengidolakan pemimpin yang memiliki segudang prestasi, mempunyai inovasi dan terobosan baru dalam pembangunan, menyodorkan berbagai program unggulan, membuat gebrakan reformasi birokrasi yang bersih, mewujudkan impian-impian masyarakat dan bukan pemimpin yang sok tampil sederhana, sepertinya serius kerja, namun senyatanya tak lebih hanya sekedar memoles bibir, menebar janji-janji dan mencari panggung belaka.
Oleh karenanya perhelatan pentas demokrasi pilkada serentak 2020 ini adalah pesta rakyat memilih pemimpin yang benar-benar dapat mengemban amanah, mendengar keluhan-keluhan dan menjaring aspirasi rakyat dan yang dapat mewujudkan impian-impian mereka menjadi nyata.
Dr. Ir. Mohammad Agung Ridlo, MT, Dosen Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota (PLANOLOGI) – Fakultas Teknik – Unissula dan Sekretaris Forum Doktor Unissula. Jatengdaily.com–st