Oleh Gunoto Saparie
KEGADUHAN hari-hari ini terjadi sejak pengesahan Undang-Undang Omnibus Law tentang Cipta Kerja oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) di Senayan Selasa, 5 Oktober 2020 melalui sidang paripurna yang diikuti anggota dewan secara langsung dan daring. Undang-Undang Omnibus Law tentang Cipta Kerja ini merupakan gabungan dari 79 undang-undang yang digabung menjadi satu kitab undang-undang. Hal itu dilakukan untuk mengintegrasikan berbagai undang-undang yang selama ini dianggap tumpang tindih dan menjadi celah terjadinya korupsi.
Pascapengesahan tersebut gelombang protes dan aksi massa terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia. Hal tersebut dipicu karena UU tentang Cipta Kerja itu ditengarai tidak memihak pada kepentingan rakyat. DPR RI dituding mengkhianati amanat rakyat dan melanggengkan oligarki di republik ini. Gelombang protes ini melibatkan kelompok buruh, mahasiswa, masyarakat umum sampai organisasi keagamaan.
Yang paling dipersoalkan adalah pasal-pasal berkaitan dengan bidang ketenagakerjaan, di mana ternyata lebih banyak bersumber dari hoax.
Omnibus Law, harus diakui, memang merupakan gagasan Presiden Joko Widodo. Ketika memberikan pidato dalam pelantikan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia untuk masa jabatan 2019–2024 di Gedung DPR/MPR RI pada 20 Oktober 2019, Jokowi—panggilan akrab sang presiden–menyampaikan gagasan untuk mengeluarkan Omnibus Law. Melalui Omnibus Law akan dilakukan penyederhanaan kendala regulasi (peraturan perundang-undangan) yang saat ini berbelit dan panjang.
Sejumlah peraturan perundang-undangan yang dinilai menghambat investasi dipangkas. Oleh karena itu, pemerintah mengajak DPR RI untuk membahas 2 (dua) undang-undang, Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja dan kedua Undang-Undang Pemberdayaan UMKM, di mana masing-masing undang-undang tersebut menjadi Omnibus Law, yaitu satu undang-undang yang sekaligus merevisi beberapa undang-undang.
Konsep Pembentukan Regulasi
Mengacu pada literatur hukum, yang dimaksud dengan Omnibus Law adalah metode atau konsep pembentukan regulasi (undang-undang) yang menyatukan atau menggabungkan beberapa regulasi (undang-undang) yang substansi atau materinya berbeda ke dalam satu undang-undang, yang bersifat menyeluruh atau komprehensif, dan menjadi suatu peraturan yang berfungsi seperti undang-undang payung (umbrella act), atau dikenal juga dengan undang-undang pokok.Undang-undang payung atau undang-undang pokok adalah suatu undang-undang yang menjadi dasar bagi pembentukan undang-undang pelaksana (peraturan organik), atau dengan kata lain pembentukan undang-undang pelaksana (peraturan organik) adalah karena perintah undang-undang payung atau undang-undang pokok.
Ini berarti, undang-undang payung atau undang-undang pokok akan melahirkan undang-undang sektoral sebagai pelaksanaan dari dan atau perintah undang-undang pokok atau undang-undang payung. Sesungguhnya–secara historis–jauh sebelum Jokowi mencanangkan kebijakan Omnibus Law, di Indonesia pernah diterapkan regulasi semacam itu lewat pembentukan undang-undang payung atau undang-undang pokok. Penerapan undang-undang payung atau undang-undang pokok ditemukan pada masa pemerintahan Orde Lama dan pada masa pemerintahan Orde Baru.
Pada masa pemerintahan Orde Lama undang-undang payung atau undang-undang pokok ditemukan di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau dapat disebut juga dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), yang sampai saat ini masih berlaku di Indonesia.UUPA menyatukan atau menggabungkan beberapa regulasi yang substansi atau materinya berbeda (yaitu meliputi bumi, air dan ruang angkasa beserta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya) dalam satu undang-undang.
Atas perintah UUPA, maka lahirlah undang-undang sektoral di bidang pengelolaan agraria atau pengelolaan sumber daya alam, yaitu Undang-Undang Kehutanan, Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara, Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi, Undang-Undang Sumber Daya Air, Undang-Undang Perikanan, Undang-Undang Penataan Ruang, dan Undang-Undang Lingkungan Hidup
Pada masa pemerintahan Orde Baru di Indonesia juga pernah diterapkan undang-undang payung atau undang-undang pokok, yaitu Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang ini melahirkan Undang-Undang tentang Mahkamah Agung, Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Undang-Undang tentang Peradilan Agama, dan Undang-Undang tentang Peradilan Militer.
Namun, sesungguhnya–secara konstitusional–Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak mengenal dan tidak mengatur Omnibus Law atau undang-undang pokok atau undang-undang payung (umbrella act). Semua undang-undang di Negara Republik Indonesia mempunyai hirarki yang sama dan semua dibentuk oleh Presiden (eksekutif) dengan persetujuan DPR RI (legislatif). Oleh karena itu, semua undang-undang kedudukannya sama, tidak lebih tinggi dari yang lain, dan tidak dapat saling memerintahkan satu dengan lainnya.Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019, ternyata juga tidak mengenal ketentuan Omnibus Law atau undang-undang payung atau undang-undang yang bersifat undang-undang payung dalam hirarki peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Dapatkah Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan Undang-Undang Omnibus Law tentang Cipta Kerja? Ternyata tidak. Di Indonesia untuk melakukan uji materiil terhadap peraturan memang dapat dilakukan ke MK. Masyarakat yang tidak dapat menerima isi Undang-Undang tentang Cipta Kerja bisa mengajukan uji materiil ke MK. Akan tetapi, MK saat ini wewenang uji materiilnya ternyata hanya untuk mengubah pasal-pasal tertentu saja dan belum bisa membatalkan undang-undangnya. Meskipun peraturan di bawah undang-undang bisa dibatalkan melalui uji materiil, namun oleh Mahkamah Agung (MA).
Mengapa MK tidak bisa membatalkan undang-undang? Mengapa uji materiil di MK hanya bisa mempersoalkan pasal-pasal di undang-undang? Perlukah ada perluasan wewenang MK agar pembuatan undang-undang menjadi tidak sewenang-wenang?
Akan tetapi, Jokowi sendiri mengatakan bahwa rakyat yang tidak setuju Omnibus Law bisa mengajukan gugatan uji materi ke MK. MK adalah lembaga berisi sejumlah hakim yang menguji, apakah sebuah UU sesuai dengan konstitusi atau tidak. Mungkinkah para penggugat akan menang? Hakim MK berisi 9 orang; 3 diusulkan presiden, 3 diusulkan DPR, dan 3 lagi diusulkan Mahkamah Agung. Bahkan jika hakim yang diusulkan MA benar-benar independen, penggugat mengira peluangnya kecil untuk menang: 6 melawan 3. Namun, apakah sesederhana itu cara memprediksinya?
Siap Memproses
MK sendiri, seperti dikatakan Kepala Bagian Hubungan Masyarakat dan Kerja Sama Dalam Negeri Mahkamah Konstitusi Fajar Laksono, mengaku siap memproses uji materi Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja yang kemungkinan akan diajukan oleh berbagai elemen masyarakat, tanpa terpengaruh peristiwa apapun. Meskipun sebelumnya muncul keraguan akan netralitas MK usai revisi Undang-Undang tentang MK dan permintaan Presiden Joko Widodo kepada MK untuk mendukung Omnibus Law.
Netralitas MK juga sempat diragukan menyusul revisi sejumlah pasal UU MK, di mana salah satu ketentuannya adalah memperpanjang usia pensiun Hakim Konstitusi menjadi 70 tahun. Hal ini tentu saja membuat para hakim MK yang saat ini menjabat bisa berdinas lebih lama, dari yang sebelumnya hanya dibatasi dua kali masa jabatan atau 10 tahun.
Pada dasarnya, uji materi dibagi ke dalam dua proses, yakni pengujian formal dan pengujian materiil. Dalam konteks UU Cipta Kerja yang belum lama ini diketok, barangkali perlu dicermati keabsahan proses pembuatan produk perundang-undangan itu. Misalnya, berapa jumlah anggota DPR yang hadir dalam pembahasan? Penggugat memang harus bekerja keras mengumpulkan bukti-bukti. Dokumen-dokumen, risalah rapat, dan lain-lain, perlu dicari.
Sedangkan pada uji materiil, kita mengulik substansi dari produk perundang-undangan itu sendiri. Dalam persidangan, pertama-tama MK akan menguji legal standing. Untuk itu, bukti-buktinya harus jelas dan menghadirkan ahli yang bisa mendukung argumentasi masyarakat. Uji materiil memiliki waktu yang panjang, tidak dibatasi 45 hari. Oleh karena itu, penggugat memiliki banyak waktu untuk membangun landasan yang kuat. Argumentasi yang disampaikan harus mempunyai hubungan sebab-akibat dengan UU Cipta Kerja.
Konstitusi merupakan bentuk pelimpahan kedaulatan rakyat (the sovereignity of the people) kepada negara. Melalui konstitusi rakyat membuat statemen kerelaan pemberian sebagian hak-haknya kepada negara. Oleh karena itu, konstitusi tentu saja harus dikawal dan dijaga.
*Gunoto Saparie adalah Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Wilayah Jawa Tengah. Jatengdaily.com–st
GIPHY App Key not set. Please check settings