Oleh Pandu Adi Winata, SST
Statistisi Muda BPS Purbalingga
SAAT wabah melanda, kecenderungan setiap negara untuk mengutamakan kepentingan masing-masing warga negaranya semakin besar. Selama ini dunia begitu “cair” karena globalisasi, transaksi ekonomi, lalu lintas perdagangan serta keluar masuk penduduk antar negara begitu mudah. Kemudian tiba-tiba dengan adanya wabah Covid-19, “memaksa” masing-masing negara membentengi wilayahnya. Penduduk yang masuk ke suatu negara sekarang tidak semudah yang dibayangkan, demikian juga arus barang, ekspor impor antarnegara cenderung menurun.
Lihat saja kinerja ekspor impor sepanjang wabah covid-19. Sebagaimana data Badan Pusat Statistik (BPS), kinerja ekspor Indonesia tercatat sebesar 13,7 miliar dollar Amerika pada Juli 2020, turun 10 persen dibandingkan nilai ekspor pada bulan Juli tahun 2019. Pola yang sama terjadi pada bulan-bulan di tahun 2020 yang intinya perdagangan antarnegara begitu melesu.
Padahal aktivitas ekspor impor merupakan hal yang sewajarnya terjadi. Tidak semua negara dapat memenuhi kebutuhan setiap warga negaranya. Jika itu terjadi pada barang-barang sekunder atau tersier boleh jadi tidak membuat persoalan menjadi runyam, akan tetapi bila yang dibutuhkan adalah kebutuhan primer seperti pangan maka itu akan menjadi masalah yang besar apabila ketahanan sebuah negara begitu rapuh.
Meskipun demikian impor produk pertanian untuk komoditas pangan seperti jagung, kedelai, dan gandung, pada musim pandemi Covid-19 masih berlanjut. Padahal sesungguhnya sektor pertanian adalah salah satu sektor unggulan dalam struktur ekonomi. Setidaknya ini dilihat dari pertumbuhannya sepanjang tahun yang menunjukkan angka positif, di saat sektor lain mengalami kontraksi. Data BPS menyebutkan pada kuartal III/2020 sektor pertanian masih tumbuh 2,5 persen.
Rapuhnya ketahanan pangan akan mengancam keberlangsungan sebuah negara. Di masa ini imperialisme tidak lagi dilaksanakan dengan cara militer yang keras, namun secara halus tanpa meninggalkan tujuannya untuk menguasai pihak lain, yaitu menggunakan proxy war. Contohnya adalah dengan merusak ketahanan pangan suatu negara. Ketahanan pangan sendiri adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi sebuah negara yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau.
Untuk menuju ketahanan pangan pemerintah akan merealisasikan program lumbung padi nasional food state di Kalimantan, di mana program ini masuk pada program pemerintahan Presiden Joko Widodo pada Program Strategis Nasional (PSN) 2020-2024. Yang perlu diingat program ini bukanlah program yang pertama kalinya. Program serupa pernah dilakukan oleh masa pemerintahan Presiden sebelumnya namun hasilnya belum sesuai dengan harapan.
Proyek lahan gambut sejuta hektar di masa pemerintahan Presiden Soeharto dimulai pada tahun 1995 melalui keppres No. 82/95 yang diterbitkan oleh Presiden Soeharto di mana kemudian diputuskan berakhir pada tahun 1998 melalui keppres No. 33/98 di masa pemerintahan Presiden BJ Habibie. Program Food Estate jika dilihat dari pemanfaatan lahan membutuhkan lahan yang sangat luas. Konflik lahan dengan masyarakat adat rawan terjadi. Sehingga ujung-ujungnya jadi terbengkelai.
Di sisi lain Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyayangkan penggunaan lahan gambut untuk food estate. Menurut Walhi, lahan gambut merupakan salah satu ekosistem yang unik dan sangat penting bagi keseimbangan iklim dan perlindungan biodiversitas lahan basah, bahkan untuk menghindari sumber penyakit zoonosis yang berasal dari pengrusakan alam. Pengelolaan food estate ke depan perlu kehati-hatian agar tidak terulang apa yang terjadi pada program food estate sebelumnya.
Momentum hari bela negara 19 Desember harus dijadikan pelecut semangat untuk memperkuat negara melalui ketahanan pangan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Mckinsey Global Institute MGI, pada 2030 kekuatan sebuah negara dapat diprediksi dari tiga sektor; ekonomi konsumtif; pertanian dan perikanan; serta energi. Oleh sebab itu dalam mewujudkan ketahanan pangan perlu ada terobosan lain selain melalui ekstensivikasi yang dibalut dengan program food estate tadi.
Negara kita yang akan mengalami bonus demografi bisa dikelola untuk mendukung penguatan bela negara melalui ketahanan pangan. Dengan hadirnya bonus demografi berarti mayoritas penduduk kita adalah usia muda. Potensi ini perlu ditangkap melalui optimalisasi sekolah-sekolah pertanian yang sudah ada. Kenapa diperlukan optimalisasi? Karena selama ini regenarisasi petani tidak berjalan mulus. Mayoritas atau 55 persen petani kita berusia di atas 45 tahun di mana sebagian besarnya berlatar belakang pendidikan dasar.
Tingkat pendidikan itu perlu didorong menjadi sumber daya yang berpendidikan tinggi dan paham teknologi. Karena dengan penerapan teknologi, akan menjawab efisiensi dalam pengelolaan di sektor pertanian. Kemudian kita kombinasikan dengan apa yang telah dikaji oleh Koalisi rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) tahun 2015 yang menyebut bahwa akses terhadap lahan harus dimiliki oleh generasi muda dan yang kedua mengenai benefit atau profit yang menjanjikan.
Semua itu perlu dibarengi dengan adanya pengendalian terhadap alih fungsi lahan pertanian untuk pengembangan infrastruktur, investasi tambang dan perkebunan sawit yang selama cukup masif. Jangan sampai kita mengalami kelangkaan pangan dan harus bergantung pada sumber asing, karena ketahanan pangan bagi seluruh rakyat Indonesia akan berpengaruh langsung pada kesejahteraan rakyat itu sendiri.Jatengdaily.com–st
GIPHY App Key not set. Please check settings