SEMARANG (Jatengdaily.com)- Pengelolalan tata air di Indonesia masih dianggap oleh sebagian pengamat sepotong-sepotong. Hal ini pula yang menjadi tantangan pemerintah untuk menciptakan kebijakan yang bisa berpihak pada semua lini, seperti lingkup ekonomi, politik, sosial, dan administrasi yang ada di masyarakat.
Fenomena ini diangkat dalam seminar daring bartajuk Nasib Tata Kelola Air Pasca Revisi UU No. 17 /Tahun 2019 Tentang Sumber Daya Air yang digelar oleh Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM), Senin (29/6/2020) yang dimoderatori oleh Amalia Savirani.
Senior Lecturer at IHE Delft Institute for Water Education (UNESCO IHE) Michele Kooy, salah satu nara sumber memandang, jika pengelolaan air di Indonesia butuh penanganan yang kolaboratif.
Pasalnya sebagai sumber daya bersama, tata kelola air tanah meliputi alokasi, perlindungan, dan konservasi menghubungkan beragam lembaga, kebijakan, dan undang-undang yang melibatkan pelbagai pelaku dan terkait erat dengan ekosistem lokal. Sebagai alternatif dari mekanisme tradisional perintah dan kontrol dalam membuat dan mencapai kebaikan bersama.
Dalam kasus-kasus perselisihan sumber daya alam, tata kelola berbasis kolaborasi adalah ‘teknik’ yang digunakan untuk menyelesaikan konflik dan memfasilitasi kerja sama antara lembaga publik, kelompok kepentingan dan warga negara.
Hal sama juga dikatakan oleh Direktur Amrta Institute Nila Ardhianie. Menurutnya, pasca pemberlakukan UU No. 17 /Tahun 2019 Tentang Sumber Daya Air pemerintah harus mampu melakukan sejumlah langkah ke depan untuk kebijakan pengelolaan air. Sebab, di sini pemerintah dituntut untuk bisa membuat kebijakan terkait dengan sejumlah sektor. Mulai menyusun pola, menyusun rencana, melaksanakan pengelollan, perizinan, layanan air dan penyediaan air baku.
Menjawab hal di atas, Direktur Air Tanah dan Air Baku Kementerian PUPR Ir Iriandi Azwartika mengatakan, pemerintah melakukan pengelolaan tata kelola air, tidak sendirian. Namun melibatkan atau berkolaborasi dengan sejumlah kementerian, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten dan kota, serta institusi yang lain.
”Ini seperti yang diamanatkan oleh UU No. 17 /Tahun 2019 dimana pemerintah pusat bekerja sama dengan pihak terkait, sebab kita tidak bisa single,” jelasnya.Termasuk rumusan ke depan, dengan membuat turunan dari UU berupa peraturan-peraturan dari UU No 17/2019 ini sebagai payung hukum dalam pengeloan tata kelola air, sehingga UU bisa berjalan dengan baik.
Sementara itu, Pro. Dr Budi Wignyosukarto dari Universitas Gadjah Mada mengatakan, dengan adanya UU yang baru yakni UU No 17/2019 sebagai pengganti UU yang lama, ada kehadiran negara dalam pengelolaan sumber daya air, seperti juga tertuang dalam UUD 1945. Pada UU yang lama, sumber daya air dikuasai oleh personal dan swasta.
”Oleh karena itu dengan UU No 17/2019, pemerintah hadir di dalamnya. Termasuk dalam pengelolaan integrasi semua sumber air dari hulu ke hilir, maupun cekungan. Karena air sangat dibutuhkan oleh rakyat dan kewajiban negara untuk melindunginya,” jelas Budi. she
GIPHY App Key not set. Please check settings