Memaknai Seputar Ucapan Natal

Oleh Ahmad Rofiq
SAUDARAKU, setiap menjelang akhir tahun masehi, saudara kita penganut agama Nasrani merayakan ulang tahun Nabi Isa AS yang disebut dengan perayaan Natal. Beberapa hari kemudian terjadi pergantian tahun baru masehi. Yang aneh di media sosial selalu disibukkan dengan “kegaduhan” soal kontroversi seputar ucapan Natal, apakah seorang muslim boleh mengucapkan selamat Natal atau tidak?
Ada yang berpendapat haram hukumnya, karena dengan ucapan itu berarti mengakui keberadaan Nabi Isa AS sebagaimana yang diyakini oleh penganut Kristiani, namun juga ada yang mengatakan, mengucapkan selamat Natal boleh saja dilakukan, demi hubungan baik. Apalagi ada video viral, seseorang yang mengatakan “saya mengucapkan selamat pada temannya yang diwisuda sebagai dokter, besoknya dia tidak menjadi dokter. Kalau ia mengucapkan selamat Natal, dia tidak lalu menjadi seorang non-Islam”.
Hemat saya, analog tersebut tentu tidak proporsional. Ada yang berpendapat, ucapan syahadat, itu merubah status kafir menjadi muslim. Dan bahkan berimplikasi terhapusnya segala macam dosa saat orang itu masih kafir. Ulama ini berkeyakinan, dengan mengucapkan selamat natal, berarti ikut serta mengakui “diyakininya Nabi Isa AS (Yesus) sebagai Tuhan”. Implikasinya, akan mengurangi “kadar” keyakinan akan ketauhidan atau keesaan Allah.
Renungan ini tidak hendak membahas persoalan hukum mengucapkan Selamat Natal kepada saudara kita yang merayakannya, akan tetapi yang lebih penting bagaimana kita bisa memahami secara mendalam bagaimana arti dan makna sesugguhnya persaudaraan kita, terlebih persaudaraan sesama warga bangsa dan persaudaraan sesama manusia (ukhuwwah wathaniyah dan ukhuwwah insaniyah/basyariyah). Karena agama Islam adalah agama yang sangat toleran.
Rasulullah saw bersabda: “agama yang paling dicintai Allah, adalah yang al-hanafiyah al-samhah (benar/lurus dan penuh kasih sayang) (Riwayat Al-Bukhari). Islam diturunkan di muka bumi ini, adalah untuk mewujudkan kasih sayang bagi seluruh penghuni jagad atau alam raya. Inilah yang dimaksud oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Al-Anbiya’:107 “wa maa arsalnaaka illaa rahmatan li l-‘alamin. Selain itu, Allah menciptakan manusia terdiri dari laki-laki dan perempuan, kemudian dijadikan oleh-Nya hidup berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar di antara sesama manusia dapat hidup bersama, saling mengenal, dan saling tolong menolong (QS. Al-Hujurat (49): 13).
Yang menjadi persoalan adalah, bagaimana kita mampu mewujudkan persaudaraan itu dengan ketulusan dan saling menghormati. Tentu penghormatan ini tidak harus dengan ucapan selamat natal. Karena bisa saja, ada model persaudaraan yang lebih dari sekedar dari sapaan atau ucapan tersebut. Tetapi tetap harus menjaga wilayah ibadah masing-masing. Panduan QS. Al-Kafirun (109): 1-6 kiranya sudah sangat jelas. Sebagai muslim yang mengikuti Rasulullah saw, tidak dibenarkan menyembah sesembahan penganut agama lain. Lakum diinukum wa liya diin artinya “bagimu agamamu dan bagiku agamaku”.
Kita perlu menghormati ibadah agama orang lain, tanpa melahirkan “ketersinggungan” rasa keberagamaan saudara yang seagama dengan kita sendiri. Saya bertetangga dengan banyak saudara saya non-Muslim, yang ketika ada acara atau punya “gawe” atau bahkan yang dalam “tradisi selamatan” yakni berdoa memohon kepada Allah Tuhan Sang Pencipta, kita saling mengundang. Tentu tidak dengan maksud melibatkan tetangga dalam doa keluarga saya. Kiranya model dan praktik persaudaraan kita sudah lebih dari sekedar yang diwacanakan dalam media sosial. Ini mengingatkan kalimat yang dinisbatkan kepada Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib kw: “Mereka yang bukan saudaramu dalam iman, adalah saudaramu dalam kemanusiaan”. Karena kita semua adalah anak cucu keturunan Nabi Adam AS.
Allah menegaskan: “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rizki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan” (QS. Al-Isra’: 70). MUI pada zaman Prof. Dr. Hamka, mengeluarkan fatwa, bahwa mengucapkan selamat Natal itu haram, tentu dengan pertimbangan yang matang. Kalau bagi orang yang sudah sangat mantab akidah dan keyakinannya, kemudian mengucapkan selamat Natal kepada saudaranya yang merayakannya, dengan alasan pertemanan dan persaudaraan yang sudah baik, itu menjadi tanggung jawabnya. Apalagi jika posisi Anda itu sebagai pejabat publik yang harus mengayomi dan melayani semua.
Rasulullah SAW bahkan memberi contoh kepada kita, selalu menyuapi seorang pengemis Yahudi buta. Orang ini tempatnya di sudut pasar Madinah Al Munawarah. Meskipun, tiap hari disuapi oleh Rasulullah saw dengan penuh kasih sayang, namun pengemis ini punya kebiasaan tidak baik. Jika ada orang yang mendekatinya ia selalu berkata: “Wahai saudaraku, jangan dekati Muhammad, dia itu orang gila, dia itu pembohong, dia itu tukang sihir. Apabila kalian mendekatinya, maka kalian akan dipengaruhinya” (islammoderat.com).
Hampir setiap pagi, Rasulullah SAW mendatanginya, membawakan makanan. Tanpa berkata-kata Rasul menyuapi pengemis itu walaupun pengemis itu selalu menjelek-jelekkan beliau. Beliau melakukan hal itu hingga beliau menjelang wafat. Setelah beliau wafat, tak ada lagi orang yang membawakan makanan dan menyuapi si pengemis buta itu. Abu Bakar setelah mendapat informasi dari Siti Aisyah ra, pergi membawa makanan untuk pengemis itu. Saat Abu Bakar mulai menyuapinya, tiba-tiba pengemis itu marah sambil berteriak: “Siapa kamu!” Abu Bakar menjawab: “Aku orang yang biasa”.
“Bukan! Engkau bukan orang yang biasa mendatangiku.” Kata pengemis buta itu. Apabila ia datang kepadaku tidak susah tangan ini memegang dan tidak susah mulut ini mengunyah. Orang yang biasa mendatangiku itu selalu menyuapiku, tapi terlebih dahulu dihaluskannya makanan tersebut dengan mulutnya setelah itu ia berikan padaku dengan mulutnya sendiri”, pengemis itu melanjutkan perkataannya. Abubakar R.A tidak dapat menahan air matanya, ia menangis sambil berkata kepada pengemis itu, “aku memang bukan orang yang biasa datang padamu. Aku adalah salah seorang dari sahabatnya, orang yang mulia itu telah tiada. Ia adalah Muhammad Rasulullah SAW”.
Kontan, sesaat mendengar cerita Abubakar, pengemis itu terkejut dan menangis tersedu-sedu sambil berkata: “Benarkah demikian? selama ini aku selalu menghinanya, memfitnahnya, ia tidak pernah memarahiku sedikitpun, ia malah mendatangiku dengan membawakan makanan setiap pagi, ia begitu mulia”. Pengemis Yahudi Buta tersebut akhirnya bersyahadat di hadapan Abubakar RA. Kisah humanis itu sangat populer dan sejalan dengan kebiasaan beliau yang baik.
Karena itu, mari kita fahami dan maknai persaudaraan kita yang lebih berarti dan bermanfaat bagi orang banyak. Allah SWT menciptakan kita dalam kemajemukan, dan itu adalah khazanah kekayaan bangsa ini laksana sebuah orkestra. Mari kita berusaha menjalani tugas dan amanah kemanusiaan kita dengan prinsip dan dasar iman taqwa yang berkualitas, namun tetap menghormati dan menjaga persaudaraan dan kemanusiaan kita.
Di sinilah makna hakiki persaudaraan dan kualitas keberagamaan kita. Riwayat dari Abu Musa berkata, Rasulullah saw ditanya: “Mana orang Islam yang paling utama?” Beliau menjawab: “Orang yang orang Islam lainnya merasa nyaman dari (tutur kata) lisannya dan tangannya” (Muttafaq ‘alaih). Allah a’lam bi sh-shawab.
Prof. Dr. H. Ahmad Rofiq, MA., Wakil Ketua Umum MUI Provinsi Jawa Tengah, Direktur LPPOM-MUI Jawa Tengah, Guru Besar Pascasarjana UIN Walisongo Semarang, Ketua DPS Bank Jateng Syariah, Ketua DPS RSI-Sultan Agung Semarang, Ketua Bidang Pendidikan Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT), Ketua II YPKPI Masjid Raya Baiturrahman Semarang. Jatengdaily.com–st