Foto Gunoto Saparie 62020 (1)

Oleh Gunoto Saparie

BEBERAPA waktu lalu media sosial diramaikan tulisan-tulisan serius dan mengernyitkan dahi. Betapa tidak? Goenawan Mohamad, A.S. Laksana, Ulil Abshar Abdalla, F. Budi Hardiman, dan lain-lain, membuat media sosial  menjadi lebih berwarna. Tulisan-tulisan mereka tentang sains, saintisme, hubungannya dengan agama, dan seterusnya, Mereka menulis status-status panjang yang berkisar pada tema sains, saintisme, hubungan sains dan agama, dan lain-lain. Saya sampai tertegun-tegun ketika mengikuti “Polemik Sains” tersebut.

Apakah sesungguhnya yang terjadi? Ketika hari-hari ini dunia intelektual sepi dari percaturan ide-ide dan gagasan, maka tulisan-tulisan mereka terasa lebih menyegarkan. Polemik itu sesungguhnya bermula dari Diskusi Hari Kebangkitan Nasional: Berkhidmat kepada Sains.

Presentasi Goenawan dalam diskusi yang diselenggarakan Perhimpunan Dokter Umum Indonesia tanggal 20 Mei 2020 itu ternyata memancing Laksana untuk memberikan tanggapan.  Diskusi itu sendiri konon merupakan upaya untuk menggugah semangat saintifik saat ini berkaitan dengan memandang dan menangani pandemi covid-19. Atau justru meletakkan sains sebagai landasan untuk penanganan pandemi covid-19 di Indonesia dengan berkaca pada sejarah Kebangkitan Nasional yang dipelopori oleh para dokter Stovia. Namun, berbeda dengan Prof. Farid Anfasa Moeloek dan Prof. Sangkot Marzuki yang justru mengafirmasi ‘Berkhidmat pada Sains’, Goenawan justru menolak berkhidmat pada sains.

Goenawan berpendapat bahwa sains tidak harus disikapi dengan khidmat, namun kritis. Mengacu pada Einstein, Husserl, Heidegger, dan Popper, Goenawan ingin menyatakan bahwa sains atau ilmu tidak menyelesaikan semuanya. Memang, Goenawan mengapresiasi jasa dr. Tjipto Mangoenkoesoemo dalam mengatasi wabah beri-beri dengan sains, namun ia menolak dr. Tjipto mengunggulkan ilmu. Apakah yang salah dari pernyataan Goenawan itu? Tidak ada, tidak ada. Namun, Laksana dengan bersemangat justru berbicara sendiri tentang pertentangan antara sains dan agama.

Betapapun polemik itu membuat sains menjadi lebih populer. Rumus-rumus dan istilah-istilah ilmiah yang selama ini membuat saya “pening”, ternyata bisa ditulis oleh para peserta polemik, terutama Goenawan, menjadi paragraf-paragraf yang menarik. Bahwa ternyata fakta-fakta sains yang kaku ketika ditulis menjadi polemic cukup mengasyikkan, bahkan bisa menjadi asupan rekreatif bagi keletihan intelektual.  Saya menikmatinya, meskipun dalam kadar tertentu berbeda dengan cara menikmati sebuah karya sastra, misalnya Lelaki Tua dan Laut karya Ernest Hemingway.

Tiba-tiba saya ingat buku A Brief History of Time karya Stephen Hawking yang pertama kali terbit pada 1988 dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada 1993. Hawking menguraikan asal muasal, struktur, dan perkembangan jagat raya dalam bahasa non-teknis yang mudah dicerna oleh orang awam.  Bahkan Majalah Tempo pernah menyebut buku tersebut sebagai “satu-satunya buku terbaik tentang fisika alam semesta untuk pembaca awam”.

Mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sains merupakan “pengetahuan sistematis yang diperoleh dari sesuatu observasi, penelitian, dan uji coba yang mengarah pada penentuan sifat dasar atau prinsip sesuatu yang sedang diselidiki, dipelajari, dan sebagainya”. Ini berarti, sains adalah ilmu pengetahuan.

Kita tahu, konsep sains dalam materialisme memang bagaikan kambing yang dikekang oleh tali pada sebuah pohon. Ia tak bisa jauh melangkah karena dibatasi wilayah jelajahnya. Ia harus berada sebatas wilayah pengalaman dunia indera, sehingga yang benar secara ilmiah menurut materialisme adalah segala sesuatu yang mutlak harus terbukti secara empirik (tertangkap mata secara langsung). Dengan prinsip inilah, maka sudut pandang materialisme menghakimi agama sebagai sesuatu yang tidak berdasar sains.

Dalam agama wilayah jelajah sains itu begitu luas. Ia tidak dibatasi sebatas wilayah pengalaman dunia inderawi. Oleh karena itu, konsep sains dalam agama dapat merekonstruksikan realitas secara keseluruhan, baik yang berasal dari realitas yang abstrak (yang tidak bisa tertangkap mata secara langsung) maupun realitas lahiriah (yang bisa tertangkap oleh mata secara langsung). Ini berarti, dalam dimensi ilahiah dua bentuk realitas itu saling berkelindan, saling menerangkan, saling berinteraksi satu sama lain. Oleh karena itu, sains harus difahami sebagai ilmu seputar dunia materi, yang bisa terbukti secara empirik.

Akan tetapi, sesungguhnya sains dan agama tidak perlu bertentangan. Karena dua hal itu akan saling mengisi satu sama lain, meskipun mereka masing-masing mengisi ruang yang berbeda serta mengemukakan kebenaran dalam persepsi berlainan. Kita agaknya tidak perlu larut dalam pertentangan panjang sains dan agama, karena memakai kaca mata ideologi materialistik itu. Sains memang bukan segala-galanya. Namun, benarkah agama juga boleh mengklaim sebagai segala-galanya?

Akan tetapi, bukankah sains murni, seperti hukum fisika (mekanisme) alam semesta, hukum ilmu fisika murni, matematika murni, ilmu tentang teknologi, dan lain-lain yang memiliki bukti fakta empirik pasti dan terukur pada dasarnya tidak bertentangan dengan agama, bahkan bisa menguatkan pandangan agama itu? Hal ini tentu saja berbeda dengan teori yang tak berdasar kenyataan seperti teori Darwin. Ia pasti akan berbenturan dengan agama, meskipun oleh kaum materialis ilmiah justru teori inilah yang dihadapkan pada garis terdepan dan dibenturkan secara langsung dengan agama. 

Kaca mata yang dipakai kaum materialis inilah yang mengakibatkan sains nampak selalu berbenturan langsung dengan agama. Celakanya, kaum materialis ini justru berusaha  memonopoli tafsir tafsir seputar sains. Akibatnya, klaim ini membuat para penafsir sains yang menafsirkan segala suatu seputar sains di luar cara mereka akan lansung dituding sebagai pernyataan yang apologistik, bahkan sampai  muncul tuduhan sebagai penganut pseudosains

Perspektif atau paradigma memang penting sebagai salah satu sudut pandang atau perspektif dalam melihat realitas atau gejala sosial. Konstruktivisme sebagai teori ini diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann. Pendekatan ini memiliki sejumlah asumsi, antara lain bahwa pengetahuan itu produk sosial. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang ditemukan secara objektif, tetapi diperoleh melalui interaksi di dalam kelompok sosial. Bahasa dan bagaimana seharusnya itu digunakan, cukup kuat dalam menentukan dan memengaruhi tindakan.

Selain itu, pengetahuan bersifat kontekstual. Makna terhadap peristiwa dihasilkan dari interaksi pada tempat dan waktu tertentu, pada lingkungan sosial tertentu. Pemahaman kita terhadap suatu hal berubah seiring berjalannya waktu. Kita memahami pengaalaman masa lampau juga dengan berbagai macam cara, tergantung pada konteksnya,

Yang cukup menarik adalah asumsi bahwa teori menciptakan dunia. Teori dan aktivitas ilmiah serta penelitian pada umumnya, bukanlah cara atau yang objektif untuk mengungkapkan kebenaran, tetapi berkontribusi lebih dalam menciptakan pengetahuan. Ini berarti, aktivitas ilmiah adalah dampak dari apa yang sedang diamati dan cara pengalaman dipahami.

Asumsi lain adalah bahwa kegiatan keilmuan itu sarat nilai. Apa yang kita amati dalam suatu penelitian atau apa yang kita jelaskan dalam suatu teori komunikasi selalu dipengaruhi oleh nilai-nilai yang tertanam di dalam pendekatan yang dipakai.

Peter L. Berger memperkenalkan gagasan teoretiknya ini yang kemudian dikenal dengan teori konstruksi realitas sossial atau teori dialektika. Proses dalektika yang diketengahkan Peter Berger dan Thomas Luckmann terjadi akibat adanya tarik menarik antara bagaimana masyarakat melihat “realitas objektif”, dan bagaimana seorang individu menggunakan “realitas subjektif” sebagai acuan identitasnya di masyarakat.

Oleh karena itu, ketika orang berbicara perkara integrasi sains dan agama—yang berupaya untuk memadukan antara sains dan agama—sesungguhnya tak harus berarti menyatukan atau bahkanmencampuradukkan keduanya. Bukankah identitas atau watak dari masing-masing kedua entitasitu tak harus hilang, bahkan justru harus tetap dipertahankan?

Namun, dalam paradigma Islam, misalnya, integrasi antara agama dan sains memang sesuatu yang mungkin adanya, karena didasarkan pada gagasan keesaan atau tauhid. Ini berarti, sains dan agama harusmenghadirkan kesadaran yang muncul lewat pandangan-pandangan yang lebihharmonis, holistik, dan komprehensif.

Meskipun, harus diakui, sampai hari ini masih ada anggapan dalam masyarakat yang menyatakan bahwa sains dan agama adalah dua entitasyang tidak dapat dipertemukan. Keduanya dianggap mempunyai wilayah masing-masing,terpisah antara satu dan lainnya, baik dari segi objek formal-material,metode penelitian, kriteria kebenaran, maupun peran ilmuwannya.  Sains dan agama memiliki cara yang berbeda, baik dari pendekatan maupun pengalaman. Sains terkait erat dengan pengalaman yang sangat abstrak, misalnya matematika, sedangkan agama lebih terkait erat dengan pengalaman biasa kehidupan. Sains dan agama dianggap berdiri pada posisinya masing-masing, karena sains mengandalkan data yang didukung secara empiris untuk memastikan apa yang nyata dan apa yang tidak. Sedangkan agama justru siap menerima yang gaib dan tidak pasti, hanya didasarkan pada variabel berwujud dari iman dan kepercayaan.

Akan tetapi Thomas S. Kuhn justru menunjukkan sains yang terdiri dari paradigma yang muncul dari tradisi budaya, di mana mirip dengan perspektif sekuler pada agama. Sedangkan Michael Polanyi mengatakan bahwa semua pengetahuan bersifat pribadi, karena itu ilmuwan harus melakukan sangat pribadi pula. Polanyi menambahkan bahwa ilmuwan sering hanya mengikuti intuisi dari “keindahan simetri, intelektual, dan kesepakatan empiris”. Ini berarti, dibutuhkan sains yang memerkan komitmen moral yang sama dengan yang ditemukan dalam agama.

Paralel dengan Kuhn dan Polanyi, Charles A. Coulson dan Harold K. Schilling mengklaim bahwa “metode sains dan agama memiliki banyak kesamaan”. Schilling berpendapat bahwa sains dan agama memiliki tiga struktur, yaitu pengalaman, interpretasi teoritis, dan aplikasi praktis. Sementara Coulson mengatakan bahwa sains, seperti agama, adalah “uang muka bagi imajinasi kreatif” dan bukan “hanya mengumpulkan fakta”. Agama mau tidak mau harus “melibatkan refleksi kritis pada pengalaman yang tidak berbeda dengan yang terjadi pada sains. Bahasa agama dan bahasa ilmiah pun menunjukkan paralelitas.

Yang menarik, dalam Islam alam tidak dilihat sebagai entitas yang terpisah. Ia justru merupakan bagian integral dari pandangan holistik Islam pada Tuhan, kemanusiaan, dan dunia. Dalam pandangan Islam, sains dan alam adalah berkesinambungan dengan agama dan Tuhan. Bukankah alam itu sendiri dilihat dalam Alquran sebagai kumpulan tanda-tanda yang menunjuk kepada Tuhan?

Saya mendadak teringat, ketika filsafat eksistensialisme menjadi mode di kalangan intelektual kita pada tahun 1970-an, kata-kata Albert Camus ini sungguh memesona,”Kamu tidak akan pernah bahagia kalau kamu terus mencari, apakah kebahagiaan itu?” Barangkali maksud Camus adalah, bahwa selama engkau terus mencari, maka engkau akan sibuk dengan pencarian itu sendiri. Akibatnya, engkau menjadi absurd dan sia-sia.

Agaknya memang telah tiba waktunya kita menghilangkan dikotomisasi antara sains dan agama itu.

*Gunoto Saparie adalah Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Wilayah Jawa Tengah. Tinggal di Ngaliyan, Semarang. Jatengdaily.com–st

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *