Oleh Gunoto Saparie
Fungsionaris ICMI Wilayah Jawa Tengah
Pada suatu hari, ada sebuah majalah memasang iklan pada lamannya, “Kami sedang mencari orang yang hidup sempurna namun tidak bahagia. Jika Anda mempunyai pekerjaan besar, rumah besar dengan perlengkapan mewah, namun Anda merasa tidak bahagia, dan sewaktu-waktu malah menderita, kami ingin mendengarnya dari Anda”. Apa yang kemudian terjadi? Ternyata majalah tersebut, yaitu Men’s Health, banyak sekali menerima tanggapan yang cocok dengan iklan tersebut.
Kajian tentang kebahagiaan memang merupakan tema yang sangat penting, Bahkan saat ini dalam bidang psikologi berkembang pendekatan baru, yang disebut sebagai psikologi positif. Pendekatan ini memfokuskan kajiannya pada aspek-aspek positif manusia, dan salah satu kajian utamanya adalah tentang kebahagiaan. Pendekatan psikologi positif menjelaskan adanya banyak faktor yang memengaruhi tingkat kebahagiaan seseorang, di antaranya adalah kemampuan bersyukur, optimisme, kemampuan mencintai, keharmonisan keluarga, kepuasan hidup, dan lain-lain.
Psikologi positif merupakan reaksi terhadap pendekatan-pendekatan psikologi sebelumnya yang dianggap sebagai psikologi negatif. Seligman menjelaskan bahwa pendekatan sains modern memandang tabiat manusia dengan sinis. Hal ini sangat berbeda dengan psikologi positif yang mengkaji tentang kebahagiaan. Ia menjelaskan premis-premis kebahagiaan diantaranya adalah 1) kebahagiaan adalah kewajiban moral; 2) ketidak-bahagiaan itu mudah, dan kebahagiaan itu sedikit lebih sulit; dan 3) pikiran memegang peranan penting dalam mencapai kebahagiaan.
Beberapa ahli psikologi medefinisikan kebahagiaan sebagai hasil penilaian terhadap diri dan kehidupan yang di dalamnya memuat aspek emosi positif seperti kenyamanan dan kegembiraan yang meluap-luap atau aktivitas positif yang tidak memenuhi aspek emosi apapun.
Hal ini berbeda dengan definisi kebahagiaan dalam perspektif agama yang memandang arti kebahagiaan dengan sesuatu yang sifatnya spiritual, seperti adanya perasaan tenang dan damai, rida, dan puas terhadap ketentuan Tuhan. Sedangkan kalau mengacu pada Cambridge Andvanced Learner’s Dictionary (2008), kebahagiaan adalah keadaan pikiran atau perasaan yang ditandai dengan adanya kepuasan, cinta, kesenangan, atau sukacita.
Selama ini dalam psikologi berkembang dua pengertian dalam memahami kebahagiaan atau kesejahteraan psikologis. Pengertian pertama bersumber dari pendapat Bradburn yang mendefinisikan psychological well being menjadi happiness (kebahagiaan) yang merupakan tujuan tertinggi yang ingin dicapai oleh manusia. Kebahagiaan berarti adanya keseimbangan afek (perasaan) positif dan afek negatif.
Pengertian kedua berasal dari pembuatan alat ukur Life Satisfaction Index untuk membedakan kesuksesan individu lanjut usia yang mengalami kesuksesan hidup dan yang tidak oleh Neugarten, Havighrust dan Tobin. Pada pengukuran ini kesejahteraan psikologis diartikan sebagai kepuasaan hidup (life satisfaction). Kedua pengertian kesejahteraan psikologis seperti dikemukakan di atas secara umum dinamakan dengan subjective well being yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan kesejahteraan subjektif.
Pertanyaan pun muncul ke permukaan. Mengapa manusia dalam konteks dunia yang modern ini mengalami kekeringan dan kehampaan secara spiritualitas? Ada dua ciri fundamental dalam peradaban manusia modern, yakni rasionalitas dan mentalitas. Kedua unsur fundamental ini telah selama berabad-abad membentuk mental manusia modern menjadi makhluk yang rasional sekaligus materialistik.
Bukankah Rene Descartes, bapak filsafat modern, memiliki adagium “cogito ergo sum” (saya berpikir, maka saya ada)? Bersamaan dengan semangat rasionalisme itu adalah empirisme dan positivism, sehingga agama menjadi terpinggirkan. Agama dianggap tidak memenuhi unsur logika rasionalitas dan kebenarannya tidak bisa dibuktikan secara empiris.
Martin Seligman, seorang pakar psikologi positif mengatakan bahwa spiritualitas adalah salah satu elemen yang menyumbang kebahagiaan dalam kehidupan seseorang. Pada Mei 2005 Gallup melakukan survei terhadap orang Amerika untuk menilai seberapa pentingnya agama dalam kehidupan mereka. Dari mereka yang disurvei, ternyata 55% menilai agama sebagai agama sangat penting dan 28% menilai agama sebagai cukup penting. Hanya 16% menyatakan bahwa agama tidak penting sama sekali.
Akan tetapi, Pargament dan Mahoney, justru membedakan agama dan spiritualitas. Mereka berpendapat, “Kami lebih memilih untuk menggunakan agama dalam arti klasik sebagai domain individu dan juga domain institusi untuk semua tujuan, apakah itu tujuan sekuler ataupun suci. Meskipun demikian, spiritualitas merupakan fungsi utama dan unik dari agama. Spiritualitas didefinisikan sebagai sebuah pencarian kebenaran yang suci. Orang~orang dapat mengambil berbagai jalan atau cara yang tak terbatas dalam upaya mereka untuk menemukan dan melestarikan kebenaran yang suci itu.” Jalan dan cara itu adalah sebuah sistem keyakinan seperti yang dimiliki oleh berbagai agama tradisional (misalnya Protestan, Katolik Roma, Yahudi, Hindu, Budha, Islam), atau juga gerakan spiritualitas yang lebih baru (misalnya feminisme, sains, ekologi, atau lainnya).
Dalam kaitan inilah, kehadiran buku Spirituality of Happines karya Denny J.A, patut kita sambut dengan gembira. Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa buku yang memperkaya pustaka spiritual di Indonesia ini bisa dijadi pedoman dalam menjalani kehidupan yang bahagia di era neuroscience. Buku setebal 132 halaman yang diterbitkan Cerah Budaya Indonesia, Jakarta, pada Juli 2020 ini merupakan refleksi 40 tahun perjalanan spiritual dan intelektual penulisnya.
Denny yang hari-hari ini menekuni riset psikologi positif memang mengaku sebagai pelancong spiritual. Ia mempelajari dan menjelajahi agama-agama besar: Islam, Kristen, Hindu, Budha, ditambah dengan Theosophy, Krishnamurti, Perennial Philosophy, Swami Vivekananda, Osho, Subud, hingga Ki Ageng Surya Mentaram.
Denny menyebutkan tentang spiritualitas baru abad 21, narasi ilmu pengetahuan. Bahwa ia bukan agama. Ia bukan pula untuk untuk menggantikan agama. Sebaliknya, spiritualitas baru justru dapat memperkuat agama yang ada.
Dalam 200 ribu tahun evolusi kesadaran homo sapiens, menurut Denny, kita dapat membaginya dalam tiga gelombang spiritualitas. Yang kita sebut dengan spiritualitas baru, ia adalah panduan hidup bahagia dan bermakna, yang diseleksi oleh riset ilmu pengetahuan. Dari manapun sumber panduan hidup bermakna itu, ia hanya diterima setelah terbukti dan dikonfirmasi oleh riset berkali-kali, di banyak tempat. Riset empirik menjadi kata kunci spiritualitas baru ini, spiritualitas gelombang ketiga.
Sedangkan spiritualitas gelombang satu itu narasi mitologi. Segala penjelasan yang menyangkut pertanyaan eksistensial dijelaskan dengan perspektif mitologi. Ia dinarasikan dengan fantasi mitos oleh seorang Shaman, atau tetua suku yang dianggap sakti. Mitologi adalah kata kunci spiritualitas gelombang satu.
Sementara spiritualitas gelombang kedua adalah narasi wahyu. Hal ihwal asal usul kehidupan dan akhir zaman, diyakini oleh pemeluknya, dititahkan langsung oleh yang Maha Kuasa, melalui malaikat kepada nabi. Wahyu Tuhan menjadi kata kunci spiritualitas gelombang kedua.
Agama yang kini hidup yang berdasarkan narasi wahyu: Islam, Kristen, dan Judaisme, baru berusia tiga ribu tahun. Sedangkan positive psychology dan neuroscience baru berusia sekitar 70 tahun.
Menurut Denny, dalam rentang 200 ribu tahun perjalanan kesadaran homo sapiens, selama 197 ribu tahun, kita hidup dalam spiritualitas gelombang satu, narasi mitologi. Dengan kata lain, sepanjang 98 persen usia homo sapiens, kita menyembah mulai dari ular piton, beruang, ikan paus, hingga aneka dewa.
Baru selama 3000 tahun, homo sapiens hidup dalam narasi wahyu, dan menyembah yang Maha, yang Satu. Itu artinya baru 1,5 persen, atau kurang dari dua persen dari sejarah homo sapiens, kita mempraktikkan monoteisme, seperti yang kita kenal sekarang.
Spiritualitas baru itu baru dirintis sejak 70 tahun lalu. Ini berarti baru 0,4 persen dari sejarah homo sapiens, kita menjadikan riset ilmu pengetahuan sebagai selektor panduan hidup bermakna dan bahagia.
Denny menawarkan rumus 3P+2S sebagai panduan spiritualitas baru. Manusia dapat hidup bermakna dan bahagia, kalau ia menerapkan pola pikir dan kebiasaan hidup 3P+2S.
Pertama adalah Personal Relationship. Ia adalah hubungan personal yang akrab dengan orang lain, saling mengasihi, dan saling menumbuhkan.
Kedua adalah Positivity. Ia merupakan kemampuan melihat sisi positif dari berbagai peristiwa dan kejadian yang menimpa kita. Bahkan derita dan musibah pun dapat dilihat sebagai hikmah.
Ketiga adalah Passion. Di sini ada keterlibatan sepenuh hati dalam hal atau aktivitas yang kita sukai. Seorang pelukis yang memiliki passion, misalnya, bisa mengalami suasana ekstase ketika sedang melukis.
Keempat adalah Sense of Progress dan Small Winning. Ini berarti, apapun aktivitas kita, jika memberi rasa kemajuan atau pencapaian sekecil sekalipun, akan membuahkan kebahagiaan yang bermakna.
Sedangkan yang kelima Spiritual Blue Diamonds. Ini merupakan tiga nilai terpenting yang muncul dari banyak agama besar dan filosofi Stoicism. Yakni: 1) The Golden Rule atau Prinsip kebajikan: Lakukan pada orang lain apa yang kau harap orang lain lakukan padamu. Atau, jangan lakukan pada orang lain apapun yang kau tak ingin orang lain lakukan padamu.
2) Power of Giving: Berikan apapun yang kau bisa untuk menolong, menumbuhkan, atau membahagiakan orang lain. Lakukan ini terutama kepada mereka yang tak beruntung. 3) The Oneness: Prinsip segala hal itu satu, dan adanya saling keterkaitan satu sama lain. Di balik semua latar belakang perbedaan, sesama manusia itu satu.
Abad 21 merupakan abad yang kompleks. Agama dan moralitas tradisional mengalami perubahan besar. Norma-norma kehidupan pun menjadi longgar, sedangkan tata nilai lama pun berantakan. Hampir tidak ada lagi masyarakat homogen saat ini. Ada beragam orang yang hidup bersama dengan beragam nilai. Celakanya, pada abad inilah radikalisme dan terorisme berbaju agama menjadi masalah besar. Di abad ini pula perkembangan teknologi informasi, transportasi dan komunikasi mendorong proses globalisasi di berbagai belahan dunia. Budaya lokal pun tercabut dari akarnya, bahkan lenyap. Perkembangan bioteknologi melahirkan kecerdasan buatan yang bisa melakukan banyak pekerjaan manusia dengan jauh lebih cepat.
Di tengah situasi demikian, maka spritiualitas baru gelombang ketiga menjadi sangat relevan dan dibutuhkan. Kehadiran buku Denny yang dikemas dalam bahasa populer dan komunikatif ini sangat tepat, apalagi di tengah situasi penuh ketidakpastian akibat pandemi wabah corona. aupun sebagai bagian dari alam semesta. Kita membutuhkan kecerdasan spiritual yang mampu menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai. Kecerdasan spiritual ini diperlukan karena berfungsi untuk menempatkan perilaku manusia dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya. st
GIPHY App Key not set. Please check settings