SEMARANG (Jatengdaily.com) – Suasana tahun baru atau pergantian tahun menjadi salah satu sumber inspirasi para penyair Indonesia. Banyak penyair kita yang menjadikan tahun baru sebagai sumber pengucapan artistik dan estetik bagi penulisan puisi-puisinya.
Demikian dikatakan Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT) Gunoto Saparie pada acara Bianglala Sastra di Semarang TV, Ngesrep Semarang, Minggu malam (5/1). Acara tersebut mengambil topik Puisi-puisi Tahun Baru.
Dalam acara yang dipandu staf Humas Undip Leenda Madya itu menghadirkan juga narasumber akademisi sastra dari Unnes Prof Dr Teguh Supriyanto dan pengurus DKJT Sri Boentoro.
Menurut Gunoto, hampir semua penyair Indonesia pernah menulis puisi dengan mengambil tema tentang tahun baru. Sebut saja, misalnya Mustofa Bisri, Goenawan Mohamad, Rendra, Rida K Liamsi, dan sebagainya. Begitu pula penyair Indonesia yang menulis geguritan (puisi berbahasa Jawa) juga banyak yang terinspirasi oleh taun anyar (tahun baru). Nama-nama seperti Agustav Triyono, Turiyo Ragil Putra, Triman Laksana, bisa menjadi contoh dalam hal ini.
“Tahun baru juga banyak menjadi sumber inspirasi penyair asing. Seperti Robert Burns, Emily Dickinson, dan lain-lain,” katanya seraya menambahkan dengan berdasarkan sumber tahun baru memang penyair bisa menulisnya dengan pendekatan psikologis maupun filsafat. Teguh menunjukkan bagaimana era media sosial banyak orang tiba-tiba menjadi penyair saat tahun baru. Mereka menuliskan kata-kata indah dan lembut. Ini artinya, tahun baru bukan hanya menjadi sumber ilham bagi para penyair, namun juga bahan inspirasi mereka yang bukan penyair.
“Bukan hanya saat tahun baru saja, tapi juga pada momen lain, seperti saat Hari Natal, Idul Fitri, dan lain-lain. Saya kira hal ini cukup menggembirakan,” ujarnya sambil mengatakan, puisi-puisi tahun baru bisa menyadarkan pembaca tentang pentingnya melakukan renungan, agar kehidupannya lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya.
Boentoro menambahkan, puisi-puisi tahun baru pun bisa menjelaskan bagaimana asal mula tahun baru dirayakan. Bagaimana sejarah dan riwayatnya bisa ditulis dalam puisi meskipun tidak harus secara vulgar. Bagaimana tahun baru awalnya dirayakan bukan pada bulan Januari, tapi justru bulan Maret.
Namun secara khusus Boentoro merasa terkesan dengan puisi tentang tahun baru karya Mustofa Bisri yang akrab dipanggil Gus Mus. Puisinya cenderung menertawai diri sendiri. Ia tidak menunjuk pada orang lain tetapi diri sendiri.
“Puisinya dibungkus dengan canda namun sesungguhnya serius,” katanya.
Pada kesempatan itu Boentoro membacakan puisi Gus Mus berjudul “Selamat Tahun Baru, Kawan”. Tampil pula Abra membacakan sajak karyanya berjudul “Makna Tahun Baru”. ugl–st