Loading ...

Agama Bukan Lagi Semacam Kasur Tua

0
Foto Gunoto Saparie-BI

Oleh Gunoto Saparie
PERKEMBANGAN teknologi informasi tidak hanya melahirkan banyak inovasi dan produk di bidang teknologi informasi itu sendiri.. Akan tetapi, pada saat yang sama, ia juga mengakibatkan banyak aspek kehidupan manusia berubah. Oleh karena itu, kehadiran teknologi informasi perlu diantisipasi dengan baik oleh para tokoh agama. Hal ini karena terjadi pergeseran konstruksi dalam beragama, sehingga menjadi tantangan bagi para tokoh agama.

Denny J.A. dengan bagus dan tajam menguraikan tentang pergeseran makna agama akibat “11 Fakta Era Google” yang sedang berlangsung. Denny melihat ada sebelas “pergeseran kesadaran”, di mana diakibatkan oleh revolusi digital Google.

Menurut Denny, ada sebelas fakta dan temuan di era Google, yang akan mengubah cara kita memahami agama. Pertama, di negara yang indeks kebahagiannya tinggi (world happiness index), ternyata pada umumnya level beragama masyarakatnya rendah. Negara yang paling mampu membuat warganya bahagia, sebagaimana diukur oleh world happines index, populasi di negara itu cenderung menganggap agama tak lagi penting dalam kehidupan mereka (diukur dari religiusity index).

Kedua, di negara yang tingkat beragama tinggi (religiosity index), pemerintahannya ternyata cenderung korup. Banyak negara yang lebih dari 90 persen populasinya menyatakan agama sangat penting dalam hidupnya. Di negara itu, tingkat korupsi pemerintahannya juga sangat tinggi (diukur dengan the corruption perception index).

Ketiga, di negara yang pembangunan manusianya tinggi (human development index), tingkat beragama masyarakatnya ternyata cenderung rendah. Human Development Index (HDI) mengukur kemajuan negara dengan aneka dimensi mulai dari kesejahteraan, kesehatan hingga pendidikan. Itu hal penting membangun manusia.

Top 10 negara yang tertinggi HDI-nya, masyarakatnya cenderung tidak menganggap agama hal yang penting dalam hidupnya.

Keempat, pada masyarakat yang tingkat beragamanya tinggi, memiliki kecerdasan rata rata (cognitive test measurement) yang lebih kurang dibandingkan masyarakat yang tingkat beragamanya lebih rendah. University of Rocherter secara khusus mengukur hubungan antara tingkat IQ dan agama. Hasil temuan itu diterapkan untuk teritori dunia.

Kelima, dua agama paling besar: Islam dan Kristen, meyakini dua fakta yang bertolak belakang. Mustahil dua fakta ini benar. Salah satu pasti salah.

Publik luas menyaksikan bahwa fakta yang salahpun bisa diyakini oleh lebih dari satu miliar manusia, dalam jangka waktu lebih dari 1000 tahun. Kristen meyakini fakta bahwa Yesus (Nabi Isa) wafat disalib. Sedangkan Islam justru meyakini fakta sebaliknya: Yesus (Nabi Isa) tidak wafat disalib.

Kristen meyakini yang akan dikorbankan oleh Nabi Ibrahim adalah Ishak. Akan tetapi, Islam meyakini yang akan dikorbankan oleh Nabi Ibrahim adalah Ismail. Pasti ada yang salah di antara dua keyakinan itu. Namun, fakta yang salah bisa diyakini oleh begitu banyak manusia dan dalam jangka waktu begitu lama.

Keenam, arkeolog, antropolog, dan ilmuwan menemukan banyak fakta. Menurut temuan mereka, beberapa nabi itu bukan tokoh sejarah, misalnya Musa, Nuh, dan Adam. Arkeolog juga menemukan betapa kisah Nabi itu menyerupai kisah rakyat dari era peradaban yang lebih tua dari usia kitab suci.

Kisah Nabi Musa misalnya. Nabi Musa ketika bayi dibuang di sungai, badannya ditampung dalam keranjang, lalu ditemukan di negeri lain oleh petugas kerajaan. Kemudian ia dibesarkan di Istana. Lalu ia kembali ke tanah asal, menjadi pemimpin. Kisah Nabi Musa tersebut ternyata sama persis dengan kisah Raja Sargon dari Summeriah/Mesopotamia, yang dokumennya lebih tua dibandingkan Bible.

Ketujuh, kebijakan publik top 10 negara paling sejahtera, paling bahagia, paling membangun manusia, tak lagi merujuk kitab suci. Hukum yang disusun di parlemen, temuan ilmu di labolatorium, perkembangan bisnis di dunia modern, keputusan politik pemangku kebijakan, diambil dengan semakin tidak merujuk pada kitab suci.

Kedelapan, kini hidup 4.300 agama. yang berbeda. Peradaban menyaksikan pertarungan para fanatik agama masing-masing mengklaim berbagai kebenaran mutlak yang saling tak identik. Takada pegangan obyektif untuk tahu yang mana yang benar.

Kesembilan, setelah pendiri agama tiada, (penerima wahyu seperti yang diyakini penganutnya) wafat, yang tersisa hanya perbedaan tafsir para ahli. Para pendeta, ulama, biksu, berbeda beda memahami dan beropini mulai dari hal yang esensial hingga hal teknis.
Di agama Islam, misalnya, soal siapa pengganti Nabi Muhammad selaku pemimpin masyarakat? Haruskah pengganti itu keturunan Nabi atau pemimpin yang dipilih? Perbedaan itu bahkan terjadi di kalangan generasi pertama Muslim.

Beda sikap bahkan sudah ada pada mereka yang mengenal Nabi. Perbedaan ini telah membelah agama Islam menjadi Sunni versus Syiah. Bahkan dalam soal teknis tentang kapan Lebaran dimulai, Muhammadiyah dan NU memiliki metode yang berbeda.
Kesepuluh, perayaan hari besar agama, seperti Natal, juga mulai dirayakan penganut agama lain. Bagi mereka, Natal adalah peristiwa kultural yang cukup syahdu untuk ikut dirayakan walau mereka tak meyakini agama Kristen.

Kesebelas, hak asasi manusia menghargai kebebasan beragama ataupun tak beragama. Apa pun tafsir dan keyakinan soal Tuhan, agama, dan kebenaran, diserahkan kepada pilihan individu. Keyakinan itu dilindungi sejauh tak ada pemaksaan dan kekerasan kepada pihak lain.

Dua Fakta Fundamental
Ada dua fakta fundamental yang bisa menjadi semacam asumsi bagi refleksi Denny. Pertama, keberadaan homo sapiens, yakni makhluk cerdas seperti kita, paling tidak sudah berusia 300 ribu tahun. Sedangkan agama-agama dominan masa kini paling lama berusia 3.000 tahun atau baru satu persen dari usia homo sapiens itu. Ini berarti, 99 persen dalam usianya, homo sapiens “sudah hidup tanpa agama yang ada sekarang.”

Kedua, saat ini ada 4.300 agama yang berkembang di dunia. Di samping itu, ada puluhan ribu jenis kepercayaan yang hanya berkembang di wilayah-wilayah tertentu saja. Apakah ada semacam irisan dari seluruh agama itu? Denny menjawab, “Ada.” Irisan itu disebutnya sebagai spiritual blue diamonds yang terdiri atas prinsip the golden rule (“lakukan pada orang lain sebagaimana yang kau harap orang lain lakukan padamu”), the power of giving, dan akhirnya the oneness.

Dalam kaitan ini, Denny mengusulkan pentingnya pergeseran pemahaman agama itu, yaitu “dari kebenaran mutlak menuju kekayaan kultural milik bersama”. Sebuah usulan yang sesungguhnya membuat kita terhenyak. Betapa tidak?

Menurut Denny, ada sebelas fakta dan temuan di era Google, yang akan mengubah cara kita memahami agama. Pertama, di negara yang indeks kebahagiannya tinggi (world happiness index), ternyata pada umumnya level beragama masyarakatnya rendah. Negara yang paling mampu membuat warganya bahagia, sebagaimana diukur oleh world happines index, populasi di negara itu cenderung menganggap agama tak lagi penting dalam kehidupan mereka (diukur dari religiusity index).

Kedua, di negara yang tingkat beragama tinggi (religiosity index), pemerintahannya ternyata cenderung korup. Banyak negara yang lebih dari 90 persen populasinya menyatakan agama sangat penting dalam hidupnya. Di negara itu, tingkat korupsi pemerintahannya juga sangat tinggi (diukur dengan the corruption perception index).

Ketiga, di negara yang pembangunan manusianya tinggi (human development index), tingkat beragama masyarakatnya ternyata cenderung rendah. Human Development Index (HDI) mengukur kemajuan negara dengan aneka dimensi mulai dari kesejahteraan, kesehatan hingga pendidikan. Itu hal penting membangun manusia. Top 10 negara yang tertinggi HDI-nya, masyarakatnya cenderung tidak menganggap agama hal yang penting dalam hidupnya.

Memang, dewasa ini agama-agama sedang mengalami perubahan dan tantangan yang sangat serius. Di era digital ini cara beragama masyarakat kini mengalami perubahan luar biasa. Runtuhnya otoritas keagamaan, pudarnya afiliasi terhadap lembaga kegamaan, menguatnya individualisme, pluralisme berubah menjadi tribalisme, dan lain-lain, menjadi kenyataan yang dulu tidak pernah terbayangkan. Di era digital ini, berbagai informasi dapat begitu mudahnya diproduksi dan dikonsumsi oleh berbagai pihak, dengan latar belakang agama, sosial, ekonomi, maupun politik macam-macam.

Kita ingat, misalnya, Haidar Bagir pernah menulis esai berjudul “Beragama di Era Revolusi Industri 4.0” (Kompas, 10 Oktober 2019). Bagir merumuskan persoalan utama agama di era revolusi robotik sebagai pengentalan identitas, fundamentalisme agama, dan populisme.
Harus diakui, dalam beberapa hal apa yang ditulis Bagir paralel dengan apa yang disampaikan Denny. Yang jelas, dalam era disrupsi hari-hari ini agama mulai dikritisi. Ads beberapa aspek krusial agama yang dipertanyakan, diperdebatkan, bahkan barangkali digugat. Revolusi teknologi digital menuntut agama memikirkan kembali struktur hierarkeologis.

Ketika masyarakat berada dalam kondisi hyper-connected dan berada di tengah kecepatan lalu lintas informasi, agama tidak lagi hanya berkutat pada hal-hal konvensional. Definisi, keanggotaan jemaat, cara dakwah atau pewartaan, barangkali perlu dipertimbangkan kembali. Perkembangan teknologi informasi yang takterelakkan telah memenetrasi semua segmen sosial. Ketika informasi mudah diperoleh, kebebasan orang tidak terbendung, dan partisipasi politik semakin masif, agama bukan lagi semacam “kasur tua” (meminjam istilah Rendra dalam salah satu puisinya). Ini berarti, kaum agama perlu memiliki kerendahan hati dan bersedia untuk saling belajar dengan pihak lain.

Kehadiran robotics yang mampu berempati memaksa teologi untuk mendefinisikan kembali ruang lingkup moralitas. Robotics dengan algoritma mampu beradaptasi dan melayani manusia sama seperti kinerja manusia. Apakah kita harus membangun relasi berbasis kemanusiaan dengan para robot? Apakah agama-agama perlu memikirkan cara untuk berdialektika teologis-etis dengan sihir Revolusi Industri 4.0?

Antonio Spadaro mengingatkan bahwa kemajuan dunia teknologi tidak hanya mengganggu fungsi organisatoris keagamaan, tetapi juga cara beriman dan cara menalar. Oleh karena itu, teologi agama-agama perlu dinalar lagi dengan logika web. Era sekarang bukan lagi soal how to use the web well, melainkan how to live well in the era of the web.

Oleh karena itu, pendekatan terhadap agama pun bergeser. Pendekatan terhadap agama bukan lagi sebagai doktrin benar dan salah. Orang boleh meyakini agamanya sebagai satu satunya kebenaran mutlak dan hal itu tetap harus dihormati. Akan tetapi, orang pun boleh tidak lagi percaya terhadap agama, meskipun tetap bisa menikmati agama tersebut sebagai kekayaan kultral belaka. Kearifan baru pun akan semakin banyak diyakini di era Google.

Pertanyaan pun mencuat ke permukaan: Apakah peran agama menjadi tak lagi penting hari-hari ini? Denny pun menjawab bahwa hal itu tergantung bagaimana agama itu ditafsirkan. Ia menunjuk contoh bagaimana Jalaluddin Rumi sangat populer di dunia Barat karena ia menafsirkan agama secara universal. Tafsir Rumi menyatukan manusia, bukan membelah. Ia mengajak pada kedalaman, mengontrol kebersihan perilaku dari dalam.

Kehadiran buku ini sangatlah penting dan bermakna, khususnya bagi kajian-kajian keagamaan yang dewasa ini membutuhkan penyegaran. Tak pelak, Denny dengan karyanya ini, memberikan tambahan referensi atau batu lompatan bagi para peneliti dan cendekian, guna menghasilkan penelitian-penelitian tentang pergeseran makna agama di tengah kemajuan teknologi informasiyang lebih baru dan komprehensif.

Kelebihan Denny dalam buku ini adalah gaya penulisannya yang populer dan komunikatif, sehingga mudah dimengerti. Secara tersirat agaknya Denny mengajak kita semua untuk saling menghormati dan menghargai perbedaan.serta keragaman pandangan tentang agama. Buku ini membuka pikiran pembaca tentang keniscayaan perkembangan teknologi informasi yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan, baik sosial, ekonomi, kebudayaan, dan terutama agama.

(Resensi Buku Denny JA,11 Fakta Era Google: Bergeernya Pemahaman Agama dari Kebenaran Mutlak Menuju Kekayaan Kultural Milik Bersama, Cerah Budaya Indonesia, Jakarta, 2021, 161 Halaman).

*Gunoto Saparie adalah Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia Wilayah Jawa Tengah. Jatengdaily.com–st

 

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Exit mobile version