SEMARANG (Jatengdaily.com) – Perwakilan BKKBN Jateng menyambut baik dan siap bersinergi dengan Badan Penasihatan, Pembinaan, dan Pelestarian Perkawinan (BP4) Jateng. Banyak kegiatan yang dikolaborasikan dengan BP4, salah satunya untuk menurunkan angka perceraian di Jateng yang mencapai 37 persen.
Kepala Perwakilan BKKBN Jateng, drg Widwiono MKes mengakui, dampak lain dari pernikahan anak adalah angka kematian ibu, penyebabnya kurang persiapan sebelum melangsungkan pernikahan.
”Ini sebagai dampak perkawinan muda. Kalau kita gandengkan dengan UU Perlindungan anak dengan UU Perkawinan yang direvisi, dari 16 tahun ke 19 tahun, sehingga kalau ada anak yang dinikahkan usia 18 tahun, berarti orang tua menikahkan anak,” ujar Kepala Perwakilan BKKBN Jateng, , drg Widwiono MKes saat menerima audiensi rombongan BP4 Jateng, di kantor BKKBN Jateng, Kamis (25/11).
Rombongan BP4 Jateng yang dipimpin Ketua DR H Nur Khoirin YD, MAg bersilaturahmi ke BKKBN Jateng. Banyak yang dibahas dalam silaturahmi tersebut, di antaranya akan melakukan kolaborasi atau kerja sama dalam rangka mencegah perceraian, persoalan stunting, dan pernikahan usian anak.
Menurut drg Widwiono, data di satu kabupaten, misalnya di Kabupaten Brebes, angka kematian ibu terjadi karena salah satu penyebabnya maraknya pernikahan anak. Di samping terjadi perceraian juga terjadi kasus kematian ibu. Kasus kematian ibu banyak terjadi pada proses persalinan ibu saat melahirkan anak ketiga dan keempat.
”Jadi ke depan program BP4 Jateng dengan BKKBN ini nyambung. Anak stunting juga banyak dilahirkan pada persalinan ketiga dan keempat. Jadi ada korelasinya, antara perceraian, pernikahan usia anak, angka kematian ibu dan angka stunting,” ujar Widwiono.
Kalau kolaborasikan sesuai dengan tupoksi masing-masing. Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI), bahwa remaja putri 33 persen animis, yakni pintu masuk untuk kematian ibu dan stunting yang membahayakan kesehatan ibu.
”Bagaimana perkawinan anak bisa kita cegah. Tentu saja melibatkan tokoh adat, tokoh masyarakat, dan tokoh agama. Sebab kalau dari tokoh agama Islam, pada surat An-Nisa ayat 9 disebutkan, kita hendaknya takut meninggalkan keturunan yang lemah. Ini tanggung jawab kita semuanya, sehingga ke depan akan menghasilkan generasi kita generasi yang kuat,” katanya.
Hal ini, lanjut Widwiono, bisa kita kolaborasikan dengan BP4, sehingga usia perkawinan diharapkan 19 tahun sesuai UU. Walaupun ada dispensasi di Pengadilan Agama (PA). ”BKKBN Jateng juga akan berbicara dengan PA, agar memberikan dispensasi yang benar-benar ketat. Kalau alasan tertentu ya monggo (hamil duluan),” ujarnya.
Melalui kolaborasi antara BKKBN dengan BP4 Jateng, diharapkan ke depan bagaimana mencegah usia perkawinan sebelum usai 20 tahun. Kalau terpaksa kawin sebelum usia 19 tahun, usahakan menunda punya anak dengan cara ber-KB, karena dari ilmu kedokteran pada usia kurang dari 20 tahun itu lebar tulang pinggul kurang dari 10 cm.
”Padahal kepala bayi lebarnya 10 cm, sehingga kalau belum 20 tahun, lebar panggul wanita kurang maksimal. Karena dipaksa keluar, tetapi kalau sudah usia 20 tahun, jalan keluarnya mudah. Karena lebar pinggul sudah mencukupi. Ini ilmu Allah. Insya Allah semua bisa menerima,” katanya.
Kolaborasi lainnya, menurut Widwiono, untuk menurunkan angka kematian ibu, agar bayi yang dikandung itu sehat dan berkualitas. Paling tidak tiga bulan sebelum menikah calon pengantin mendapatkan informasi, sehingga begitu nikah usia cukup, sel telur dan sel sperma untuk membentuk zigot itu benar-benar berkualitas.
”Ini banyak yang tidak diketahui. Minimal tiga bulan sebelum menikah diberi informasi. Ini sebenarnya tidak susah, karena ibu yang hamil cukup diberi makanan bergizi, dan asam folat yang ada di kandungan kurma dan di telur bebek,” ujar Widwiono.
Informasi-informasi seperti ini perlu disampaikan, menurut Widwiono, sehingga tugas kita minimal sudah menyiapkan keturunan generasi pemimpin bangsa yang sehat dan kuat.
Ketua BP4 Jateng DR H Nur Khoirin YD MAg menambahkan, tugas kita salah satunya melakukan bimbingan perkawinan, memberikan informasi kepada masyarakat agar mendapatkan bekal, sebab saat menikah yang dibayangkan adalah bagaimana bulan madu, malam pertama. Namun mereka tidak membayangkan bagaimana mengelola manajemen keluarga yang baik.
”Ini perlu disiapkan untuk membentengi, bagaimana penguatan keluarga dan menyiapkan keluarga yang baik setelah menikah,” tegas Nur Khoirin. st