Oleh: Azka Muthia, SST
Statistisi BPS Kota Pekalongan
POLEMIK rokok dan tembakau menjadi persoalan yang kompleks dan kontroversial yang menimbulkan gerakan pro kontra. Satu sisi berkaitan dengan isu kesehatan dan sisi lain terkait kontribusinya terhadap perekonomian. Di tengah pro dan kontra, Menteri Keuangan sudah menetapkan kebijakan menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) pada 13 Desember lalu.
Kebijakan ini akan berlaku mulai 1 Januari 2022 dengan rata-rata kenaikan 12 persen. Sri Mulyani (Menkeu) menjelaskan bahwa kenaikan ini ditujukan sebagai upaya pengendalian konsumsi sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Cukai. Kebijakan cukai juga mempertimbangkan dampak kepada produsen yang meliputi petani tembakau, pekerja, serta industri hasil tembakau secara keseluruhan.
Konsumsi Rokok di Masyarakat
Kebijakan CHT memang bertujuan untuk mengendalikan tingkat konsumsi dan prevalensi rokok di masyarakat. Menurut data World Bank Group (2021) Indonesia menduduki peringkat ke tiga negara dengan penduduk yang merokok. Setidaknya 38 persen penduduk dewasa laki-laki dan perempuan di Indonesia mengkonsumsi rokok dan produk tembakau sejenis pada 2019.
Sedangkan dari data Susenas pada tahun 2019 penduduk usia 15 tahun keatas yang mengonsumsi rokok sebesar 28,69 persen. Angka ini termasuk tinggi karena berarti lebih dari seperempat penduduk usia 15 tahun ke atas di Indonesia mengonsumsi rokok dalam kesehariaannya.
Jika kita menyoroti dari konsumsinya, rokok memang menjadi konsumsi terbesar kedua pada pengeluaran makanan setelah makanan dan minuman jadi. Data dari Badan Pusat Statistik hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) menyebutkan bahwa pada tahun 2021 pengeluaran rokok sebesar 12,30 persen dari total pengeluaran makanan.
Pengeluaran rokok ini bahkan lebih tinggi dari pengeluaran padi-padian yang merupakan kebutuhan pokok masyarakat dan lebih tinggi dibandingkan pengeluaran untuk protein, seperti daging, telur, tempe, serta ikan.
Mirisnya data menunjukkan semakin rendah ketahanan pangan ternyata semakin tinggi persentase konsumsi rokok dibandingkan total konsumsi makanan rumah tangga tersebut. Data BPS menunjukkan konsumsi rokok pada rumah tangga rawan pangan merupakan yang tertinggi dibandingkan rumah tangga yang lain. Pada tahun 2021 konsumsi rokok pada rumah tangga rawan pangan sebesar 21,98 persen.
Dengan adanya kenaikan CHT ini diperkirakan akan menaikkan harga rokok yang nantinya diharapkan tidak terjangkau oleh masyarakat miskin sehingga alokasi keuangannya bisa dipindahkan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga yang lain. Hasil penelitian dari Indonesian Family Life Survey (IFLS) menunjukkan bawa peningkatan konsumsi rokok sekitar 2 persen akan menurunkan pengeluran beras, protein, dan sumber lemak di rumah tangga tersebut.
Target Menurunkan Pravelensi Merokok
Menurut Cigarette Tax Scorecard, penyesuaian CHT berkala di Indonesia berhasil menurunkan keterjangkauan harga rokok sebesar 3,3 persen setiap tahun selama tahun 2014-2020. Melalui kenaikan CHT kali ini, diharapkan semakin mampu menurunkan tingkat konsumsi rokok bagi remaja, anak, serta perokok pemula.
Penurunan konsumsi ini akan berdampak kepada peningkatan kualitas hidup masyarakat dengan mengadvokasikan gaya hidup sehat. Hal ini sesuai dengan tujuan SDG’s ketiga yaitu membentuk kehidupan yang sehat dan meningkatkan kesejahteraan seluruh penduduk semua usia.
Pemerintah menargetkan prevalensi merokok anak Indonesia usia 10-18 tahun turun minimal menjadi 8,7 persen di tahun 2024 pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Dari data Riskesdas menunjukkan di tahun 2018 penduduk usia 10-18 tahun yang merokok sebanyak 9,1 persen dan mengalami kenaikan dibandingkan tahun 2016 yang sebesar 8,8 persen.
Hal ini menunjukkan bahwa perlu usaha keras dari pemerintah untuk menurunkan prevalensi merokok terutama untuk anak usia 10-18 tahun. Peningkatan prevalensi merokok ini menjadikan Indonesia terus mengalami kerugian kesehatan. Peneliti CISDI menyebutkan kenaikan cukai dapat mendorong penurunan konsumsi lebih tajam. Pada Tahun 2020 kenaikan cukai rokok menurunkan konsumsi rokok kretek sebesar 17,3 persen dan rokok putih 12,8 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Rokok dan Kesehatan
Dari sisi kesehatan, rokok dapat memicu risiko stunting pada anak. Penelitian IFLS membuktikan bahwa perilaku merokok berdampak pada kondisi stunting anak yang ditunjukkan pada gangguan tinggi dan berat badan. Data menunjukkan orang tua perokok kronis memiliki probabilitas meningkatkan potensi anak mengalami stunting 5,5 persen lebih tinggi dibandingkan dengan anak dari orang tua bukan perokok.
Selain itu merokok bisa memperparah dampak kesehatan akibat Covid-19 atau 14 kali berisiko terkena Covid-19 dibandingkan dengan bukan perokok. Hal ini menunjukkan bahwa disamping menimbulkan kerugian bagi perekonomian, rokok juga berdampak langsung pada kenaikan biaya kesehatan. CISDI memperkirakan biaya perawatan kesehatan untuk penyakit yang disebabkan oleh rokok pada tahun 2019 sebesar 17,9 triliun hingga 27,7 triliun. Sedangkan Kosen et al pada tahun 2017 menyatakan bahwa bila memperhitungkan kerugian akibat hilangnya produktivitas dan kematian dini, kerugian ekonomi akbitat rokok pada tahun 2015 sebesar 5 persen dari pendapatan domestik bruto atau mencapai 597 triliun.
Rokok dan Penerimaan Negara
Jika dilihat dari sudut pandang lain, kenaikan tarif CHT turut mendukung program pembangunan nasional melalui penerimaan negara. Saat ini persentase cukai terhadap harga jual rokok di Indonesia masih dibawah rekomendasi WHO yang sebesar 70 persen. Persentase cukai terhadap harga jual rokok di Indonesia saat ini sebesar 48 persen.
Tim Peneliti CISDI menunjukkan bahwa kenaikan cukai hasil tembakau berdampak positif bagi perekonomian Indonesia. Kenaikan cukai rokok akan menambah pendapatan pajak negara yang bersumber dari cukai rokok, pajak rokok,dan pajak pertambahan nilai. CISDI memperkirakan bahwa menaikan cukai rokok kretek sebesar 30 persen dan rokok putih 45 persen masing-masing dapat menambah penerimaan negara sebesar Rp 5,7 triliun dan Rp 7,9 triliun. Dengan kenaikan penerimaan negara dari cukai rokok ini nantinya dapat dialokasikan untuk penanganan kesehatan yang diakibatkan oleh rokok dan meningkatkan sehingga dapat membantu pihak-pihak yang selama ini dirugikan oleh asap rokok.
Kebijakan Pendukung
Kenaikan CHT yang merupakan langkah pengendalian konsumsi rokok ini perlu adanya kebijakan pendukung, Hal ini dikarenakan apabila hanya kebijakan kenaikan CHT tidak akan cukup untuk mengendalikan konsumsi rokok di masyarakat dan mendapatkan manfaat ekonomi dari penurunan konsumsi rokok. Hal-hal yang perlu diwaspadai adalah semakin maraknya peredaran rokok ilegal yang lebih terjangkau.
Selain itu perlu adanya mitigasi terhadap pertanian tembakau dengan memberikan alternatif pengolahan untuk komoditas tembakau agar petani tidak dirugikan dan tetap mendorong kesejahteraan petani. Hal yang tidak kalah penting adalah penyederhanaan struktur tarif cukai yang selama ini masih tergolong rumit sebagai upaya menurunkan variasi harga rokok.Jatengdaily.com-st