Oleh: Ernie I. Maysarah, SST
Statistisi Ahli pada Seksi Statistik Sosial,
Badan Pusat Statistik Kabupaten Kendal
KEMENTERIAN Ketenagakerjaan telah menetapkan rata-rata kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2022 sebesar 1,09 persen pada 16 November 2021 lalu. Kenaikan UMP sendiri memberikan kekhawatiran oleh banyak pihak, baik pemerintah maupun masyarakat, dalam hal ini pekerja sektor formal maupun informal.
Berbagai studi yang sudah cukup banyak dipublikasikan menuliskan bahwa kenaikan UMP sendiri dapat memberikan dampak positif maupun negatif bagi pekerja sektor formal. Namun berbeda dengan pekerja sektor informal yang cenderung lebih mendapatkan dampak negatif, meskipun secara tidak langsung.
Direktorat Ketenagakerjaan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) pernah mempublikasikan hasil studi, di mana setiap kenaikan 10 persen upah minimum akan mengurangi kesempatan kerja sebesar 1,1 persen. Pengurangan kesempatan kerja di sektor formal ini justru akan mengalihkan pencari kerja dari sektor formal ke informal. Hal ini tentu akan meningkatkan permintaan tenaga kerja pada sektor informal.
Pencari kerja yang kesulitan mendapatkan peluang di sektor formal akan berlomba-lomba mencari penghidupan pada sektor informal yang memang secara umum tidak memerlukan modal besar maupun keahlian khusus. Persaingan antar tenaga kerja sektor informal yang semakin meningkat akan menurunkan upah nominal yang diterima, padahal upah pekerja sektor informal tidak diatur regulasi.
Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, upah pekerja sektor informal yang tidak diatur regulasi membuat mereka harus mampu menyesuaikan pengeluarannya dengan kondisi inflasi dan pertumbuhan ekonomi demi mencapai kesejahteraan. Alih-alih memberikan kesejahteraan hidup, upah nominal pekerja sektor informal yang terus turun justru mungkin hanya mampu digunakan untuk menyambung hidup dari hari ke hari saja.
Perlambatan Penurunan Kemiskinan
Belum ditemukan hubungan langsung dari kenaikan UMP terhadap perlambatan penurunan kemiskinan. Namun, berbagai studi telah menyebutkan bahwa penurunan kemiskinan secara makro, salah satunya ditentukan dari perbaikan kondisi pendidikan, jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang terkendali, serta penurunan tingkat pengangguran.
Kenaikan UMP yang memberikan dampak pada berkurangnya tingkat penciptaan tenaga kerja di sektor formal tentunya akan memicu kenaikan jumlah pengangguran. Bila melihat struktur pengangguran di Jawa Tengah sendiri berdasarkan survei angkatan kerja nasional yang diselenggarakan oleh BPS selama kurun empat tahun terakhir, lebih dari 50 persen penganggur merupakan pengangguran terdidik, yang setidaknya menamatkan tingkat sekolah menengah atas (SMA).
Penganggur yang secara sukarela memilih tidak bekerja karena kesempatan kerja sektor formal menurun ini merupakan cerminan kondisi yang tidak diharapkan. Padahal di sisi lain, berbagai kebutuhan makanan maupun non makanan harus tetap dipenuhi demi menyambung hidup.
Menurut Ernest Engel (1857), pengeluaran untuk makanan akan menurun sejalan dengan meningkatnya pendapatan, hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat kesejahteraan dari rumah tangga karena meningkatnya pendapatan, maka akan membuat proporsi pengeluaran untuk konsumsi makanan semakin menurun.
Fakta bahwa masih ada sekitar 40 persen rumah tangga dengan pengeluaran terendah yang masih dominan menghabiskan pengeluarannya untuk konsumsi makanan, menunjukkan tingkat kesejahteraan yang masih belum sesuai harapan. Padahal pekerja sektor informal sebagian besar merupakan bagian dari penduduk dengan pengeluaran terendah tersebut. Tentunya, perubahan pendapatan akan ikut mempengaruhi perubahan pola pengeluaran.
Peningkatan pendapatan seharusnya mampu menggeser pola konsumsi masyarakat dari dominasi makanan menjadi nonmakanan. Kenaikan UMP sendiri akan meningkatkan kualitas daya beli pekerja sektor formal dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun, secara tidak langsung kenaikan UMP justru juga menurunkan upah nominal pekerja sektor informal, dan ikut menggeser pola pengeluaran pekerja sektor informal menjadi semakin dominan pada makanan.
Hal ini tentu menunjukkan adanya penurunan tingkat kesejahteraan di sisi pekerja sektor informal. Karena itu, meski pemerintah terus melakukan perbaikan kualitas pendidikan, pengendalian jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi, namun menjadi sangat wajar jika upaya penurunan kemiskinan kita akan tetap mengalami hambatan dari sisi ketenagakerjaan dan pengupahan.
Kenaikan UMP, meski di satu sisi bertujuan menyejahterakan para pekerja sektor formal agar daya beli riil mereka mampu naik menyesuaikan tingkat inflasi, tapi di sisi lain tetap memberikan dampak negatif bagi sektor informal. Penetapan UMP sendiri setiap tahun hampir selalu menuai kontroversi dari beberapa pihak, termasuk memunculkan sikap protes dan demonstrasi dari serikat pekerja sendiri.
Antara tameng atau bumerang, namun upaya pemerintah dalam menetapkan kenaikan UMP seharusnya tetap mampu kita lihat secara positif untuk meningkatkan kualitas hidup rakyat di masa pandemi ini. Jatengdaily.com-yds