Oleh: Ani Widiarti, SST, MSi
Statistisi Muda BPS Kabupaten Purbalingga
COVID (Corona Virus Disease), sebuah nama yang sedang menjadi tren saat ini. Hampir semua orang di seluruh dunia pernah mendengar nama ini. Sebuah nama yang telah mengguncang dunia pada dua tahun terakhir. Masa pandemi Covid telah mengubah banyak hal dalam kehidupan manusia. Mulai dari kehidupan sosial, ekonomi, kesehatan hingga pendidikan anak.
Proses pembelajaran yang biasanya dilakukan dengan tatap muka antara guru dan murid, beralih menjadi pembelajaran jarak jauh atau virtual. Tentu ini berpengaruh terhadap hasil kompetensi belajar yang didapat oleh para murid. Belum lagi para orang tua yang harus berdebat atau bahkan bertengkar dengan anak-anaknya pada saat pendampingan belajar anak di rumah.
Belum lagi ancaman putus sekolah yang menghantui dunia pendidikan. Akibat pandemi banyak masyarakat yang kehilangan penghasilan dan pekerjaan, di PHK dari tempat kerja atau usahanya gulung tikar karena tidak mendapatkan hasil bahkan merugi.
Menurut penelitian dari beberapa Lembaga survei, fenomena anak putus sekolah makin marak di masa pandemi dengan masalah ekonomi menjadi penyebab utamanya dan proses pembelajaran jarak jauh yang kurang/tidak efektif. Permasalahan anak putus sekolah merupakan permasalahan yang sudah ada sejak lama namun saat ini ada kecenderungan terjadinya peningkatan akibat Covid.
Pembelajaran jarak jauh dapat menimbulan permasalahan sosial tersendiri. Murid cenderung lebih banyak waktu untuk bergaul dan bermain daripada untuk belajar sehingga pergaulan menjadi lebih bebas. Dengan semakin lamanya waktu untuk bergaul dan bermain mengakibatkan murid menjadi malas untuk belajar dan akhirnya bisa memperbesar resiko putus sekolah.
Para orang tua juga cenderung kurang memperhatikan proses pembelajaran dari rumah anak-anaknya terutama pada anak-anak yang sedang beranjak remaja. Dan yang lebih mengerikan kemungkinan adanya pernikahan dini yang tentunya akan sangat merusak genarasi penerus bangsa. Bonus demografi yang seharusnya meningkatkan kualitas bangsa bisa jadi akan berubah menjadi beban bagi bangsa karena kualitas sumber daya manusia yang semakin rendah.
Secara nasional jika kita melihat data hasil Survei Sosial Ekonomi (Susenas) Badan Pusat Statistik tahun 2020 di Indonesia terdapat peningkatan persentase anak yang tidak sekolah lagi pada kelompok umur SMP. Tahun 2020 tercatat 7.29 persen anak usia SMP yang tidak sekolah, sementara pada tahun sebelumnya 6.92 atau terjadi peningkatan 0.39 persen. Kenaikan ini lebih didominasi oleh anak-anak yang berada di wilayah perkotaan dengan peningkatan 0.65 persen, sementara yang terjadi di pedesaan hanya meningkat 0.05 persen.
Apa yang menyebabkan anak-anak usia SMP di perkotaan cenderung lebih tinggi angka putus sekolahnya, dimungkinkan akibat pengaruh pergaulan yang semakin bebas. Pembelajaran jarak jauh tanpa pengawasan orangtua tentunya akan mendapatkan hasil yang tidak efektif. Untuk wilayah perkotaan jaringan internet tentunya tidak menjadi kendala. Justru dengan adanya media belajar menggunakan gadget atau gawai akan semakin memperbesar kemungkinan anak semakin lama bermain HP. Dengan alasan belajar, kesempatan menggunakan HP untuk hal-hal lain yang kurang bermanfaat semakin terbuka lebar apalagi jika orangtua kurang peduli terhadap kondisi ini.
Anak-anak remaja semakin mudah berkomunikasi dengan orang lain melalui HP. Jam belajar tidak selama jam belajar sebelumnya, akibatnya anak menjadi tidak bersemangat untuk belajar dan bisa menimbulkan kecenderungan anak putus sekolah.
Data hasil Susenas 2020 juga mencatat bahwa peningkatan angka anak tidak sekolah di kelompok umur SMP terjadi pada kelompok anak laki-laki yaitu 8.42 persen, sedangkan pada anak perempuan tercatat 6.08 persen. Tentunya ini sangat disayangkan mengingat menurut Islam laki-laki adalah seorang pemimpin. Jika generasi pemimpin masa depan berkualitas rendah, bagaimana kondisi bangsa di masa depan.
Komisioner KPAI Retno Listyarti mengatakan putus sekolah memiliki dampak panjang bagi kondisi sosial ekonomi warga. Ketika anak memilih putus sekolah dan bekerja, kemungkinan besar ia akan melakukan pekerjaan dengan gaji rendah sehingga tak mampu memenuhi kebutuhan gizi dan rentan sakit. Jika anak putus sekolah dan memilih untuk menikah, maka ia rentan mengalami masalah kesehatan reproduksi dan masalah ekonomi.
Sementara itu banyak pakar menyebutkan bahwa kondisi ekonomi keluarga cukup mempengaruhi keberlanjutan pendidikan anak. Hal ini dikarenakan pada beberapa sekolah para murid masih harus membayar biaya pendidikan meskipun pemerintah telah membantu dengan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Covid 19 yang telah memporak porandakan perekonomian masyarakat punya andil yang begitu besar terhadap kondisi ekonomi keluarga saat ini.
Untuk melihat kelompok masyarakat berdasarkan pengeluaran rumahtangga dapat dilihat berdasarkan kuintil. Kuintil merupakan pengelompokan pengeluaran rumah tangga yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), dalam lima kelompok sama besar. Kuintil menjadi acuan kelompok rumah tangga di Indonesia yang diukur berdasarkan pengeluaran perkapita. Oleh BPS, kelompok pengeluaran rumah tangga total dengan nilai 100 persen dibagi dalam lima kuintil, dengan kata lain kuintil 1 merupakan 20 persen rumah tangga dengan pengeluaran terendah, terus meningkat hingga kuintil 5 yang merupakan 20 persen rumah tangga dengan pengeluaran perkapita tertinggi.
Hasil Susenas 2020 menggambarkan bahwa pada kelompok umur sekolah SMP semakin tinggi kuintil semakin rendah persentase anak yang tidak sekolah. Pada kuintil 1 tercatat 12.04 persen anak yang tidak sekolah, kuintil 2 tercatat 7.96 persen, kuintil 3 tercatat 6.36 persen, kuintil 4 tercatat 5.32 persen dan pada kuintil 5 tercatat 3.43 persen. Hal ini menunjukkan bahwa semakin rendah pengeluaran rumahtangga atau semakin rendah tingkat kesejahteraan masyarakat, maka kecenderungan untuk anak umur sekolah SMP tidak sekolah akan semakin besar.
Kondisi ekonomi keluarga yang kurang dapat menjadi salah satu faktor anak tidak melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi. Mereka harus rela putus sekolah dan bekerja demi membantu perekonomian keluarga. Apalagi pada masa pandemi seperti sekarang ini, angka tersebut cenderung lebih besar dari sebelumnya. Pada kelompok pengeluaran atau kuintil bawah, metode pembelajaran jarak jauh yang memerlukan pulsa atau kuota tentunya menjadi beban orangtua.
Mereka harus menambah pengeluaran untuk membeli kuota setiap bulannya. Program pemerintah berupa bantuan kuota internet nyatanya belum menyapu ke semua lapisan. Dengan pembelajaran yang dirasa kurang efektif, sebagian masyarakat merasa bahwa antara bersekolah dan tidak bersekolah ternyata memberikan hasil yang tidak terlalu berbeda sehingga mereka beranggapan bahwa jika anak tidak bersekolahpun tidak terlalu berpengaruh ke anak.
Untuk membantu orangtua yang kehilangan pekerjaan, beberapa anak juga memutuskan untuk bekerja . Setelah bekerja dan mendapatkan penghasilan sendiri, anak menjadi malas untuk kembali belajar ke sekolah dan akhirnya putus sekolah.
Alasan lain adanya putus sekolah adalah tidak memiliki fasilitas yang memadai untuk pembelajaran jarak jauh seperti tidak memiliki gadget, tidak punya kuota, listrik sering padam, sinyal internet yang kurang bagus dan lain-lain. Tidak atau kurangnya fasilitas tersebut menyebabkan siswa menjadi malas belajar dan menjadi putus sekolah. Jatengdaily.com-st













