in

Nikah Gampang, Cerai juga Gampang

Oleh: Lulu Lestari, SST
Statistisi Pertama BPS Kabupaten Cilacap

MENIKAH GAMPANG. Menikah adalah sebuah peristiwa penting dalam fase kehidupan manusia. Pernikahan dalam adat budaya timur merupakan sesuatu yang sakral. Dua manusia dengan latar belakang berbeda disatukan dalam ikatan suci untuk membentuk sebuah keluarga. Hubungan baru, ikatan baru, dan harapan baru bagi keduanya.

Persyaratan untuk menikah relatif gampang. Berdasarkan informasi dari Sistem Informasi Manajemen Nikah Kementrian Agama Republik Indonesia, cukup sediakan kartu tanda penduduk, kartu keluarga, surat pengantar dari desa/kelurahan, dan pas foto. Biaya yang dikeluarkan hanya Rp 0,- alias gratis asal menikah di KUA setempat. Saat ini pendaftaran nikah juga dapat dilakukan secara online dengan mengakses situs simkah.kemenag.go.id.

Kemudahan persyaratan menikah mendorong upaya untuk meningkatkan antusiasme masyarakat mencatatkan perkawinannya secara resmi di Kantor urusan Agama (KUA). Pada tahun 2020, di Jawa Tengah tercatat sebanyak 276.777 pernikahan. Cilacap, Brebes, Tegal, Banyumas, dan Pemalang merupakan kabupaten/kota dengan jumlah pernikahan terbanyak. Tren pernikahan di Jawa Tengah selama kurun waktu lima tahun terakhir terus mengalami peningkatan, kecuali tahun 2020 dimana terjadi penurunan sekitar 13 persen dibandingkan tahun sebelumnya akibat pembatasan kegiatan masyarakat karena pandemi covid-19.

Bercerai Juga Gampang
Peningkatan tren pernikahan juga dibarengi dengan tingginya kasus perceraian. Tercatat ada sekitar 72 ribu kasus perceraian di Jawa Tengah pada tahun 2020. Sebagai gambaran, Kabupaten Cilacap dengan kasus perceraian terbanyak se-Jawa Tengah memiliki rasio nikah-cerai sebanyak 3:1. Artinya bahwa dari tiga kejadian pernikahan akan diikuti dengan satu kasus perceraian. Bahkan angka yang lebih ekstrim terjadi di Kota Salatiga dimana untuk satu pernikahan akan diikuti dengan satu kasus perceraian.

Begitu gampangnya keputusan bercerai diambil oleh pasangan suami istri yang memiliki permasalahan. Tren perceraian menunjukkan peningkatan selama lima tahun terakhir, tidak hanya di Jawa Tengah tetapi juga provinsi besar lainnya seperti Jawa Barat dan Jawa timur. Pengajuan cerai didominasi oleh pihak istri/cerai gugat. Alasan terbanyak yang menjadi penyebab perceraian yaitu karena pertengkaran terus menerus (49%) dan permasalahan ekonomi (30%). Penyebab tersebut mengindikasikan belum siapnya kemampuan mental dan finansial para pasangan yang memutuskan untuk menikah sehingga ketika terjadi konflik maka perceraian dianggap sebagai solusi terbaik.

Kematangan usia dan pemikiran mutlak dibutuhkan oleh pasangan suami istri untuk menyelesaikan konflik dalam rumah tangganya. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa 33% pemuda Indonesia menikah pertama kali pada kisaran usia 19-21 tahun, usia yang relatif masih muda. Biasanya seseorang pada usia tersebut baru saja menyelesaikan pendidikan menengah atau masih berusaha menyelesaikan pendidikan tingginya atau bahkan baru sejenak menikmati dunia kerja. Otomatis pendapatan yang dimiliki juga terbatas. Keterbatasan finansial ditambah mental yang belum matang membuat pasangan suami-istri tidak siap menghadapi konflik dalam berumah tangga.

Mawas Diri
Menikah merupakan urusan pribadi setiap orang sekaligus melekat sebagai hak asasinya. Pemerintah hadir sebagai pihak yang berkewajiban untuk mengatur hak tersebut sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Pernikahan Nomor 1 tahun 1974. Sehingga tujuan pernikahan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal dapat dicapai. Tujuan tersebut semakin ditegaskan dengan adanya revisi terhadap Undang-Undang Pernikahan yang mengubah batas minimal usia pernikahan bagi perempuan dari 16 tahun menjadi 19 tahun.

Pada kenyataannya peraturan tersebut tidak selalu membuat masyarakat mawas diri. Pengajuan dispensasi pernikahan anak dibawah usia 19 tahun semakin meningkat. Badan Peradilan Agama mencatatkan sekitar 64 ribu pengajuan dispensasi nikah selama tahun 2020. Peraturan pemerintah untuk mencegah pernikahan di usia dini terasa tumpul tanpa adanya kesadaran masyarakat itu sendiri.

Pertama, kesadaran pasangan yang akan menikah tentang pentingnya kesiapan fisik, mental, dan finansial untuk mengarungi kehidupan pernikahan. Kedua, kesadaran para orang tua untuk memberikan ijin anaknya menikah pada saat usia yang matang dimana kesiapan mental dan finansial memadai. Dengan adanya kesiapan dari pasangan yang akan menikah diharapkan perceraian tidak terjadi sehingga angkanya dapat ditekan.

Perceraian sering menjadi bumerang di masyarakat karena dapat menimbulkan dampak negatif, tidak hanya bagi pasangan yang bercerai tetapi juga untuk anak yang menjadi korban. Anak-anak korban perceraian lebih rentan menghadapi permasalahan dalam masa perkembangannya.

Masalah emosional, pendidikan, sosial, dan finansial kemungkinan besar akan mereka hadapi karena ketidaklengkapan peran orang tua. Perlu disadari bersama bahwa menikah memang urusan yang gampang, tetapi keputusan untuk bercerai juga gampang diambil. Jangan sampai pernikahan yang bertujuan membawa kebaikan justru menimbulkan penderitaan khususnya bagi anak-anak korban perceraian. Jatengdaily.com-st

Written by Jatengdaily.com

Putus Sekolah di Masa Pandemi

Peserta Kemah Sastra Indonesia 2021 Bikin Buku Antologi Bertema Baturaden