Teks Iman Budhi Santosa Liris dan Sederhana

SEMARANG (Jatengdaily.com) – Teks sastra yang ditulis Iman Budhi Santosa liris dengan bahasa sederhana. Namun, dalam kesederhanaan itu terkandung falsafah yang dalam dan berpijak pada peristiwa keseharian. Selain itu, Iman banyak menulis tentang tanaman. Mungkin hal itu karena dia pernah menjadi pegawai negeri sipil yang bertugas di bidang perkebunan.

Hal itu dikatakan oleh Kepala Balai Bahasa Jawa Tengah Ganjar Harimansyah ketika berbicara pada kegiatan peringatan Doa dan Puisi 100 Hari Wafat Sang Guru Iman Budhi Santosa di Ngesrepbalong, Medini, Limbangan, Kendal, Sabtu malam, 21 Maret 2021. Selain Ganjar, tampil juga sebagai narasumber anak kandung Iman, Pawang Surya Kencana, Supamin dan Wage Daksinarga, keduanya sahabat Iman, dan sastrawan Bambang Widiatmoko.

Pada kesempatan itu diluncurkan buku Jalan Puisi dan Patembayatan: Bunga Rampai Mengenang Sosok dan Karya Iman Budhi Santosa. Buku yang disunting Heri CS tersebut diterbitkn oleh Komunitas Lerengmedini Boja Kendal bekerja sama dengan Pelataran Sastra Kaliwungu, dan Jarak Dekat Kendal. Buku itu memuat sejumlah esai para sastrawan, sahabat, dan keluarga Iman.

Sedangkan esoknya diadakan acara napak tilas jejak perjalanan Iman ketika menjadi sinder perkebunan teh di Medini. Iman sebelum memutuskan total menerjuni dunia kesusastraan di Yogya tinggal di sini bersama keluarganya. Iman meninggal dunia di Yogya 10 Desember 2020.

Ganjar mengatakan, puisi-puisi Iman selain liris dan kontemplatif, juga menampilkan cinta yang halus, kenangan melankolis. Namun, sejumlah puisinya juga memotret kehidupan rakyat kecil.

Iman, lanjut Ganjar, boleh dikatakan penulis serba bisa. Ia tidak hanya menulis puisi, namun juga esai dan novel, di mana karyanya berpihak “rakyat kebanyakan”. Iman juga dikenal dekat dengan banyak penulis, baik tua maupun muda. Ia mampu mendampingi anak-anak muda untuk berproses kreatif, sehingga mendorong terus munculnya penulis-penulis muda.

“Ia boleh dibilang melakukan tunggak semi, di mana melakukan regenerasi berkelanjutan, seperti yang dilakukan Umbu Landu Paranggi, Piek Ardijanto Soeprijadi, dan Saini KM,” katanya.

Pawang sebagai anak kandung Iman merasa dididik tanpa banyak aturan. Iman cenderung membiarkan anak-anaknya tumbuh kembang sesuai keinginannya. Ketika agak melenceng, barulah ada kata-kata yang keluar.

“Bapak termasuk pendiam saat di rumah,” ujarnya seraya menambahkan jika ia dimarahi Iman cuma sekali atau dua kali saja.

Dalam kegiatan yang berlangsung sampai larut malam itu ditampilkan pembacaan puisi dari beberapa hadirin. Acara juga dimeriahkan musikalisasi puisi oleh Komunitas Perpustakaan Jalanan Boja. Tampak hadir peneliti Balitbang Kemenag Mujizah dan Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah Gunoto Saparie.st

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *