Oleh: Nurul Kurniasih, S.ST
ASN pada Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Pekalongan
KENAIKAN Upah Minimum Provinsi (UMP) Jawa Tengah tahun 2022 hanya sebesar 0,78 persen, jauh dari tuntutan Aliansi Buruh Jawa Tengah yang menghendaki kenaikan hingga 16 persen. Aliansi Buruh Jawa Tengah yang menolak penetapan UMP 2022 menyatakan bahwa buruh selalu menjadi pihak tertindas yang dituntut bekerja maksimal dengan upah minimal. Penolakan juga datang dari Kesatuan Serikat Pekerja Nasional (KSPN) Jawa Tengah yang mendatangi kantor Gubernur Jawa Tengah, Kamis (25/11/2021).
Mereka menganggap bahwa UMP 2022 dipandang tidak berpihak kepada buruh dan membebani buruh di tengah pandemi Covid-19. Padahal Gubernur Ganjar Pranowo melalui Keputusan Gubernur Jawa Tengah No.561/37 tanggal 20 November 2021 tentang Penetapan Upah Minimum Provinsi Jawa Tengah Tahun 2022, telah menetapkan UMP Jawa Tengah tahun 2022 naik 0,78 persen dari tahun sebelumnya yaitu menjadi sebesar Rp1.812.935. Penetapan UMP ini telah menggunakan perhitungan formula sesuai Pasal 26 Peraturan Pemerintah Nomor 36/2021 Tentang Pengupahan, dimana variabel data acuan yang digunakan telah menggunakan data dari Badan Pusat Statistik.
Jika serikat-serikat buruh bisa berdemo menuntut kenaikan UMP yang lebih tinggi, apa kabar saudara-saudara kita yang bekerja di sektor informal? Apa kabar kesejahteraan buruh batik yang sedari dulu upahnya tak pernah mencapai UMP atau UMK?
Di saat Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) Kota Pekalongan ditetapkan naik dari Rp2.139.754 pada tahun 2021 menjadi Rp.2.156.444 pada tahun 2022, upah buruh batik tetap pada tarif rendahnya. Upah buruh batik bagian nyolet (mewarnai batik) masih berada pada kisaran Rp25.000 per hari yang berarti sekitar Rp600.000 sebulan. Sedangkan upah buruh batik bagian nglorod (pencelupan kain batik pada air panas untuk melepaskan lilin malam) berkisar pada Rp70.000 per hari yang berarti sekitar Rp1.680.000 sebulan. Sangat jauh dari besaran UMK yang dinilai sebagai standar minimum upah yang layak untuk biaya hidup seorang buruh.
Menurut penelitian Amalinda Savirani, kepala program doktoral di Departemen Politik & Pemerintahan di UGM, tahun 2007, skala usaha para perajin batik di Pekalongan 90 persen adalah skala rumahan dan bersifat informal. Hal ini didukung juga dengan data dari Kementrian Perindustrian yang mencatat bahwa pada tahun 2019 industri batik didominasi Industri Kecil Menengah (IKM) yang tersebar di 101 sentra di Indonesia, dengan jumlah sebanyak 47.000 pengusaha dan menyerap lebih dari 200.000 tenaga kerja dimana aturan formal termasuk dalam ketenagakerjaan tidak berlaku untuk para buruh batik. Karena tidak terangkut dalam regulasi formal inilah upah buruh batik selalu abadi berada pada titik yang jauh di bawah UMK.
Hal ini dimantapkan dengan adanya tren maklon di mana untuk menjadi pengusaha batik tidak perlu mendirikan pabrik batik melainkan hanya perlu modal usaha saja. Juragan batik memberikan sanggan/pekerjaan batikan ke pengusaha-pengusaha kecil untuk dikerjakan di rumah masing-masing. Hal ini sangat menguntungkan para pengusaha besar. Mereka tak perlu mengeluarkan modal pendirian pabrik, tak perlu mengeluarkan upah sesuai standar UMK, tak ada biaya operasional perusahaan apalagi biaya asuransi tenaga kerja.
Padahal proses pengerjaan batik baik batik tulis maupun batik cap merupakan proses yang panjang. Mulai dari penyiapan kain mori, penggambaran sketsa, pewarnaan, pelorodan, penjemuran hingga pengepakan. Buruh batik biasanya bekerja 8-10 jam per hari. Untuk proses pewarnaan/pembatikan biasanya dilakukan oleh buruh perempuan dan proses pelorodan & penjemuran dilakukan oleh buruh laki-laki. Semua pekerja ini setiap hari harus berinteraksi dengan obat batik yang baunya begitu menyengat dan beresiko tinggi merusak kulit dan paru-paru.
Beberapa kondisi inilah yang menyebabkan Kota Batik hampir kehilangan generasi penerus penjaga warisan budaya. Anak-anak muda di Kota Pekalongan banyak yang memilih bermigrasi ke kota lain untuk penghasilan dan jaminan pekerjaan di bidang yang lebih menjanjikan, atau tetap bertahan di Kota Batik namun memilih bidang pekerjaan selain batik.
Sebagai kota yang telah memperoleh predikat Kota Kreatif Dunia dengan julukan “World City Of Batik”, Kota Pekalongan tentu harus memperhatikan kelangsungan warisan budaya nasional ini. Apalagi otentifikasi batik yang telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai salah satu warisan budaya dunia tak benda (world intangible cultural heritage), tentu merupakan warisan yang sangat berharga. Lalu bagaimana nasib warisan budaya dunia ini jika tak ada lagi yang bersedia menjaga keberlangsungannya hanya karena tidak ada kepastian kesejahteraan bagi mereka?
Hal ini diperparah lagi dengan hadirnya pandemi Covid-19 di tanah air. Dikutip dari detikfinance, Asosiasi Perajin & Pengusaha Batik Indonesia (APPBI) melaporkan, di Indonesia terdapat 151.656 perajin batik dan setelah dihantam pandemi menyisakan 37.914 perajin saja yang aktif. Artinya pandemi telah mengurangi jumlah perajin batik hingga 75 persen. Ketentuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) hingga Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) menyebabkan lesunya penjualan batik di semua sentra mulai dari Pasar Klewer (Solo), Pasar Grosir Setono (Pekalongan), Pasar Beringharjo (Yogyakarta) hingga Pasar Batik Thamrin City (Jakarta).
Terpaan pandemi Covid-19 membuat pertumbuhan ekonomi di Kota Pekalongan mengalami perlambatan sebesar 1,87 persen. Industri pengolahan dan perdagangan merupakan dua sektor yang memiliki peran besar pada perekonomian di Kota Pekalongan, dimana menurut catatan BPS, masing-masing sektor ini memiliki peran 21,40 persen dan 21,16 persen pada Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Pekalongan tahun 2020. Dan sebagian besar penopang dari dua sektor ini adalah batik.
Bisa dibayangkan bagaimana kondisi para buruh batik, penjaga warisan budaya dunia bertahan hidup dalam masa pandemi dengan kondisi perlambatan pertumbuhan ekonomi seperti ini. Dalam kondisi normal saja mereka harus bertahan dengan upah murah di bawah UMK, apalagi dalam kondisi pandemi. Tak ayal angka Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pun meningkat dari 6,08 persen pada tahun 2019 menjadi 8,05 persen pada tahun 2020.
Tantangan lain yang dihadapi oleh dunia perbatikan adalah hadirnya batik printing atau cetak yang mengaku sebagai batik padahal sebenarnya tak bisa dikategorikan sebagai batik. Menurut Irwan Tirta, konsep batik adalah teknik dekorasi kain / tekstil menggunakan lilin untuk pewarnaan warna, di mana semua proses dilakukan dengan tangan. Sedangkan batik printing/cetak tidak melalui semua proses ini.
Batik printing merupakan kain printing/cetak yang bermotif batik. Batik printing/cetak banyak dikuasai oleh pengusaha besar, diproduksi dengan mesin secara massal dalam waktu lebih cepat dan tentunya bisa dijual dengan harga yang lebih murah. Hal ini yang mematikan pasaran batik tulis dan batik cap dimana pada akhirnya juga mengancam eksistensi usaha batik di Kota Pekalongan. Diperlukan kebijakan yang tegas dari pemerintah daerah maupun pusat untuk melindungi kemurnian batik. Perlu ada gerakan besar untuk regenerasi perajin batik, tentunya diawali dengan perbaikan kesejahteraan buruh batik agar generasi muda tertarik.
Klaster-klaster batik yang sudah ada seharusnya bisa memaksimalkan perannya. Tidak hanya berkutat pada promosi, pameran, edukasi penggunaan bahan, edutourism batik tapi juga mulai memikirkan kesejateraan buruh batik. Pemerintah juga seharusnya mulai peduli dengan nasib buruh batik. Kesejahteraan para penjaga warisan budaya bangsa ini harus diperhatikan.
Perlindungan hak kekayaan intelektual dalam usaha batik harus menjadi fokus pemerintah Kota Pekalongan. Kebijakan tentang konsep maklon pada mata rantai industri batik harus dikaji ulang. Jangan sampai ketimpangan penghasilan antara juragan dan buruh batik semakin menjadi bagai bumi dan langit. Konsep maklon membuat buruh batik di Kota Batik menjadi direndahkan.
Pengusaha bermodal besar baik dari dalam maupun luar kota membayar buruh batik dengan harga murah, lalu memberikan label merk mereka dan dijual di kota lain dengan harga yang sangat mahal. Brand value inilah yang menyebabkan banyak ditemukan produk batik dengan motif batik yang sama, kualitas kain yang sama, model dan warna yang sama, namun harganya jauh berbeda, sementara nasib para buruh batik kedua produk ini tetaplah sama, merana, jauh dari standar UMK. Jatengdaily.com-st