Berharap Peran BWI dalam Pemberdayaan Wakaf
Oleh : Nur Khoirin YD
BERDASARKAN data Sistem Informasi Wakaf (SIWAK) yang diakses pada tanggal 13 Juni 2022, jumlah wakaf tanah di Indonesia mencapai jumlah 432.191 lokasi dengan total luas 56.405,34 ha. Dari jumlah tersebut tanah yang sudah bersertifikat wakaf sebanyak 250.828 lokasi (21.100,87 ha), dan sisanya sebanyak 181.363 lokasi (53.304,46 ha) belum bersertifikat (http://siwak.kemenag.go.id/).
Data yang terekam dalam Siwak ini diyakini baru sebagian kecil dari jumlah tanah wakaf yang sebenarnya. Karena Siwak ini bersifat suka rela, tergantung siapa yang mau menginput, dan kayaknya juga belum pernah dilakukan verfikasi faktual di lapngan. Sehingga sebenarnya jumlah tanah wakaf yang tersebar diseluruh pelosok tanah air jumlahnya lebih besar lagi.
Selain wakaf tanah, wakaf tunai di Indonesia juga memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan. Menurut Ketua Lembaga Sertifikasi Profesi Badan Wakaf Indonesia (LSP BWI) Nurul Huda mengungkapkan, potensi wakaf uang di Indonesia mencapai Rp 180 triliun. Potensi ini bisa meningkat lebih besar lagi, karena didukung oleh semangat berwakaf yang tinggi.
Menurut publikasi Global Charities Aid Foundation pada tahun 2021, menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara paling dermawan di dunia, yakni menempati peringkat pertama berdasarkan World Giving Index 2021. Namun, besarnya potensi wakaf tersebut belum bisa dioptimalkan dengan baik. Menurutnya, wakaf tunai yang mampu dihimpun oleh Badan Wakaf Indonesia baru sekitar Rp 860 miliar.(https://www.republika.co.id/).
Aset wakaf di Indonesia, khususnya wakaf tanah, jika dikelola secara optimal diyakini mampu meningkatkan kesejahteraan umat, mengurangi angka kemiskinan, biasiswa pendidikan anak-anak bangsa, pembangunan sarana ibadah, pendidikan dan fasilitas umum, serta dapat menopang perkembangan ekonomi syari’ah yang sedang digalakkan dewasa ini.
Tetapi penan wakaf ini belum sesuai harapan. Ada banyak persoalan yang harus dibenahi secara mendasar berkaitan dengan manajemen wakaf. Beberapa tantangan yang menyebabkan peran wakaf belum optimal, antara lain adalah rendahnya literasi wakaf, sosialisasi regulasi wakaf yang kurang merata, data wakaf yang parsial, kapasitas nazhir yang rendah, sertifikasi wakaf yang masih rendah, belum maksimalnya pemanfaatan teknologi informasi wakaf, dan kelembagaan Badan Wakaf Indonesia yang antara ada tiada.
Peningkatan literasi dan sosialisasi
Secara sederhana, literasi dipahami sebagai kemampuan dalam membaca dan memahami. Dalam konteks ini adalah kemampuan membaca dan memahami literatur tentang wakaf, yaitu kitab-kitab fiqh wakaf, buku-buku perwakafan di Indonesia, dan peraturan perundang-undangan tentang wakaf.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh kerjasama Badan Wakaf Indonesia, Pusat Kajian Strategis BAZNAS & Direktorat Pemberdayaan Zakat dan Wakaf Kementerian Agama RI, Nilai Indeks Literasi Wakaf (ILW) pada tahun 2022, secara Nasional mendapatkan skor 50,48, masuk dalam kategori rendah, terdiri dari Nilai Literasi Pemahaman Wakaf Dasar sebesar 57,67 dan Nilai Literasi Pemahaman Wakaf Lanjutan sebesar 37,97.
Terdapat 4 Provinsi yang nilai ILW keseluruhannya berada pada kategori Menengah, yaitu Gorontalo (skor tertinggi sebesar 73,74), Papua (64,04), Bali (62,49) dan Sulawesi Tengah (62,28). Untuk ILW Pemahaman wakaf dasar terdapat 12 provinsi yang masuk dalam kategori menengah yakni 4 Propinsi sebelumnya ditambah Jawa Barat, DI Yogyakarta, Bengkulu, Nusa Tenggara Barat, Jawa Tengah, Sumatera Selatan, Kep. Riau dan Jawa Timur. Propinsi Riau mendapatkan skor ILW keseluruhan terendah diikuti Kalimantan Tengah dan DKI Jakarta.( https://www.bwi.go.id/).
Indeks Literasi Wakaf di Jawa Tengah tergolong menengah dan cenderung rendah. Oleh karena itu upaya meningkatkan pemahaman masyarakat tentang wakaf ini sangat penting dan harus terus dilakukan, guna membangkitkan semangat wakaf dari umat Islam, dan segaligus memahami cara-cara mengelola wakaf yang benar sesuai syari’ah dan undang-undang.
Sensus wakaf dan sertifikasi
Benda wakaf yang berupa tanah sampai hari ini datanya masih berserakan dimana-mana. Data wakaf sebagaimana yang terekam dalam Siatem Informasi Wakaf (Siwak), selain belum mampu mencakup keseluruhan data wakaf yang ada, juga perlu dilakukan verifikasi faktual di lapangan. Jumlah wakaf yang ada lebih besar.
Perlu kiranya dilakukan sensus wakaf secara nasional yang menyeluruh, meliputi data-data tentang luas, lokasi, peruntukan (mauquf ‘alaih), data wakif, nazhir dan sertifikasi. Di lapangan ada banyak fasilitas umum, seperti makam, masjid tua, lembaga pendidikan, dan lain-lain, yang “kelihatannya” wakaf, karena dimanfaatkan secara turun temurun, tetapi tidak jelas siapa wakif dan nazhirnya. Aset-aset ini juga harus didata dan diurus.
Dari data Siwak juga bisa dibaca bahwa tanah-tanah wakaf yang sudah bersertifikat masih kurang dari 50%. Maka sertifikasi Wakaf secara nasional juga perlu digerakkan, difasilitasi, dibiayai, dan disederhanakan prosedurnya. Banyak masjid, musholla, dan lembaga pendidikan/pesantren yang “nampak” seperti wakaf, mencari donasi pembangunan kemana-mana, tetapi ternyata milik pribadi (SHM). Hal inilah yang sering menimbulkan sengketa dan alih fungsi dibelakang hari nanti.
Sertifikasi Kompetensi Nazhir
Nazhir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari Wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya, agar wakaf semakin meningkat manfaatnya. Sekarang ini banyak nazhir yang tidak terdaftar di BWI dan tidak ada pembinaan dan evaluasi kinerja.
Untuk meningkatkan kompetensi nazhir, BWI telah membentuk Lemdiklat dan Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP), dan sudah mendapatkan izin dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) sejak Oktober 2021. LSP BWI berwenang memberikan sertifikasi kompetensi Nazhir setelah mengikuti pendidikan dan pelatihan, agar nazhir memiliki kemampuan yang standart dalam mengelola wakaf. Sertifikasi nazhir ini harus terus diprogramkan secara periodik untuk meningkatkan kinerja mengembangkan wakaf produktif.
Pemanfaatan teknologi informasi
Aset-aset wakaf harus dikelola dengan manajemen modern dan profesional. Kemajuan teknologi informasi harus dimanfaatkan untuk menunjang efektifitas dan produktifitas wakaf. Data-data wakaf, seperti jumlah tanah wakaf, nama wakifnya, luasnya, peruntukannya, dokumen sertifikatnya, alamatnya, nama nazhirnya, pelaporannya, dan sebagainya, bisa masuk dalam satu sistem, yang mudah diakses oleh siapapun secara online.
Jika ada orang yang mau berwakaf juga tinggal mengisi form yang disediakan dalam sistem, sehingga bisa diunduh kapan saja. Proses sertifikasi tanah wakaf juga gratis dan dengan prosedur yang sederhana. Sudah ada Siwak, tetapi perlu ditangani secara serius dan di update dari waktu ke waktu secara dinamis. Jika perlu tiap propinsi memiliki sistem terpadu dengan sistem wakaf nasional.
Penguatan kelembagaan BWI
Badan Wakaf Indonesia merupakan lembaga independen yang dibentuk dalam rangka memajukan dan mengembangkan per-wakafan nasional (Pasal 47 UU-41/2004 tentang Wakaf). Badan Wakaf Indonesia sebagaimana disebutkan dalam Pasal 49, mempunyai tugas dan wewenang: a) melakukan pembinaan terhadap Nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf; b) melakukan pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf berskala nasional dan internasional; c) memberikan persetujuan dan/atau izin atas perubahan peruntukan dan status harta benda wakaf; d) memberhentikan dan mengganti Nazhir; e) memberikan persetujuan atas penukaran harta benda wakaf; dan f) memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam penyusunan kebijakan di bidang perwakafan.
Meskipun BWI merupakan lembaga independen, bukan struktural dalam pemerintahan, tetapi memiliki kedudukan yang sangat kuat, yaitu dibentuk berdasarkan dan diberikan tugas dan kewenangan oleh undang-undang wakaf. Hal ini berbeda dengan kedudukan ormas-ormas keagamaan yang lain, yang dibentuk oleh sekumpulan orang yang memiliki visi misi dan tujan yang sama, dan tidak diatur secara khusus dalam satu undang-undang.
Kedudukan kelembagaan BWI yang kuat ini ternyata belum mampu menunjukkan kinerja yang membanggakan.
Tugas dan kewenangan mulia yang diamanahkan oleh undang-undang untuk mengurus wakaf itu belum bisa berjalan secara maksimal. Penyebanya antara lain adalah, BWI tidak mendapatkan sumber dana yang tetap dari pemerintah, tidak memiliki kantor yang jelas, dan sebagian besar pengurusnya masih ex offio (merangkap) dengan tugas-tugas kedinasan yang lain. Kedepan kelembagaan BWI harus diperkuat, agar wakaf bisa lebih bermanfaat. Tambakaji, Ngaliyan . 14 Dzulqaidah 1443H/14 Juni 2022M
DR. H. Nur Khoirin YD, MAg, Ketua Devisi Penelitian dan Pengembangan BWI Jawa Tengah, Ketua BP4 Propinsi Jawa Tengah/Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Walisongo/Advokat Syari’ah/Mediator/Arbiter Basyarnas/Anggota Komisi Hukum dan HAM MUI Jawa Tengah, Tinggal di Tambakaji H-40 Ngaliyan Kota Semarang, Telp. 08122843498. Jatengdaily.com-st