in ,

Pro Kontra Pembelajaran Online di Jawa Tengah

Oleh : Tri Karjono
Statistisi Ahli Madya BPS Prov. Jateng

TAK pernah terbayangkan dalam benak kita semua sebelumnya pembelajaran sekolah akan ditempuh dengan tanpa dilakukan dengan tatap muka. Bahkan ketika media sosial telah merebak sekalipun, pembalajaran sekolah yang selama kita ketahui dan alami yang namanya sekolah ya harus ada tempat atau ruang untuk murid dan guru berinteraksi langsung. Pandemi COVID-19 merubah segalanya. Penyebaran vcirus corona yang begitu masif menjangkiti masyarakat seluruh pelosok penjuru dunia. Proses penularan yang terjadi akibat interaksi antar manusia menyebabkan ketakutan dan pembatasan orang untuk berinteraksi secara langsung. Demikian halnya terhadap proses belajar mengajar di sekolah yang selama ini dilakukan dengan moda tatap muka.

Alhasil proses membelajaran sistem online menjadi solusinya. Syukurnya teknologi telah mendukung dilakukan moda pembelajaran baru ini. Bahkan tak perlu lama untuk bisa menyesuaikan karena memang telah didukung oleh teknologi yang telah memadai. Sistem telah ada dan jaringan internetpun untuk menyampaikan sistem dari guru ke murid telah siap. Bagaimana jika kasus ini terjadi sepuluh, dua puluh atau tiga puluh tahun yang lalu ketika penulis masih menjalani proses belajar di sekolah. Tak bisa dibayangkan, mungkin sekolah akan dihentikan sama sekali hingga wabah benar-benar mereda.

Sistem pembelajaran online yang dilakukan semenjak wabah ini dimulai, untuk sebagian besar masyarakat hingga saat ini belum ada titik terang kapan akan kembali ke format semula. Di sebagian kecil wilayah telah dilakukan ujicoba secara terbatas kembali kepada sistem awal. Pemerintah melalui Kemendikbud mengumumkan secara resmi, bahwa satuan pendidikan yang berada di zona kuning diperbolehkan melakukan pembelajaran tatap muka di tengah pandemi virus korona (8/8/2020). Tetapi tidak jarang hasil ujicoba tersebut menghadirkan klaster baru bagi penularan virus corona atau Covid-19 ini.

Data Laporcovid19.org menunjukkan, kasus penularan di sekolah terus bertambah. Hingga 20 Agustus 2020 saja telah terdapat kasus penularan di 25 sekolah di beberapa daerah Indonesia, yang melibatkan siswa, guru, ataupun orangtua murid. Semakin menambah jumlah kasus penularan Covid-19 yang justru mengalami peningkatan yang sangat signifikan dibanding sebelumnya akibat pelonggaran terhadap aktivitas masyarakat yang diberlakukan sejak awal Juni 2020 yang lalu.

Perlu diketahui bahwa hasil penelitian Massachusetts General Hospital (MGH) dan Mass General Hospital for Children (MGHfC) ini dipublikasikan di Journal of Pediatrics dan dirilis pada Kamis (20/8/2020), anak-anak yang positif COVID-19, sekalipun tanpa gejala, memiliki tingkat virus jauh lebih tinggi di saluran pernapasan mereka dibandingkan dengan orang dewasa. Ini menyebabkan anak-anak bisa lebih menularkan virus korona baru ini yang tersamarkan oleh kasus flu dan batuk yang sepertinya biasa bagi mereka.

Ini yang menjadi salah satu pertimbangan yang hingga saat ini untuk sebagain besar wilayah belum diizinkan untuk membuka kembali kran pembelajaran tatap muka. Dari sisi kesehatan pembelajaran online sangat menjanjikan dalam hal kemampuan membatasi tingkat penularan COVID-19, namun belum tentu demikian halnya pada sisi yang lain.

Belum lama viral seorang ibu yang seolah-olah menyalahkan pemerintah dengan adanya pembelajaran online ini. Ini sangat bisa dimaklumi karena konsekuensi ekonomi, kemampuan teknologi dan waktunya yang terbatas, sehingga memberi beban tersendiri bagi seorang ibu yang harus mendampingi anaknya.

Ada pula salah seorang kerabat jauh penulis yang kebetulan memiliki kondisi ekonomi yang belum beruntung, padahal dia harus menanggung beberapa anaknya yang masih sekolah yang sebenarnya dari sisi prestasi diatas rata-rata. Eman-eman kalau sampai tidak mampu melanjutkan sekolah yang harapannya kelak mampu meningkatkan derajat orang tuanya. Sementara sarana belajar online bagi anaknya yaitu laptop tidak dimiliki. Mencari pinjaman untuk membeli laptop anaknya yang entah kapan akan mampu untuk mengembalikan menjadi satu-satunya jalan keluar.

Pandangan Masyarakat Jawa Tengah
Itulah sebagian kecil permasalahan masyarakat yang muncul menyikapi kebijakan pembelajaran online yang berlangsung saat ini. Hal yang tidak jauh berbeda juga dirasakan oleh masyarakat Jawa Tengah terkait pembelajaran online ini.

Salah satu tujuan anak bersekolah adalah adanya pendampingan oleh guru terhadap anak. Di samping orang tua tidak mempunyai kemampuan yang cukup untuk mengajar, penguasaan materi dan struktur yang tepat adalah kurang cukupnya waktu untuk mendampingi dan mengawasi anaknya. Alhasil ketika anaknya harus belajar di rumah maka kewajiban untuk mendampingi dan mengawasi kembali ke peran orang tua. Hasil survei BPS Provinsi Jawa Tengah menyatakan bahwa kemampuan orang tua dalam mendampingi anaknya selama belajar online hanya kurang dari 3 jam. Selebihnya waktu yang semula menjadi tanggungjawab sekolah akhirnya diserahkan kepada si anak.

Pada sisi tenaga pendidik ternyata juga belum semua siap dengan sistem pembelajaran online ini. Terbukti baru 53,8 persen masyarakat yang menyatakan bahwa guru dalam mengajar telah menggunakan aplikasi khusus, sedangkan 38,3 persen belum menggunakan aplikasi khusus. Pada sisi anak didik sepertinya juga masih ditemukan ketidaksiapan. Terbukti sebanyak 25,6 persen masyarakat menganggap bahwa tugas-tugas yang diberikan guru selama proses belajar online terasa berat bagi si anak dan hanya 5,7 persen yang merasa ringan. Ini diakibatkan oleh masih ada 25,2 persen anak yang tidak mampu mengikuti atau kesulitan memahami materi pelajaran yang diberikan guru.

Beberapa kendala juga dihadapi oleh orang tua baik akibat kondisi ekonomi maupun non ekonomi. Dari sisi alasan ekonomi, kendala utama yang dialami masyarakat adalah biaya pembelian paket data. Sebanyak 56,4 persen masyarakat mengeluhkan tambahan pengeluaran untuk pembelian paket data ini. Kendala tidak mempunyai laptop seperti kasus diatas dialami oleh 6 persen masyarakat. Sementara kendala di luar alasan ekonomi di antaranya adalah sinyal internet yang tidak bagus dialami oleh 24,4 persen masyarakat dan ternyata masih ada 2,6 persen masyarakat Jawa Tengah yang belum familiar dengan internet.

Beberapa kondisi di atas sampai pada kesimpulan bahwa sistem belajar online menurut sebagian besar masyarakat di Jawa Tengah kurang atau tidak efektif. Ini disampaikan oleh 48,0 persen masyarakat yang menyatakan sistem belajar online di Jawa Tengah kurang efektif dan 10,5 persen menyatakan tidak efektif serta hanya 7,7 persen yang menyatakan sangat efektif.

Melihat kenyataan di atas maka seyogyanya kebijakan pebelajaran online segera untuk dapat ditinjau ulang. Jikapun diberlakukan tatap muka, pihak sekolah wajib hukumnya untuk dapat memastikan bahwa protokol kesehatan dilakukan oleh guru dan siswa dengan benar. Sarana pendukung dan aturan pemberlakuan kewajiban atas protokol kesehatanpun harus ada dan ketat. Syarat lain di antaranya adalah kapasitas maksimal kelas yang harus dipenuhi untuk memastikan bahwa ada jarak antar siswa. Oleh karenanya perlu dilakukan inventarisasi terhadap anak didik yang tidak mempunyai sarana pembelajaran online, ketidakmampuan anak didik untuk mengikuti sistem online, kondisi sinyal di wilayah anak didik tinggal serta kerelaan orang tua untuk anaknya diberikan pembelajaran tatap muka.

Dengan tidak seimbangnya antara ruang yang tersedia dan jumlah siswa dengan adanya pembatasan kapasitas kelas, maka dengan telah adanya hasil inventarisasi kondisi murid diatas dapat dilakukan sistem pembelajaran kombinasi, yaitu pada saat yang bersamaan sebagian siswa dengan kondisi tertentu mengikuti pembelajaran dengan tatap muka dan dengan kondisi tertentu yang lain dengan sistem online. Jatengdaily.com-yds

Written by Jatengdaily.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

GIPHY App Key not set. Please check settings

Loyola Sekatu Demak Gelar Turnamen Agustusan

PSIS Kontrak Eks Striker Bhayangkara FC Tiga Musim