Oleh : Nur Khoirin YD
DALAM suatu forum halal bihalal yang hidmat dan penuh dengan suasana kekeluargaan tiba-tiba terjadi insiden kecil ketika tiba sesi saling berjabat tangan. Ketua panitia mengumumkan agar kaum perempuan membuat lingkaran terpisah dengan kaum laki-laki.
Intinya, tidak boleh berjabat tangan lawan jenis yang bukan muhrim karena haram hukumnya. Ketua panitia bahkan sempat menyitir sebuah Hadits bahwa “Menusuk kepala dengan besi, itu jauh lebih baik bagi seorang muslim dari pada bersentuhan dengan wanita yang tidak halal baginya”.
Banyak yang protes dengan aturan baru ini. Mereka beralasan, bahwa diantara kita sudah saling kenal seperti saudara, sudah biasa saling berjabat tangan dalam berbagai kesempatan, lalu apa yang dikhawatirkan?. Bahkan ada protes lebih keras lagi, “zaman sekarang kok menganggap sekedar berjabat tangan bisa menimbulkan fitnah. Fitnah yang seperti apa?”. Meskipun protes itu akhirnya reda tidak sampai menimbulkan kericuhan, tetapi banyak yang ngedumel dan tidak puas.
Permasalahannya adalah, bagaimanakah hukum bersalaman lawan jenis yang bukan muhrim, tidak hanya dalam momen halal bi halal, tetapi juga dalam pergaulan secara umum?. Dalam tulisan kecil ini akan dikemukakan berbagai pendapat ulama agar menjadi tambahan pengetahuan dan pengertian bersama.
Menurut ulama Madzhab
Empat imam madzhab, Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hambali, sepakat bahwa bersentuhan dengan perempuan non mahram secara umum adalah haram. Dihukumi boleh ketika ada alasan-alasan khusus (https://muslim.or.id/). Penulis kitab Ad-Dur Mukhtar dari madzhab Hanafi mengatakan: “Tidak diperbolehkan menyentuh wajah atau telapak tangan wanita walaupun ia merasa aman dari syahwat”.
Ibnul Arabi, yang merupakan ulama madzhab Maliki, menjelaskan Rasulullah saw tidak bersalaman langsung dengan wanita-wanita yang baiat masuk Islam. ‘Aisyah ra meriwayatkan di dalam Shahih Bukhari-Muslim: “Tangan Rasulullah saw tidaklah menyentuh tangan perempuan ketika membaiat. Nabi saw bersabda “(Ketika membaiat) Aku tidak berjabat tangan dengan wanita, namun aku membaiatnya dengan ucapanku kepada seratus orang wanita sebagaimana baiatku kepada satu orang wanita”.
Ada riwayat lain, Nabi saw berjabat tangan dengan wanita menggunakan bajunya. Sahabat Umar ra juga melakukan hal yang sama ketika membaiat para wanita juga berjabat tangan dengan bajunya.
Imam Nawawi dari madzhab Syafi’i berkata dalam kitabnya Al-Majmu’: “diharamkan untuk memandang dan menyentuh wanita, jika wanita tersebut telah dewasa. Karena sesungguhnya seseorang dihalalkan untuk memandang wanita yang bukan mahramnya jika ia berniat untuk menikahinya atau dalam keadaan jual beli atau ketika ingin mengambil atau memberi sesuatu ataupun semisal dengannya.
Namun tidak boleh untuk menyentuh wanita walaupun dalam keadaan demikian”. Hal senada juga disebutkan dalam Syarah Shahih Muslim: “Cara membaiat wanita adalah dengan perkataan, dan hal ini juga menunjukkan, mendengar ucapan atau suara wanita yang bukan mahram adalah diperbolehkan jika ada kebutuhan, karena suara bukanlah aurat. Dan tidak boleh menyentuh secara langsung wanita yang bukan mahram jika tidak termasuk hal yang darurat, semisal seorang dokter yang menyentuh pasiennya untuk memeriksa penyakit”.
Ibnu Taimiyyah dari madzhab Hanbali menjelaskan Majmu Fatawa, “Haram hukumnya memandang wanita dan amrod (anak berusia baligh tampan yang tidak tumbuh jenggotnya) diiringi dengan syahwat. Barang siapa yang membolehkannya, maka ia telah menyelisihi Ijma (kesepakatan) kaum muslimin. Ia menegaskan, bahwa segala hal yang dapat menimbulkan syahwat, maka hukumnya adalah haram.
Baik itu syahwat yang timbul karena kenikmatan memandang atau karena hubungan badan. Dan menyentuh dihukumi sebagaimana memandang sesuatu yang haram.” Ibnu Muflih dalam Al-Furu’ mengatakan: “Diperbolehkan berjabat tangan antara wanita dengan wanita, laki-laki dengan laki-laki, laki-laki tua dengan wanita terhormat yang umurnya tidak muda lagi, karena jika masih muda diharamkan untuk menyentuhnya”.
Menurut ulama kontemporer
Menurut Yusuf Qardhawi, berjabat tangan dengan non muhrim dalam Fiqh Aulawiyat, ada dua toleransi (https://www.republika.co.id/). Pertama, hukumnya haram bersalaman dengan non muhrim apabila disertai dengan syahwat dan taladzdzudz (menikmati hal tersebut) dari salah satu pihak, baik pihak laki-laki maupun wanita. Atau dikhawatirkan akan terjadinya fitnah dibelakang hari, seperti berlanjut dengan hubungan haram.
Alasannya adalah bahwa menutup jalan menuju kerusakan itu adalah wajib (syaddu adzari’ah). Lebih-lebih jika telah tampak tanda-tandanya dan terbukti dampak buruknya. Hal ini bisa dianalogkan dengan hukum bersalaman dengan anak perempuan tiri atau saudara sepersusuan, yang hukum asalnya boleh (mubah), tetapi berubah menjadi haram jika disertai dengan perasaan syahwat.
Kedua, dibolehkan berjabat tangan dengan wanita tua yang sudah tidak punya gairah terhadap laki-laki dan anak-anak kecil yang belum mempunyai syahwat terhadap laki-laki. Begitu pula bila si laki-laki sudah tua dan tidak punya gairah terhadap wanita. Hal ini didasarkan pada riwayat, bahwa Abu Bakar ra pernah berjabat tangan dengan beberapa orang wanita tua.
Sahabat Abdullah bin Zubair juga mengambil pembantu wanita tua untuk merawatnya. Wanita itu mengusap dan membersihkan kepalanya dari kutu.
Dalil lain adalah QS. An Nur : 60, “Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.
Ayat ini juga berlaku bagi laki-laki yang tidak memiliki gairah terhadap wanita dan anak-anak kecil yang belum muncul hasrat seksualnya. Mereka dikecualikan dari larangan terhadap wanita-wanita mukminah dalam hal menampakkan perhiasannya.
Dalil yang lain adalah, bahwa masalah Nabi saw tidak berjabat tangan dengan kaum wanita pada waktu baiat masuk Islam itu belum disepakati. Ada riwayat dari Ummu Athiyah al-Anshariyah ra, bahwa Nabi saw pernah berjabat tangan dengan wanita pada waktu baiat. Meskipun riwayat dibantah oleh Aisyah ra yang mengatakan sebaliknya, Nabi tidak pernah berjabat tangan dengan wanita lain.
Bagaimana Sikap kita?
Interaksi laki-laki dan perempuan dalam berbagai hubungan kerja dan pergaulan dimasyarakat sekarang ini sudah menjadi hal yang biasa dan juga tidak menimbulkan fitnah. Sulit rasanya membuat garis pemisah antara laki-laki dan perempuan, kecuali di kamar mandi umum dan di masjid. Misalnya, dikantor harus ada ruangan khusus laki-laki dan perempuan, di kendaraan umum, di pasar-pasar, di sekolah dan kampus, di warung atau restoran, dan di tempat-tempat umum lainnya.
Lalu bagaimana kita sebagai seorang muslim mensikapi larangan bersalaman atau bersentuhan dengan lawan jenis?. Mengacu pendapatnya Yusuf Qardhawi di atas, beliau memberi saran yang bisa kita terapkan dalam pergaulan sehari-hari.
Pertama, berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan hanya diperbolehkan apabila tidak disertai dengan syahwat serta aman dari fitnah. Apabila disertai syahwat dan taladzdzudz dari salah satunya atau bahkan keduanya. Meskipun salaman dengan mahramnya, seperti bibinya, saudara sesusuan, anak tirinya, ibu tirinya, mertuanya, atau lainnya, maka berjabat tangan pada kondisi seperti itu adalah haram.
Kedua, hendaklah berjabat tangan itu sebatas dengan kerabat atau semenda untuk mempererat hubungan kekeluargaan. Sedangkan dengan lawan jenis yang bukan mahram hendaknya dihindari, kecuali terpaksa. Cukuplah dengan menganggukan kepala penuh hormat dan persahabatan yang tulus. Hal ini lebih baik, karena menghindari syubhat.
DR. H. Nur Khoirin YD, MAg, Ketua BP4 Propinsi Jawa Tengah/Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Walisongo/Advokat Syari’ah/Mediator/Arbiter Basyarnas, Tinggal di Tambakaji H-40 Ngaliyan Kota Semarang, Telp. 08122843498. Jatengdaily.com-st