Harga Kedelai Meroket, Swasembada Kedelai Menjadi Harapan

Oleh: Ratna Selfiana
Statistisi Mahir pada Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Pekalongan
PERAJIN tahu dan tempe di Pulau Jawa, termasuk perajin di Jawa Tengah pada bulan Februari kemarin melakukan aksi mogok produksi selama 3 hari. Aksi mogok produksi ini merupakan upaya terakhir dari para pengrajin untuk melakukan protes terhadap kebijakan pemerintah akan mahalnya harga kedelai.
Harga jual tempe hingga kini memang belum naik, tapi dari sisi ukuran barangnya berkurang dari sebelumnya. Jika sebelumnya dengan uang sebesar Rp 3.000 bisa mendapatkan tempe berukuran panjang 20 centimeter, maka saat ini panjangnya dikurangi. Demikan halnya untuk tahu, sebelumnya dengan harga Rp 3.500 bisa mendapatkan lima potong tahu berukuran 6×8 cm, kini mendapatkan jumlah yang sama namun ukurannya lebih kecil dari sebelumnya. Jika harga jual kedelai kembali naik, maka terpaksa harga jualnya akan dinaikkan, karena mengurangi ukuran terus menerus tentu bisa berdampak pada minat pembeli.
Berdasarkan data yang dilaporkan Kementerian Perdagangan, harga kedelai pada minggu pertama Februari 2022, mencapai USD 15,77 per bushel atau berkisar di 11.240 per kg. Naiknya harga kedelai disebabkan karena suplai impor di pasar internasional terbatas akibat dari ketidakpastian cuaca dan inflasi bahan makanan di Amerika Serikat sebagai salah satu eksportir utama kedelai dunia. Sedangkan 80 persen kebutuhan kedelai nasional, diimpor dari pasar internasional.
Pemerintah perlu memberikan insentif atau subsidi harga impor kedelai untuk sementara waktu sampai harga kembali normal. Namun solusi ini perlu mempertimbangkan dengan kondisi Fiskal Pemerintah. Untuk solusi jangka panjangnya, konsistensi pemerintah dalam mewujudkan swasembada harus ada. Roadmap swasembada pangan Indonesia, termasuk kedelai, sudah ada tinggal dievaluasi dan diperbaiki. Selama ini pemerintah fokus dan melihat roadmap tersebut jika ada masalah. Ketika masalah selesai dengan sendirinya maka pemerintah seolah lupa.
Terkait peningkatan produksi kedelai, produksi kedelai lokal harus didorong dengan mengoptimalkan lahan-lahan yang tidak digunakan atau lahan marjinal yang jumlahnya sangat banyak. Hal ini juga perlu didukung dengan penggunaan bibit unggul dan mekanisasi pertanian agar produktivitas dapat ditingkatkan.
Kementerian Pertanian (Kementan) sendiri terus berupaya menjamin ketersediaan kedelai pada 2022, namun utamanya untuk mencukupi kebutuhan konsumsi rumah tangga bukan untuk mencukupi kebutuhan industri. Adapun upaya pemenuhan kedelai untuk kebutuhan konsumsi rumah tangga dilakukan Kementan melalui fasilitasi pengembangan 52.000 hektar (ha) lahan pertanian yang tersebar di 16 daerah. Salah satu daerah itu adalah di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah (Jateng). Tapi kenyataannya dilihat dari data BPS, luas panen kedelai di Jawa tengah selama tahun 2021 hanya mencapai 28.431 hektar, turun 25,07 persen dari tahun 2020.
Provinsi Jawa Tengah pernah digadang gadang merupakan salah satu sentra produksi kedelai yang mempunyai potensi besar sebagai pendukung tercapainya swasembada kedelai pada tahun 2014. Sebagai sentral produksi kedelai kedua di Indonesia pada saat itu, kontribusi Jawa Tengah terhadap produksi nasional mencapai 18 persen.
Menurunnya luas panen kedelai di Jawa Tengah diantaranya disebabkan karena komoditas kedelai tergolong berisiko tinggi terhadap gangguan hama dan penyakit, sehingga memerlukan perhatian khusus dan biaya relatif tinggi sedangkan harga kedelai relatif murah, sehingga petani menilai menanam kedelai kurang menguntungkan dibanding jagung dan kacang tanah. Selain itu penyebab kurang berminatnya petani untuk menanam kedelai karena harga kedelai impor lebih murah dibanding kedelai produksi dalam negeri.
Agar kedelai dapat berkembang, upaya peningkatan produksi kedelai harus dilakukan dengan melibatkan instansi pemerintah, gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) dan pihak swasta terkait secara terpadu. Hal ini berhubungan dengan bagaimana menggerakkan masyarakat agar mau bertanam kedelai. Instansi terkait harus dapat membina dan mendayagunakan sumber daya manusia (SDM), sumberdaya alam (SDA), kelembagaan dan permodalan yang ada agar program pengembangan kedelai dapat berjalan.
Pertanian kedelai tergolong memerlukan tenaga relatif banyak mulai dari budidayanya hingga panen dan prosesing hasil. Untuk itu diperlukan alat panen dan prosesing yang dapat menekan biaya produksi. Di samping itu juga diperlukan patokan harga yang memadai agar usaha pertanian kedelai dapat menarik para petani. Agar luas areal tanam kedelai dapat berkembang pesat, diperlukan kemitraan usaha bersama (KUB) yang dapat menjamin kelancaran usaha pertanian kedelai.
Meraih swasembada kedelai merupakan pilihan strategis, karena impor dalam jumlah yang sangat besar akan mengganggu stabilitas sosial, ekonomi maupun politik negara. Apabila kedelai yang diperlukan dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri, maka devisa yang ada dapat dipergunakan untuk tujuan lain yang lebih bermanfaat. Jatengdaily.com-st