JAKARTA (Jatengdaily.com) – Peringatan Hari Ibu momentum para perempuan dan pemangku kepentingan untuk memperjuangkan penuntasan sejumlah kebijakan perlindungan perempuan yang belum sepenuhnya hadir di negeri ini.
“Masih banyak pekerjaan rumah yang harus dituntaskan oleh para pemangku kepentingan. Sejumlah RUU seperti RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga dan RUU Masyarakat Hukum Adat, yang belum juga jadi undang-undang sehingga menyebabkan para perempuan di Indonesia belum sepenuhnya terlindungi dalam kesehariannya,” kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat saat wawancara di Metro Pagi Prime Time, Kamis (22/12), dalam rangka memperingati Hari Ibu.
Menurut Lestari, Hari Ibu di Indonesia bukan seperti Mothers Day yang dirayakan di dunia.
Peringatan Hari Ibu dilatarbelakangi berdasarkan peristiwa diselenggarakannya Kongres Perempuan Indonesia I pada 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta.
Peristiwa itu dimaknai sebagai tonggak sejarah kebangkitan perempuan Indonesia dalam ikut memperjuangkan pemberdayaan dan kesetaraan perempuan di tanah air.
Karena pada Kongres Perempuan Indonesia I lahir organisasi perempuan yang kuat bernama Perikatan Perkoempoelan Perempoean Indonesia (PPPI), yang menyepakati upaya untuk kemajuan perempuan di masa itu, yaitu dengan
tuntutan penambahan sekolah rendah untuk anak perempuan Indonesia, perbaikan aturan dalam hal taklik nikah dan perbaikan aturan tentang sokongan untuk janda dan anak yatim pegawai negeri.
Sehingga, ujar Rerie sapaan akrab Lestari, peringatan Hari Ibu setiap 22 Desember itu harus dijadikan momentum bagi para perempuan Indonesia untuk bangkit dari apa yang selama ini masih menjadi kendala dalam keseharian mereka.
Penuntasan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) dan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat (RUU MHA) misalnya, ujar Rerie yang juga anggota Komisi X DPR RI dari Dapil II Jawa Tengah itu, harus menjadi kepedulian bersama dan harus terus diupayakan.
Karena, ujarnya, di sektor pekerja rumah tangga dan masyarakat adat keterlibatan perempuan sangat dominan. Selain itu, tambah Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu, semangat Hari Ibu juga harus menjadi pendorong para perempuan agar mampu terlibat langsung dalam proses pembuatan kebijakan dalam proses pembangunan.
Terus meningkatkan kapasitas diri, tambah Rerie, merupakan salah satu upaya agar perempuan mampu melibatkan diri dalam setiap proses kebijakan publik.
Di sisi lain, ujarnya, konsistensi para pemangku kepentingan dalam proses pemberdayaan perempuan harus terus ditingkatkan. Diakui Rerie meski keanggotaan perempuan di parlemen terus meningkat, namun belum mencapai 30%, seperti yang tercantum dalam undang-undang.
Sehingga perempuan di Indonesia, tegas Rerie, masih harus terus berjuang untuk mendobrak berbagai penghalang, baik dari sisi politik, sosial, ekonomi, budaya dan keluarga, agar mampu mewujudkan cita-citanya. st