in ,

Hari Perempuan Internasional; Saatnya Mengakhiri Prasangka

Oleh: Santi Widyastuti
Statistisi di BPS Kota Salatiga

BREAK the bias atau akhiri prasangka merupakan tema dari hari perempuan internasional tahun 2022 yang diperingati tiap tanggal 8 Maret. Menurut KBBI, prasangka merupakan pendapat (anggapan) yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui atau menyaksikan sendiri (https://kbbi.web.id/).

Tidak berlebihan rasanya jika hari perempuan internasional tahun ini mengambil tema tersebut. Hal tersebut disebabkan karena di seluruh dunia termasuk Indonesia, perempuan sering kali mendapatkan prasangka negatif baik dari segi pendidikan, politik, budaya dan ekonomi.

Kenyataanya perempuan memiliki kualitas yang mumpuni sehingga jika diberikan kesempatan maka perempuan mampu untuk berkarya di berbagai bidang tersebut. Oleh karena itu organisasi untuk kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan di PBB (un women) mengambil tema “Kesetaraan Gender Hari Ini Untuk Masa Depan yang Berkelanjutan (gender equality today for a sustainable tomorrow)”.

Masa depan dan pembangunan yang berkelanjutan merupakan sebuah aksi global yang disepakati oleh pemimpin dunia termasuk indonesia. Untuk mencapai hal tersebut maka mereka merumuskan 17 tujuan yang harus dicapai demi mencapai pembangunan berkelanjutan. Berbagai tujuan tersebut di rumuskan dalam Sustainable Development Goals (SDG’s).

Dalam mencapai tujuan kesetaraan Gender dan pemberdayaan perempuan serta anak perempuan ada enam target yang harus dipenuhi. Di antaranya mengakhiri segala diskriminasi terhadap perempuan, mengeliminasi segala bentuk kekerasan terhadap perempuan, menghapus segala praktek yang membahayakan pada perempuan, menyadari dan menghargai pelayanan dan kerja domestik yang tidak dibayar, memastikan perempuan dapat berpartisipasi penuh dalam pengambilan keputusan, serta memastikan adanya akses universal terhadap kesehatan seksual dan reproduksi.

Prasangka dan Realita
Sudah menjadi rahasia umum bahwa perempuan seringkali mendapatkan prasangka negatif. Hal tersebut diperparah dengan faktor budaya terutama di Jawa yang menempatkan perempuan hanya sebagai “konco wingking”. Bahwa perempuan hanyalah sebagai teman yang posisinya di belakang. Untuk kasus tertentu memang perempuan harus bisa menempatkan diri, tetapi dalam kehidupan ekonomi, politik, pendidikan mestinya perempuan bisa sejajar dengan laki-laki.

Menurut data terbaru dalam publikasi Kota Salatiga Dalam Angka 2022, jumlah penduduk perempuan yang produktif dalam rentang usia 20-59 tahun pada tahun 2021 sebanyak 56.781 penduduk. Jumlah tersebut lebih banyak jika dibandingkan jumlah penduduk laki-laki yang produktif sebesar 55.480 penduduk.

Sektor formal cenderung mampu menyerap penduduk usia produktif khususnya perempuan. Contohnya saja jumlah pegawai negeri sipil (PNS) di Kota Salatiga. Jumlah PNS perempuan sebesar 1.867 pegawai pada tahun 2021 lebih tinggi dibandingkan PNS laki-laki sebesar 1.451 pegawai. Hanya saja jika dilihat menurut jabatannya sebagian besar PNS perempuan menduduki jabatan fungsional. Pada jabatan struktural, proporsi PNS laki-laki lebih besar dari perempuan.

Proporsi PNS yang memiliki pendidikan antara DIII-tingkat sarjana lebih banyak perempuan dibandingkan laki-laki. Hal tersebut menunjukkan bahwa perempuan memiliki potensi dan kemampuan untuk masuk sebagai PNS, tetapi peluang untuk menempati jabatan struktural masih rendah. Padahal kita tahu bahwa pengambilan keputusan ada pada level struktural.

Berbeda dengan sektor formal, dalam pasar tenaga kerja secara umum proporsi laki-laki yang bekerja lebih tinggi dari perempuan. Proporsi laki-laki umur 15 tahun keatas yang bekerja lebih tinggi dibandingkan perempuan. Sebanyak 71,34 persen laki-laki umur 15 tahun ke atas merupakan pekerja, sementara itu hanya 64,14 perempuan umur 15 tahun ke atas yang bekerja. Dari poporsi perempuan yang bekerja pun 17,55 persen adalah pekerja keluarga/tidak dibayar.

Fakta menarik lainnya adalah 23,48 persen perempuan umur 15 tahun ke atas mengambil peran dalam mengurus rumah tangga, sementara hanya 6,36 persen laki-laki umur 15 tahun ke atas yang mengambil peran untuk mengurus rumah tangga. Hal tersebut mungkin bukan hal yang mengherankan, apalagi terkait budaya yang menempatkan bahwa perempuan adalah “konco wingking” yang tugasnya hanyalah mengurus rumah tangga.

Peran Kita
Tidak ada yang salah dengan mengurus rumah tangga, bahkan hal tersebut adalah pekerjaan yang mulia. Akan tetapi seluruh pihak harus memastikan bahwa perempuan mengurus rumah tangga atas kesadaran dan keinginan pribadi, bukan karena paksaan atau karena tidak memiliki kesempatan untuk mendapatkan pendidikan maupun pekerjaan.

Menjadi produktif tidak harus dilakukan dengan keluar dari rumah. Membangun bisnis dari rumah yang dikerjakan dengan serius juga akan menghasilkan nilai tambah. Apalagi di zaman serba internet, belajar maupun bekerja bisa dikerjakan oleh siapa saja, kapan saja dan dimana saja.

Pemberdayaan perempuan adalah sesuatu yang sangat penting, karena perempuan merupakan modal besar dalam pembangunan baik dari sisi jumlah maupun kemampuan. Oleh karena itu perlu peran semua pihak untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi perempuan untuk memiliki pendidikan dan karya demi pembangunan masa depan yang berkelanjutan. Jatengdaily.com-yds

Written by Jatengdaily.com

Bupati Demak Minta PUDAM Tingkatkan Kualitas Layanan, Baru Naikkan Tarif

Solo PPKM Level 4