Skip to main content Scroll Top

Harta Milik Badan Hukum, Apakah Wajib Zakat?

Oleh : Nur Khoirin YD

MENJELANG akhir Ramadan seperti ini, banyak umat Islam yang mengeluarkan zakat malnya setelah mencapai haul dan nishab, untuk menunaikan rukun Islam yang ke tiga. Ada banyak pertanyaan dari masyarakat, baik yang menyangkut hukumnya, cara perhitungannya, dan pengelolaannya.

Salah satu permasalahan yang mengemuka adalah, bahwa yang memiliki harta itu ternyata tidak hanya individu (persoon). Korporasi atau badan hukum (recht persoon) seperti PT, CV, perusahaan, Koperasi Syari’ah, Bank Syari’ah, atau nama-nama yang lain, justru memiliki aset dan keuntungan yang lebih besar dari pada individu. Pertanyaanya, apakah harta milik korporasi atau badan hukum wajib juga dikeluarkan zakatnya? Bagaimana cara menghitungnya dan berapa prosen yang harus dikeluarkan?

Sebenarnya kalau mau membaca, sudah banyak pembahasan tentang hal ini. Tetapi untuk menyegarkan ingatan kembali dan sekedar berbagi pemikiran (sharing idea), maka tulisan singkat ini akan saya sampaikan pembahasan ulang tentang zakat harta milik badan hukum dalam perspektif fiqh dan Undang-undang Zakat, sebagai berikut :

Persepektif Fiqh.
Dalam pandangan fiqh, perintah menunaikan zakat ditujukan kepada orang-orang mukmin yang memiliki harta cukup. Orang yang dimaksud adalah orang dalam arti yang sebenarnya (syakhshiyyah thabi’iyyah), yaitu orang yang sudah mencapai umur dan sudah sempurna akalnya atau mukallaf.

Dalam lapangan ibadah, al akhwal asy syakhsyiyyah (hukum keluarga), dan jinayat (hukum pidana), seseorang dianggap telah mukallaf, yaitu ketika sudah mencapai umur 9 tahun dan atau sudah haid bagi perempuan, dan sudah mencapai umur 15 tahun dan atau sudah ikhtilam (keluar sperma) bagi laki-laki, sepanjang akalnya sempurna (tidak gila).

Sedangkan dalam lapangan muamalah (hukum perdata/privat), kecakapan seseorang untuk melakukan perbuatan hukum terjadi secara bertahap (gradual). Anak kecil yang baru berusia 8 tahun misalnya, sudah dipandang sah transaksinya sekedar membeli permen atau jajan yang sudah biasa. Tetapi sebaliknya, seseorang yang sudah tua, belum tentu cakap melakukan transakasi barang elektronik misalnya, karena ia tidak memiliki keahlian dalam bidang itu.

Kewajiban zakat, meskipun dalam berbagai kitab fiqh dikelompokkan ke dalam bab ibadah, tetapi sebenarnya berbeda dengan karakter ibadah yang lain. Zakat adalah ibadah maliyah, yaitu obyeknya adalah harta (mal). Sehingga berbeda dengan shalat dan puasa yang obyeknya adalah badan (badaniyah). Ibadah shalat, puasa, dan haji, disyaratkan pelakunya haruslah yang sudah baligh, sehat jasmani dan rohaninya. Sedangkan dalam zakat, yang penting adalah adanya harta yang memenuhi syarat. Pemiliknya apakah masih kecil ataukah orang gila tidak masalah.

Kembali kepada permasalahan awal, bagaimana jika pemilik harta adalah lembaga atau perkumpulan, siapa yang wajib mengeluarkan zakatnya?. Dalam kehidupan modern sekarang ini, harta tidak hanya dimiliki oleh perorangan, tetapi oleh perkumpulan orang-orang. Justru aset-aset yang dimiliki oleh perusahaan jumlahnya lebih besar dari pada yang dimiliki oleh perorangan. Jika badan-badan usaha yang kaya tidak terkena zakat, maka dana zakat tidak akan maksimal.

Untuk menjawab perkembangan masyarakat modern ini, maka pemikiran fiqh modern juga dikembangkan, agar bisa memangku perkembangan baru. Kitab-kitab fiqh lama (klasik) memang tidak membahas zakat badan hukum ini secara tegas. Mengenai zakat badan hukum ini bisa dijawab melalui Teori Syakhshiyyah, yaitu orang sebagai subyek hukum. Dalam teori syakhshiyyah ini disebutkan, bahwa subyek hukum dalam Islam adalah orang (syakhshiyyah thabi’iyyah) dan badan hukum (syakhshiyyah hukmiyah).

Orang sebagai subyek hukum (pesoon) adalah orang dalam arti yang sebenarnya, yaitu mukallaf. Sedangkan badan hukum adalah suatu perkumpulan orang-orang yang dianggap seperti orang, yang memiliki hak-hak dan kewajiban, serta dapat melakukan tindakan hukum. Badan hukum ini jika sudah sah berdiri, maka bisa melakukan tasharruf sebagaimana yang dilakukan oleh orang. Misalnya bisa melakukan transaksi, membuat perjanjian dengan pihak lain, bisa memiliki sesuatu, dan juga bisa dijatuhi hukuman, seperti dicabut ijinnya, membayar denda, atau dibatasi ruang geraknya.

Keberadaan badan hukum ini adalah kebutuhan yang tidak bisa dipungkiri. Dalam kenyataan, ada beberapa maslahat atau kepentingan umum yang sulit diwujudkan oleh orang perorang, dan akan lebih mudah diwujudkan melalui jamaah atau perkumpulan. Misalnya tentang pengadaan lembaga pendidikan, urusan keamanan, kesehatan, dan dakwah. Urusan-urusan umum tersebut memang bisa dikekerjakan orang-perorang, tetapi akan lebih mudah dan berhasil jika dilakukan melalui jamaah atau badan hukum.

Bahkan menurut Sahabat Umar ra, Islam tidak akan tegak kecuali dengan berjamaah (la islama illa bil jama’ah). Pengakuan mengenai keberadaan badan hukum sebagai subyek hukum, juga bisa dipahamkan dari hadits riwayat Bukhari, bahwa Abu Bakar r.a. telah menulis sebuah surat yang berisikan kewajiban yang diperintahkan oleh Rasulullah Saw. : “Tidak boleh dicampur ternak yang telah terpisah, begitupun dipisah yang telah bercampur, disebabkan takut mengeluarkan zakat. Mengenai dua orang yang bercampur ternaknya, hendaklah kedua mereka berdamai dengan menanggung beban yang sama banyak. (HR. Al Bukhari).

Hadits tersebut pada awalnya, berdasarkan asbab al wurudnya adalah hanya berkaitan dengan perkongsian dalam hewan ternak, sebagaimana dikemukakan dalam berbagai kitab fiqh. Akan tetapi dengan dasar qiyas (analogi) dipergunakan pula untuk berbagai syirkah dan perkongsian serta kerja sama usaha dalam berbagai bidang. Apalagi syirkah dan perkongsian itu merupakan kegiatan usaha yang sangat dianjurkan oleh ajaran Islam. Dalam syirkah itulah terbentuk harta-harta milik kolektif anggota syirkah yang harus dipisahkan dengan harta milik pribadi.

Dari penjelasan mengenai teori subyek hukum dalam Islam tersebut di atas, maka harta badan hukum yang dimiliki orang Islam, menurut ulama wajib dikeluarkan zakatnya. Siapa yang bertanggung jawab? Adalah ketua atau pimpinannya.

Persepektif Undang-undang Zakat.
Dalam Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, Pasal 1 angka 2 disebutkan bahwa, Zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan usaha untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat Islam. Dalam angka 5 dejelaskan, yang dimaksud Muzaki adalah orang atau badan yang dimiliki oleh orang muslim yang berkewajiban menunaikan zakat. Selanjutnya dalam Pasal 4 angka (3) dijelaskan, Zakat mal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan harta yang dimiliki oleh muzaki perseorangan atau badan usaha.

Dari beberapa pasal undang-undang Zakat tersebut sudah sangat jelas dan tegas, bahwa muzakki tidak hanya orang, tetapi juga badan hukum. Harta-harta yang wajib dizakati tidak hanya terbatas milik pribadi (person), tetapi juga harta-harta yang dimiliki oleh badan hukum (recht person), seperti perusahaan milik muslim, Koperasi Syari’ah, bank Syari’ah, dan badan-badan usaha yang lain. Badan hukum yang dimaksudkan adalah badan-badan yang melakukan usaha komersial, yaitu bertujuan mendapatpakan laba.

Sedangkan yayasan-yayasan dan lembaga-lembaga yang bergerak di bidang social, pendidikan, dan keagamaan tidak wajib zakat. Karena mereka tidak mengembangkan modal dan tidak bertujuan untuk mendapatkan keuntungan materiil. Sebaliknya, lembaga-lembaga sosial seperti ini justru menjadi mustahiq badan hukum fi sabilillah yang berhak mendapatkan dana zakat.

Adapun besarnya zakat adalah 2,5% dari penghasilan bersih setelah dikurangi biaya produksi. Hal ini disamakan dengan zakat penghasilan atau zakat profesi. Misalnya, koperasi Syari’ah dalam satu tahun (tutup buku) mendapatkan sisa hasil usaha sebesar Rp 1 milyar, sebelum dibagikan kepada para anggotanya, harus dikeluarkan dulu sebesar Rp 25 juta sebagai kewajiban zakat.

DR. H. Nur Khoirin YD, MAg, Ketua BP4 Propinsi Jawa Tengah/Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Walisongo/Advokat Syari’ah/Mediator bersertifikat/Arbiter Basyarnas/ Anggota Komisi Hukum dan HAM MUI Jawa Tengah/ Sekretaris Bidang Humas dan Kerjasama MAJT/ Ketua bidang Remaja dan Kaderisasi Masjid Raya Baiturrahman Semarang/ Ketua Devisi Litbang Badan Wakaf Jawa Tengah, Tinggal di Tambakaji H-40 Ngaliyan Kota Semarang, Telp. 08122843498. Jatengdaily.com-st

Privacy Preferences
When you visit our website, it may store information through your browser from specific services, usually in form of cookies. Here you can change your privacy preferences. Please note that blocking some types of cookies may impact your experience on our website and the services we offer.