in

Komitmen Kemanusiaan Sastrawan Kita Dipertanyakan

SEMARANG (Jatengdaily.com) – Para sastrawan Indonesia masih layak dipertanyakan soal komitmennya terhadap kemanusiaan. Sejumlah tragedi kemanusiaan yang pernah terjadi di republik ini tidak banyak digarap oleh para sastrawan dalam karya-karya mereka. Hal ini tentu saja mengherankan.

Demikian kesimpulan yang bisa kita tarik dari Dialog Lintas Semarang Malam di Pro 1 Radio Republik Indonesia (RRI) Semarang, Minggu malam, 6 Maret 2022. Dialog yang mengambil topik Sastra dan Kemanusiaan itu menampilkan Ketua Komunitas Kumandang Sastra Semarang Didik Supardi Driya Widiana MS dan Ketua Umum Perkumpulan Penulis Indonesia “Satupena” Jawa Tengah Gunoto Saparie.

Pada kesempatan tersebut Didik dan Gunoto sempat membacakan puisi-puisinya.
Didik menyayangkan ketika tidak banyak sastrawan yang menulis sejumlah tragedi kemanusiaan yang memilukan itu. Kita pernah mengalami tragedi G30S/PKI, tragedi Tanjungpriuk, tragedi penyerbuan kantor DPP PDI 27 Juli, tragedi Malari, tragedi Trisakti, tragedi pembakaran kampung dan pengusiran warga Ahmadiyah dan Syiah, dan sebagainya.

“Mengapa tragedi-tragedi kemanusiaan yang memilukan itu tidak banyak menyentuh hati para sastrawan Indonesia dan mengungkapkannya dalam karya sastra mereka? Baik melalui puisi, cerita pendek, novel, dan naskah drama?” katanya bernada tanya seraya menambahkan, kalau terlalu sedikit dan bisa dihitung dengan jari, para sastrawan Indonesia yang tergerak untuk menuliskan tentang tragedi kemanusiaan.

“Mereka masih sibuk dengan tema kesepian, kerinduan, keindahan alam, warna lokal, ketuhanan, dan abai terhadap persoalan-persoalan kemanusiaan yang terjadi,” ujarnya.
Perlu Dipersoalkan

Menurut Gunoto Saparie, perlu dipersoalkan, apakah karya sastra mampu menginspirasi cara pandang masyarakat perihal nilai-nilai kemanusiaan? Meskipun ada sejumlah sastrawan yang dalam karya-karya mereka mengangkat nilai-nilai kemanusiaan, namun jumlahnya terlalu sedikit dibanding dengan keseluruhan jumlah sastrawan Indonesia.

“Padahal sastra dapat turut memberikan sumbangsih bagi kemanusiaan kalau tema-temanya memperjuangkan nilai intrinsik kemanusiaan tersebut,” kata Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT) ini.

Menjawab pertanyaan dari pemirsa mengenai kurang maraknya iklim kehidupan sastra saat ini dibanding dengan era 1970-an dan 1980-an, Gunoto mengatakan, dulu kehidupan sastra banyak didukung oleh media massa, seperti koran, majalah, radio, dan televisi. Namun, saat ini eranya bukan lagi pustaka, namun pospustaka berupa media sosial dan tayangan audiovisual melalui youtube, sehingga para sastrawan harus tertantang untuk melakukan inovasi. “Kita tidak mungkin kembali pada era kejayaan sastra koran dan radio seperti masa lalu,” tandasnya.st
.

Written by Jatengdaily.com

Media Butuh Wartawan yang Punya Rasa, Tidak Cuma Keterampilan Teknis

Implementasi Industri Hijau, Semen Gresik Optimalkan Bahan Baku Alternatif