SEMARANG (Jatengdaily.com) – Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT) mendukung gagasan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang memiliki gagasan untuk membuat undang-undang omnibus law terkait kebudayaan. Dengan omnibus law, beberapa peraturan atau regulasi yang tumpang tindih dijadikan satu peraturan atau dalam satu payung hukum.
Hal itu dikemukakan oleh Ketua Umum DKJT Gunoto Saparie kepada wartawan, Kamis, 7 November 2024, menanggapi rencana Menkebud Fadli Zon yang mewacanakan omnibus law kebudayaan. Konsep omnibus law ini dalam undang-undang bertujuan untuk menyasar isu besar. Hal itu memungkinkan dilakukannya pencabutan atau perubahan beberapa undang-undang dan dilakukan penyederhanaan dalam pengaturannya.
Fadli menyebutkan, dengan undang-undang itu agar regulasi kebudayaan bisa terintegrasi. Hal itu karena masih banyak cabang seni budaya yang belum diatur dalam UU terkini. Sekarang ini kita mempunyai undang-undang, misalnya tentang cagar budaya, undang-undang perfilman, dan juga undang-undang pemajuan kebudayaan.
Sementara itu, masih ada misalnya, dari cabang-cabang seni budaya lainnya yang ingin memajukan undang-undang seperti musik, museum, dan lain-lain. Hal itu perlu kita integrasikan di dalam satu undang-undang, semacam omnibus law kebudayaan.
Meskipun demikian, Gunoto Saparie mengingatkan, agar ada ada kajian secara komprehensif upaya untuk mengintegrasikan penguatan serta pengembangan kebudayaan tersebut. Ini berarti, regulasi yang terkait dengan penguatan dan pengembangan kebudayaan, seperti cagar budaya, permuseuman, kebahasaan, dan lain-lain, perlu dikaji dan dicermati secara sungguh-sungguh.
Menurut Gunoto, pengelolaan kebudayaan saat ini memang masih kurang optimal. Hal itu karena adanya tumpang tindih, inefisiensi, dan rendahnya koordinasi antarlembaga. Beberapa undang-undang tentang aspek kebudayaan menjadi penyebab.
Ada UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaaan. Ada pula UU No. 33 Tahun 2009 Perfilman yang diubah dengan UU No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Perfilman). Lalu ada UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, dan UU No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
“Sejumlah regulasi kebudayaan itu mengakibatkan proses birokrasi menjadi kompleks dan lamban. Tentu saja hal itu menghambat inovasi, kreativitas, dan pengembangan kebudayaan. Apalagi ada ego sektoral antarinstansi selain minimnya anggaran bidang kebudayaan,” katanya.
Dalam kaitan ini, demikian Ketua Umum Satupena Jawa Tengah ini, mengapresiasi gagasan Fadli Zon, yang berupaya mengurai benang ruwet fragmentasi regulasi kebudayaan tersebut. Karena omnibus law kebudayaan tersebut untuk mengintegrasikan berbagai peraturan kebudayaan dalam satu undang-undang yang terpadu.
Upaya mengatasi tantangan sektor kebudayaan, memajukan kebudayaan nasional, dan memperkuat ekosistem kebudayaan dilakukan dengan menyederhanakan berbagai regulasi dalam satu undang-undang yang komprehensif.
Akan tetapi, Gunoto melihat perlunya dukungan DPR RI, terutama Komisi X dalam hal ini. Untuk pembentukan undang-undang kebudayaan berbasis omnibus law, Fadli Zon membutuhkan dukungan dari parlemen. Selain itu, ia pun memerlukan semangat dan motivasi seluruh pemangku kepentingan, seniman, dan budayawan. St