Oleh: Irma Nur Afifah, SST, MSi
Statisti BPS Kabupaten Kendal
ANTREAN panjang hingga menyebabkan kemacetan terjadi di berbagai SPBU, menyusul isu tentang kenaikan harga BBM per 1 September yang sebelumnya telah terekspos di berbagai media. Namun harga BBM terlihat masih tetap. Ibarat menunggu suatu kepastian akhirnya kenaikan itu pun terjadi tepatnya tanggal 3 September pukul 14.30 WIB penyesuaian harga terbaru BBM bersubsidi dan non-subsidi mulai dari Pertalite, Solar dan Pertamax secara mendadak resmi diumumkan.
Sontak hal ini menyebabkan para pembeli BBM terkaget-kaget karena saat yang bersamaan mereka sedang mengantre BBM di berbagai SPBU tanpa mengetahui sebelumnya akan kenaikan harga BBM, sehingga mereka harus menunggu kurang lebih 10-15 menit untuk penyesuaian sistem di SPBU dengan tarif baru.
Semenjak isu kenaikan BBM ini muncul, hingga resmi diumumkan faktanya telah menimbulkan gejolak di masyarakat. Demo penolakan kenaikan harga BBM pun merebak di berbagai wilayah. Karena memang sebuah korelasi tinggi manakala terjadi kenaikan BBM, maka harga berbagai komoditas sebagai dampak kenaikan BBM pun selalu mengiringi.
Kenaikan BBM
Tak dapat dipungkiri bahwa wacana kenaikan harga BBM beberapa waktu belakangan muncul sebagai dampak dari semakin tertekannya APBN, yaitu anggaran subsidi BBM yang semakin meningkat, nilai subsidi APBN untuk BBM bahkan membengkak hingga 3 kali lipat, mencapai 502,4 triliun rupiah. Namun perlu diketahui bahwa pengguna BBM bersubsidi yaitu solar dan pertalite memiliki jumlah pengguna tertinggi hingga mencapai 70 persen dan sejauh ini pengguna BBM jenis ini dinilai kurang tepat sasaran, jika mencermati konsumen yang sebagian besar adalah kelompok masyarakat yang memiliki mobil pribadi, dan hanya sekitar 3 persen konsumen dari kelompok kurang mampu.
Fakta di lapangan hal ini terlihat benar adanya, meskipun jika ditinjau lebih jauh, tentu dampak bagi sektor transportasi umum menjadi terganggu, karena praktis akan mendorong kenaikan tarif angkutan akibat naiknya BBM, belum lagi kenaikan barang logistik lainnya dan bahkan berpotensi memicu inflasi yang berdampak pula pada menurunnya daya beli masyarakat. Jika konsumsi menurun maka pengeluaran pada konsumsi rumahtangga akan menurun yang berdampak pada menurunnya pertumbuhan ekonomi dari sisi pengeluaran.
Multiplier Effect
Multiplier effect (efek berganda) merupakan pengaruh meluas yang ditimbulkan oleh suatu aktivitas ekonomi. Multiplier effect kenaikan BBM ini, tentu berdampak cukup signifikan pada sektor lainnya. Dampak kenaikan BBM selalu diiringi dengan atau tarif barang dan jasa lainnya seperti misalnya, kenaikan BBM sangat berkorelasi dengan kenaikan tarif moda transportasi umum, tentu terkait dengan biaya angkut atau distribusi arus barang yang menggunakan moda angkutan akan melonjak dibebankan pada kenaikan harga barang dan jasa. Kenaikan harga BBM dan kenaikan harga barang dan jasa lainnya tentu berdampak pula pada konsumsi masyarakat yang pada akhirnya mengalihkan konsumsi bahan pakaian dan produk tertier lainnya untuk konsumsi bahan pokok meski mengalami kenaikan, dengan jumlah relative secukupnya, alhasil nilai konsumsi barang non makanan akan menurun drastis.
Dalam pers rilis BPS, Kepala BPS Margo Yuwono menyampaikan, bahwa perkembangan harga yang diatur pemerintah perlu terus dicermati, terutama dengan adanya kenaikan harga BBM. Pasalnya, komoditas BBM merupakan salah satu penyumbang utama inflasi pada kelompok harga yang diatur pemerintah. “Komoditas ini memberikan multiplier effect yang cukup besar ke ekonomi. Kalau harga BBM naik maka akan menyebabkan peningkatan harga di sektor lainnya dan ini akan berdampak ke inflasi,” imbuhnya.
BPS mencatat kenaikan BBM nonsubsidi mulai April 2022 memberikan andil sekitar 19 hingga 20 persen terhadap inflasi secara umum. “Ini menjadi penting untuk dilihat, terutama komoditas BBM, karena berpengaruh ke harga-harga sektor lain ke depannya,” jelasnya. Jika melihat history dampak kenaikan BBM beberapa waktu lalu, selalu berdampak inflasi yang tinggi. Kenaikan inflasi yang tinggi tentunya dapat menurunkan daya beli masyarakat sehingga pertumbuhan ekonomi menjadi tertahan.
Sebagaimana diketahui, akibat kenaikan harga minyak dunia, meski kini mulai turun, subsidi dan kompensasi energi pada tahun ini melonjak. Pemerintah telah menaikkan anggaran subsidi dan kompensasi energi hingga tiga kali lipat, menjadi sebesar Rp. 502,4 triliun. Anggaran ini tetap kurang akibat tingginya konsumsi dan harga minyak dunia meski turun namun secara rata-rata masih pada level tinggi. Oleh karena itu, menaikkan harga BBM saat ini menjadi menjadi salah satu opsi pemerintah. Namun demikian, kenaikan harga BBM pun akan menimbulkan risiko terhadap perekonomian. Sehingga disaat yang bersamaan Pemerintah mencairkan bantuan sosial dengan harapan mampu mempertahankan daya beli dan nilai konsumsi pun dapat terjaga. Jatengdaily.com-st